Majunya industri hiburan Korea Selatan, khususnya serial dan film mereka saat ini tak lepas dari perjalanan panjang para sineasnya. Dalam seratus tahun terakhir, kualitas dan kuantitas serial dan film Korea berkembang begitu pesatnya, hingga diakui di dunia internasional.
Bagi warga Korea Selatan sendiri, film dan serial tersebut bukan hanya hiburan semata. Lebih dari itu, tontonan tersebut dimanfaatkan oleh mereka sebagai sarana kritik sosial terhadap pemerintah dengan menyajikan kisah kehidupan masyarakat Korea yang sebenarnya.
Perjalanan industri perfilman di Korea dimulai dari tahun 1909. Saat itu, pemerintah Jepang masih berkuasa di sana dan film yang tayang diawasi dengan begitu ketat. Melansir dari CNN.com, pada tahun 1909-1945 hanya film melodrama dan pro Jepang yang boleh tayang. Sisanya, semua rol film dibakar agar tak ada yang bisa menontonnya lagi.
Baru pada tahun 1980-an, industri film di Korea dapat bergerak bebas. Para sineasnya seolah diberi angin segar dengan membuat beragam film sesuai dengan keinginan mereka.
Kebebasan ini sangat dimanfaatkan oleh para pekerja seni tersebut sebagai bentuk kritik sosial terhadap pemerintah yang sedang berjalan bahkan hingga sampai saat ini. Mereka membalut masalah yang benar-benar terjadi di Korea Selatan lewat tayangan apik dan menyentuh.
Kritik sosial ini dimaksudkan agar pemerintah setempat menyadari masalah yang kerap terjadi di masyarakat dan dapat memikirkan bagaimana solusinya.
Berikut ini Popbela telah merangkum beberapa film dan serial Korea yang dinilai menampilkan kehidupan asli masyarakat Korea Selatan sekaligus menjadi kritik sosial bagi pemerintah mereka. Apa saja?
1. Kesenjangan sosial-ekonomi antara si kaya dan si miskin
Kesenjangan sosial dan ekonomi menjadi masalah yang kerap ditemukan di Korea Selatan. Masalah ini pula yang sering diangkat menjadi benang merahnya. Kesenjangan sosial dan ekonomi ini dapat kita lihat dalam film peraih Academy Awards 2020, Parasite (2019).
Dalam film Parasite, terlihat dengan jelas bagaimana si kaya dan si miskin hidup berdampingan di satu wilayah yang sama dengan gaya hidup yang sangat kontras. Keluarga Park yang kaya mempekerjakan keluarga Kim yang sangat miskin, bukanlah hal yang baru di Korea.
Potret kesenjangan sosial dan ekonomi juga kembali diangkat dalam serial yang sedang naik daun, Squid Game (2021). Serial tersebut menampilkan bagaimana perjuangan masyarakat kelas bawah yang berjuang mati-matian. Sementara itu, masyarakat kelas yang memiliki banyak uang dapat melakukan apa pun dengan uangnya. Termasuk membuat permainan dengan memanfaatkan masyarakat kelas bawah hanya demi kepuasan mereka.
Kehidupan masyarakat kelas bawah dan kelas atas yang begitu kontras dapat terlihat di Kota Gangnam yang berdampingan dengan Desa Guryong. Gemerlap kota metropolitan Gangnam begitu kontras dengan kumuhnya Desa Guryong.
Hal ini menjadi masalah tersendiri bagi pemerintah Korea. Sebab, masalah tersebut menunjukan bahwa pemerintah Korea belum mampu memeratakan kesejahteraan masyarakat mereka.
2. Hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas
Kritik sosial selanjutnya yang pernah diangkat dalam film dan serial drama Korea adalah soal hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Dua tontonan yang pernah mengangkat masalah ini adalah Miracle in Cell No. 7 (2013) dan Law School (2021).
Dalam Miracle in Cell No. 7, berkisah tentang seseorang berkebutuhan khusus yang didakwa dan dipenjara atas tuduhan yang bahkan tidak pernah dilakukannya. Hal ini tentu menjadi ironi karena sebanyak apapun bukti yang ia miliki, hukum belum dapat berpihak pada seseorang berkebutuhan khusus. Terlebih, secara ekonomi, ia juga datang dari kalangan masyarakat kelas bawah.
