Nagita Slavina Dikritik Cultural Appropriation, Ini Penjelasannya!

Dinilai sebagai perampasan budaya

Nagita Slavina Dikritik Cultural Appropriation, Ini Penjelasannya!

Penampilan Nagita Slavina dengan mengenakan pakaian adat Papua sebagai Duta PON XX disebut cultural appropriation oleh banyak kalangan, salah satunya komedian Arie Kriting.

Arie menuturkan dalam sebuah unggahan di akun Instagramnya,“Penunjukkan Nagita Slavina sebagai Duta PON XX Papua pada akhirnya mendorong terjadinya cultural appropriation. Seharusnya sosok perempuan Papua, direpresentasikan langsung oleh perempuan Papua,” tulisnya.

Sebelumnya, hal serupa juga pernah terjadi pada Agnez Mo yang dinilai timbulkan cultural appropriation setelah berpenampilan dengan rambut layaknya gaya perempuan Afrika. Lantas apa itu cultural appropriation yang sedang gencar dibahas? Berikut penjelasan tentang cultural appropriation yang ditudingkan kepada Nagita.

Dinilai sebagai perampasan budaya

Nagita Slavina Dikritik Cultural Appropriation, Ini Penjelasannya!

Dikutip dari Everyday Feminism, secara sederhana cultural appropriation adalah sebuah konsep yang biasa digunakan untuk menyebut seseorang yang meminjam atribut budaya lain. Dalam hal ini, anggota budaya dominan meminjam budaya minoritas. Namun, alih-alih mengapresiasi atribut budaya tertentu, penggunaan atribut budaya lain justru dinilai sebagai perampasan budaya.

Dilansir pula dari jurnal ilmiah karya Jaja Grays bertajuk The Blurred Line of Cultural Appropriation, apropriasi budaya adalah perbuatan yang mengacu pada meminjam atau mencuri budaya dari kelompok minoritas untuk digunakan sebagai keuntungan pribadi.

Apropriasi budaya, menurut kamus bahasa Cambridge, seperti dikutip dari thefineryreport.com, secara luas didefinisikan sebagai perbuatan mengambil atau menggunakan sesuatu dari sebuah budaya yang bukan milik sendiri, terutama tanpa menunjukkan bahwa (pelakunya) memahami atau menghargai budaya tersebut. Hal-hal dalam konteks ini termasuk potongan pakaian, gaya rambut, kebiasaan, bahan-bahan, ideologi, hingga gaya musik.

Dapat melestarikan stereotip rasis

Cultural appropriation sendiri menjadi sangat sensitif meski kesensitifan tersebut tergantung pada pendapat anggota budaya minoritas. Kesensitifan pro-apropriasi dipengaruhi oleh sejumlah konteks.

Pertama, cultural appropriation membiarkan orang-orang menunjukkan cinta untuk budaya tertentu, namun tetap berprasangka terhadap orang-orangnya. Apropriasi juga membuat segala sesuatu terlihat 'keren' untuk orang kulit kutih, tapi 'terlalu etnik' untuk orang dengan kulit berwarna.

Selain itu, perlakuan apropriasi terhadap budaya tertentu, memungkinkan pelaku mendapatkan untung dari pemilik budaya itu sendiri. Bahkan, cultural appropriation disebut melestarikan streotip rasis dan menyebarkan kebohongan massal tentang budaya yang terpinggirkan.

Seorang spesialis Africa hairstyle bernama Tamara Albertini berpendapat, cultural appropriation menjadi sensitif dikarenakan dapat menyinggung latar belakang budaya tertentu.

Selanjutnya ia berpendapat, cultural appropriation dapat diatasi tergantung dengan niat awal yang ingin disampaikan ketika membuat imaji dengan gaya rambut tersebut. Yakni, berupaya menciptakan inspirasi. Jangan hanya mencari popularitas semata.

Tamara juga menambahkan, agar menyertakan kredit terhadap inspirasi gaya rambut yang diadopsi. Lewat penyebutan spesifik nama budaya yang dipakai.

