Hari ini, Rabu (9/2/2022) kita memperingati Hari Pers Nasional. Dunia pers Indonesia tak akan semaju sekarang tanpa campur tangan dan jasa para pahlawan pers sebelumnya. Tak hanya laki-laki, para perempuan pun turut andil dalam memajukan dunia pers nasional.
Para pahlawan jurnalis perempuan ini tak hanya menjadi penggerak bagi kehidupan pers, tapi juga turut menggerakan dan memajukan aspek lain, seperti lahirnya emansipasi perempuan dan kesetaraan gender di Indonesia.
Berkat pemikiran kritis mereka yang dituangkan dalam tulisan dan disebarluaskan dengan media, kini bangsa Indonesia memiliki pers yang inklusi, bebas namun tetap pada penerapan kode etiknya. Mau tahu siapa saja para pahlawan pers perempuan ini? Berikut daftarnya!
1. Ruhana Kuddus
Wajahnya pernah menghiasi Google Doodle, lho, Bela. Pahlawan perempuan asal Sumatra Barat ini, menjadi jurnalis perempuan pertama di Indonesia. Ia hidup di jaman yang sama dengan R.A. Kartini walau namanya tak begitu tenar.
Meski demikian, jasanya bagi kaum perempuan dan dunia pers tak bisa diremehkan. Bahkan, Ia sempat dinilai menjadi ancaman bagi para kaum Belanda kala itu. Ia merintis karier dengan mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia di Koto Gadang, Sumatra Barat, pada 1911, untuk memperluas perjuangan perempuan dan hak-haknya.
Ruhana juga mengkritik praktik pergundikan, serta praktik-praktik lain berakar manipulasi yang menjebak dan memperdaya para buruh perempuan ke dunia prostitusi, melalui tulisan-tulisannya. Pada 1912, Ruhana mendirikan surat kabar khusus perempuan pertama di Indonesia yang dinamai Soenting Melajoe.
Bahkan ia kemudian dianugerhahi gelar Perintis Pers Indonesia dalam peringatan Hari Pers Nasional ke-3 pada 1987. Sejak 2019 lalu, Ruhana Kuddus telah mendapat gelar pahlawan nasional yang diberikan oleh Presiden Joko Widodo pada perayaan Hari Pahlawan.
2. S. K. Trimurti
Perempuan lain yang menjadi pahlawan pers adalah S. K Trimurti, yang bernama asli Surastri Karma Trimurti. Ia merupakan seorang aktivis, jurnalis, penulis, guru, dan advokat kesetaraan gender di Indonesia.
S.K Trimurti sangat vokal dalam mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah dan isu-isu sosial di sektiarnya. Karena aktivitas politik dan jurnalistiknya inilah, membuat Trimurti juga sering keluar-masuk penjara kolonial di masa penjajahan. Ia terkenal di kalangan jurnalis dan anti-kolonial sebagai wartawan kritis.
Beberapa hal yang menjadi contoh perjuangannya, yaitu menolak setuju pada aturan feodal yang menganggap perempuan yang berpolitik merupakan hal yang tabu, mengkritisi isu-isu adat yang anti-emansipasi perempuan, serta nasib buruk buruh perempuan.
Perjuangannya terkenal melalui tulisan, juga aktivisme dan penggalangan gerakan di dunia nyata. Dalam usia yang muda, yaitu 21 tahun, Presiden Sukarno meminta Trimurti untuk menjadi pemimpin redaksi majalah Pikiran Rakyat.
Ia juga turut bekerja di sejumlah surat kabar Indonesia termasuk Pesat, Genderang dan Bedung. Sepak terjang Trimurti membuat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menciptakan penghargaan “Trimurti Awards” untuk menghargai karya perempuan jurnalis di Indonesia.
3. Rasuna Said
Kita sering mendengar nama ini, bahkan nama pahlawan perempuan satu ini didedikasikan sebagai nama jalan. Rasuna Said merupakan perempuan jurnalis asal Bukit Tinggi, Sumatra Barat. Ia dikenal dengan tulisan-tulisannya yang tajam.
Selain di dunia jurnalisme, Rasuna juga aktif berkontribusi di organisasi islam dan gerakan perempuan, seperti Kartini yang memperjuangkan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Ia juga sangat aktif menentang kolonial.
Ia pernah menjadi pemimpin redaksi majalah Raya, yang dikenal radikal dan menjadi tonggak perjuangan di Sumatra Barat. Kariernya juga merambah menjadi redaktur di majalah Suntiang Nagari, serta pendiri majalah mingguan Menara Poetri yang fokus membahas kesetaraan hak perempuan dan semangat anti-kolonialisme di Indonesia, pada 1935.
Rasuna disebut-sebut merupakan perempuan Indonesia pertama yang dipenjara atas tuduhan ujaran kebencian dalam jeratan hukum spreekdelict, karena sering berorasi untuk menentang pemerintahan dan politik praktis milik kolonial Belanda di Indonesia pada masa penjajahan.
4. Ani Idrus
Saat kamu mengetikkan nama ini di google, di bawahnya akan tertulis reporter. Ya, Ani Idrus merupakan salah satu reporter senior sekaligus pejuang perempuan yang membantu dalam memajukan dunia pers nasional. Sebelum menjadi wartawati senior, ia memulai karier dengan mulai menulis di majalah Panji Pustaka Jakarta dan beberapa media lainnya.
Kariernya pun semakin berkembang. Ia menjadi pendiri surat kabar Waspada, majalah khusus perempuan Dunia Wanita, juga pemrakarsa berdirinya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) cabang Medan, tempat dia menjadi ketuanya.
Dalam dunia politk pun, Ani turut aktif dan bergabung ke beberapa partai politik serta menjadi anggota parlemen di era Orde Baru, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Ia juga memperoleh penghargaan Satya Penegak Pers Pancasila pada 1984.
5. Herawati Diah
Wartawati senior ini bahkan masih terlihat berwibawa hingga masa tuanya. Istri dari tokoh pers yang juga mantan Menteri Penerangan, B.M. Diah, ini merupakan pendiri beberapa media massa dan aktif membela hak-hak perempuan serta menyuarakan isu kesetaraan gender.
Herawati Diah mendirikan media massa, harian Merdeka, majalah Keluarga, majalah berita Topik, dan surat kabar berbahasa Inggris pertama di Indonesia, yaitu The Indonesian Observer pada 1955, yang edisi pertamanya terbit pada saat Konferensi Asia Afrika di Bandung.
Sebagai aktivis yang membela hak perempuan, Herawati mendirikan Komnas Perempuan, Lingkar Budaya Indonesia, dan Gerakan Perempuan Sadar Pemilu. Herawati Diah meninggal dunia pada 30 September 2016 dalam usia 99 tahun. Berkat jasa dan keaktifannya di dunia jurnalistik, Persatuan Wartawan Indonesia menganugerahinya dengan titel Lifetime Achievement Award.
Itulah sosok pahlawan perempuan yang berjasa di bidang pers nasional, kini tinggal kita, Bela yang meneruskan perjuangan mereka.