Sementara itu, dalam Law School, kita akan melihat bagaimana seseorang yang memiliki kuasa dan uang dapat mempermainkan hukum. Masalah hukum yang sedang ia alami dapat dengan mudah 'dialihkan' kepada orang lain hanya dengan memberinya imbalan berupa uang.
Dua tayangan tersebut menjadi bukti nyata bahwa praktik hukum di Korea belum dapat dikatakan adil. Hukum di sana masih berpihak pada mereka yang memiliki kekuasaan dan uang. Serta mencekik masyarakat kelas bawah yang tak bisa membela diri, meskipun terbukti tidak bersalah.
Tentu masalah ketidakadilan hukum ini bukan hanya terjadi di Korea Selatan. Di negara lain pun, praktik hukum seperti ini masih ada dan menjadi masalah serius yang harus segera ditangani.
3. Obsesi orangtua terhadap kehidupan anak-anak mereka
Memiliki anak yang berprestasi dan bersekolah di sekolah terbaik tentu menjadi impian para orangtua. Namun, akan lain ceritanya jika prestasi yang diraih oleh anak adalah obsesi dari orangtua mereka. Tentu sang anak akan merasa jenuh dan tertekan menghadapi hari-hari mereka karena dipaksa untuk tidak gagal.
Sky Castle (2018) memperlihatkan bagaimana orangtua begitu terobsesi terhadap anak-anaknya agar selalu mendapat nilai bagus di sekolah dan masuk ke dalam universitas terbaik di Korea. Mereka tidak segan-segan menodongkan senapan ke anak laki-laki mereka yang ketahuan punya pacar hanya karena takut sang anak tidak konsentrasi belajar.
Ada pula keluarga lainnya dalam serial ini yang rela mengeluarkan uang lebih banyak untuk membayar guru privat terbaik demi anaknya. Saking terobsesinya, sang anak bahkan tidak memiliki waktu bermain karena seluruh hidupnya habis untuk belajar.
Bahkan dalam film Death Bell (2008), para orangtua rela menyuap guru mereka agar sang anak masuk ke kelas unggulan dan mendapat peringkat 20 besar sebagai besar masuk ke universitas pilihan. Hal ini membuat murid yang benar-benar pintar harus tersingkir karena ia kalah dari segi ekonomi.
Obsesi orangtua terhadap anaknya bukanlah hal baru di Korea Selatan. Hal ini sudah menjadi rahasia umum dan beberapa bahkan mewajarkan tindakan tersebut dengan alasan demi kesuksesan anak-anak mereka kelak.
Namun akibatnya, sang anak menjadi terpaksa menjalani hari-hari mereka. Sebab, mereka hidup untuk obsesi orangtua, tidak bisa memilih dan mengembangkan bakat sesuai dengan keinginan mereka, serta yang terpenting tidak boleh gagal.
Segala usaha ini dilakukan agar sang anak tidak mengalami kegagalan. Jika mereka gagal, mereka akan merasa malu seumur hidup, serta menyalahkan sang anak atas kegagalan yang mereka dapatkan.
Apa yang orangtua lakukan ini tentu membuat anak-anak stres. Tidak heran, jika tingkat bunuh diri di Korea Selatan tergolong tinggi. Salah satunya disebabkan oleh obsesi tak masuk akal dari orangtua para pelajar. Menurut data yang dilansir dari Mommiesdaily.com, sebanyak 1 dari 4 pelaku bunuh diri adalah mereka yang menderita depresi berat. Sementara itu, untuk kisaran anak usia 9-24 tahun, angka bunuh dirinya mencapai 7,8/100.000 orang.
4. Perselingkuhan dan perceraian bukanlah hal yang tabu
Tentu kita masih ingat dengan serial drama The World of the Married (2020) yang sempat menjadi trending topic di Indonesia pada Mei 2020 lalu. Kita tentu dibuat gemas dengan perselingkuhan antara Lee Tae‑oh dan Yeo Da‑kyung. Padahal, Lee Tae-oh sudah memiliki istri yang cantik, pintar dan sukses dalam kariernya. Melihat kisah ini, kita akan bertanya-tanya, apa lagi yang dicari Lee Tae-oh?