Manfaat mengenal cultural appropriation

Memahami apropriasi budaya sangat berguna untuk menghindari penghinaan budaya lain dan belajar untuk menghargai dan melestarikan budaya itu.

"Apropriasi budaya terjadi ketika kelompok yang memiliki kekuatan ekonomi, politik dan institusional, meminjam atau mencuri dari kelompok yang tertindas dan terpinggirkan," kata Bruce Ziff and Pratima Rao dikutip Jaja Grays.

Dalam jurnal tersebut juga disebutkan bahwa apropriasi budaya terjadi ketika peminjam budaya tidak menyadari kedalaman pentingnya budaya yang mereka ikuti. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang kuat serta pencantuman kredit dan penghormatan bagi budaya yang hendak dipinjam atau diapresiasi.

Banyak ditemui di dunia fashion

Dalam dunia fashion, cultural appropriation sering terjadi. Mulai dari para penikmat fashion hingga beberapa desainer dan brand terkenal pun sempat tersandung masalah pemilihan gaya yang menyangkut aprosiasi budaya.

Beberapa kasusnya dilansir dari berbagai sumber antara lain adalah Isabel Marant, desainer Prancis yang terkenal dengan gaya bohemian. Blus rancangannya adalah salinan identik dari blus asli Meksiko, yang telah dikenakan perempuan Meksiko selama berabad-abad. Menyalin, tanpa menghormati akar budayanya, sangat menyinggung perasaan para perempuan Meksiko.

Selanjutnya adalah brand Urban Outfitters yang harus menyelesaikan gugatan lima tahun dengan anggota suku Navajo, mereka dituduh 'menyalin' kesenian rakyat dari suku Navajo. Setelah tuduhan melakukan penyelewengan budaya oleh anggota suku Navajo, koleksi pakaian tersebut ditarik dari rak, termasuk yang memiliki lambang dan simbol suci suku Navajo.

Vogue melaporkan bahwa gugatan tersebut telah diselesaikan secara rahasia dan bahwa Urban Outfitters 'Menjaga hak seniman dan desainer dengan serius, baik dalam melindungi hak kita sendiri maupun dalam menghormati hak orang lain.'

Kasus lainnya juga sempat terjadi di kalangan selebritas hollywood. Sebut saja Agnez Mo dengan gaya rambut kepangan dan kulit gelap seperti perempuan Afrika, serta Katy Perry dalam penampilannya di American Music Awards pada tahun 2013 lalu. Dirinya sempat dikecam oleh pegiat budaya karena membawakan lagu "Unconditionally" menggunakan set bertema Geisha Jepang penari yang memutar-mutar payung dekoratif mereka. Penampilan tersebut dinilai menunjukkan stereotip perepmpuan Asia.

Selena Gomez juga pernah mendapat tuduhan serupa pada 2013 lalu. Ia dikritik karena mengenakan gaun merah dan kalung khas India dengan menyertakan bindi di dahinya saat manggung.

Kasus lain yang berkaitan dengan keuntungan dari ekploitasi budaya tersebut adalah pada brand fast-fashion asal Amerika Serikat, SHEIN. Satu skandal yang terkenal adalah ketika SHEIN menjual sajadah namun dipasarkan sebagai ‘Karpet Fringe Trim Greek Fret’. Sajadah adalah benda suci bagi agama Islam.

Brand kosmetik M.A.C asal Amerika, juga pernah tersandung kasus tersebut. Dalam salah satu kampanye promosinya untuk Indonesia, mereka menggunakan budaya Papua dalam kampanye MAC Rupa Nusantara. Mereka mendandani model dengan ‘gaya inspirasi Papua’ untuk pemotretan, namun tidak mengikutsertakan model asal Papua.

Itulah penjelasan dari culture appropriation yang sedang ramai dibahas. Perhatikan dengan bijak, ya, Bela, jika kamu ingin melakukan sesuatu terhadap suatu budaya. 

  • Share Artikel

TOPIC

trending

Trending

This week's horoscope

horoscopes

... read more

See more horoscopes here

























© 2024 Popbela.com by IDN | All Rights Reserved

Follow Us :

© 2024 Popbela.com by IDN | All Rights Reserved