Oh, mungkin saja Lee Tae-oh selingkuh karena sang istri begitu sibuk dengan pekerjaannya sebagai dokter pribadi yang menyita banyak waktu. Mungkin itu yang kita pikirkan saat menyaksikan The World of the Married. Namun, bagaimana dengan kisah dalam serial VIP (2019)? Park Sung Joon tetap berselingkuh, kok, meskipun ia dan istrinya, Na Jung Sung, kerap menghabiskan waktu bersama karena keduanya bekerja di perusahaan yang sama.
Tema perselingkuhan dan perceraian menjadi salah satu tontonan menarik, bukan? Bahkan di Korea Selatan, serial dan film dengan tema ini selalu meraup rating yang tinggi.
Di kehidupan nyata masyarakat Korea, hal ini sering terjadi. Faktor ekonomi dan kurangnya quality time menjadi salah satu alasan terjadinya perselingkuhan yang kemudian berujung pada perceraian.
Merangkum dari Statista.com, di tahun 2020, sebanyak 106.500 kasus perceraian terjadi di Korea Selatan. Itu artinya, jika dirata-rata dengan jumlah penduduknya, sebanyak 2.1 pasangan dari 1.000 populasi di Korea Selatan pernah melakukan perceraian dari pernikahan mereka.
Bahkan, karena begitu banyaknya tingkat perceraian di Korea Selatan, masalah ini bukanlah menjadi tema dalam serial atau film saja. Tapi, sudah dijadikan acara reality show yang berjudul We Got Divorced. Dalam acara ini, siapa saja bisa menceritakan perjalanan pernikahan mereka hingga berujung pada perceraian. Ironi, bukan?
5. Menjadi korban perundungan karena memiliki penampilan yang tidak sesuai standar kecantikan
Idol K-pop di Korea Selatan dikenal memiliki paras rupawan. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Korea. Karena itulah, standar cantik di Korea Selatan adalah mereka yang memiliki kulit putih, hidung mancung, kurus, serta wajah yang imut.
My ID is Gangnam Beauty (2018) memperlihatkan bagaimana seorang perempuan berusaha keras untuk diterima di lingkungannya dengan mengubah tampilannya. Ia tak segan-segan melakukan operasi plastik untuk memenuhi standar kecantikan di sana.
Hal serupa juga dapat kita lihat dalam serial True Beauty (2021). Sang tokoh utama, Lim Joo Kyung selalu mendapat perlakukan perundungan hanya karena parasnya yang tidak sesuai dengan standar kecantikan Korea. Ia pun mengubah penampilannya menjadi lebih cantik versi standar kecantikan Korea dan perlahan perundungan yang dialamatkan kepadanya berangsur-angsur menghilang.
Di Korea Selatan, operasi plastik untuk mengubah bentuk dan penampilan tubuh adalah hal lumrah. Bahkan, sangat umum bagi orangtua di Korea Selatan memberikan kado berupa voucher operasi plastik untuk anak-anak mereka yang sudah berusia 17 tahun.
Padahal sebenarnya, tidak masalah jika mereka mempertahankan bentuk fisik asli mereka tanpa harus operasi plastik, bukan? Namun, di Korea Selatan, penampilan fisik adalah hal yang utama. Bahkan, tak jarang anak usia sekolah di sana mengalami depresi karena dirundung akibat fisik mereka tidak 'sempurna' menurut standar Korea.
Belakangan, masalah ini mendapat perhatian serius. Beberapa idol Kpop pun mulai mendobrak standar kecantikan tersebut dan mengampanyekan self-love agar mereka tidak terjebak dalam stereotip cantik harus putih atau langsing.
Beberapa idol Kpop yang mendobrak standar kecantikan Korea yakni, Hwasa 'MAMAMOO' yang percaya diri dengan kulit sawo matang dan tubuh curvy, Seulgi 'Red Velvet' tetap mempertahankan monolid pada matanya yang menjadi ciri khas orang Korea, hingga Jessi yang berani menggunakan riasan bold dan berkulit sawo matang.
Itulah tadi beberapa kehidupan nyata masyarakat Korea Selatan yang pernah diangkat dalam film dan serial. Semoga saja, masalah yang dikritik ini dapat segera mendapat perhatian dari pemerintah Korea, ya!