Sembilan belas tahun silam, tepatnya 8 Oktober 2003 lalu, sebuah kecelakaan maut yang menjadi tragedi mengenaskan dalam sejarah terjadi. Tragedi Paiton namanya, sebuah kecelakaan bus terbakar yang menewaskan penumpangnya dengan jumlah 54 orang. Kecelakaan terjadi di Jalan Raya Kecamatan Banyuglugur antara Kabupaten Situbondo dan Kabupaten Probolinggo, dekat PLTU Paiton.
Lebih menyedihkannya lagi, bus tersebut berisi 51 orang siswa/i SMK Yapemda 1 Sleman, Yogyakarta, bersama dua guru dan satu pemandu wisata yang hendak pulang ke Sleman setelah karyawisata di Bali. Seluruh korban tewas terbakar setelah tidak berhasil membuka pintu atau memecahkan kaca bus untuk menyelamatkan diri.
Dari tragedi inilah terbit peraturan pintu darurat dan pemecah kaca di bus. Standar keamanan bus mulai ditingkatkan untuk menghindari kejadian serupa. Hampir dua dekade, tragedi Paiton akhir-akhir ini ramai diperbincangkan.
Lantas bagaimana kronologi insiden Paiton 2003 tersebut hingga tak berhasil membawa para siswa ke rumah melainkan ke akhirat? Berikut penjelasan lebih lengkapnya!
Usai melakukan karyawisata di Bali
Ratusan siswa kelas dua Sekolah Menengah Kejuruan Yayasan Pembina Generasi Muda (Yapemda) 1 Sleman melakukan karyawisata atau study tour mereka di Bali. Pada Rabu (8/10/2003) malam, dalam suasana gembira mereka hendak pulang ke kota asal mereka, Sleman, Yogyakarta. Mereka menumpang tiga bus AO Transport yang melaju beriringian tak lama usai azan Isya berkumandang.
Salah satu bus alami tabrakan
Tragedi itu bermula saat salah satu bus berisi 42 orang penumpang dan 2 kru melewati sebuah tanjakan di tikungan Jalan Raya Surabaya-Banyuwangi, kawasan Banyu Blugur, Situbondo, Jawa Timur.
Sebuah truk kontainer tiba-tiba memotong jalur dan langsung menabrak bagian depan bus. Tak sampai di situ, truk tronton colt diesel juga menghantam bagian belakang bus tersebut. Bus nahas itu pun terjepit oleh kedua truk.
Bus mulai terbakar
Tabrakan tersebut menyebabkan tangki truk bernomor polisi L 8493 F pecah, sehingga menyebabkan munculnya percikan api dari sekering listrik bus dan akhirnya merembet ke badan bus bagian depan. Kobaran api kian besar dan begitu cepat terjadi, diduga karena adanya bahan-bahan yang mudah terbakar di dalam bus, seperti tas dan karpet yang ditaruh di kursi.
Para siswa berusaha keluar, namun tak terselamatkan karena minim standar keamanaan
Para siswa bersama guru dan pemandu wisata pun mulai panik. Siswa-siswi tersebut berlarian ke arah belakang sambil berteriak meminta tolong. Mereka berusaha membuka pintu belakang dan keluar dari sana namun pintu tidak bisa dibuka karena tertabrak dari arah belakang.
Ditambah, tak ada alat pemecah kaca yang tersedia di dalam bus. Para siswa itu bersama dengan guru mereka tewas mengenaskan, terbakar dalam kobaran api di dalam bus tak jauh dari Pintu PLTU Paiton. Karena lokasinya itu, tragedi mengenaskan ini dinamakan Tragedi Paiton 2003.
Sang sopir dan kernet selamat karena berhasil melarikan diri
Di tengah kepanikan para penumpang, 2 kru sopir bus justru berhasil melarikan diri. Kernet bus yang bernama Budi Santoso, selamat lantaran bisa memecah kaca pintu depan. Budi selamat dengan luka bakar di sekujur tubuhnya. Sementara sang sopir, Armando juga selamat setelah melompat dari bus.
Jenazah dibawa ke RSUD Situbondo
Evakuasi korban membutuhkan waktu lima jam lebih. Sebab, rata-rata badan korban terjepit di antara kursi dan kondisi fisiknya gosong akibat terbakar. Nanang Priyambodo, salah satu petugas di RSUD Situbondo, menuturkan, Rabu malam ada beberapa korban yang dibawa ke Puskesmas Besuki.
Namun karena kondisinya gawat, lalu dibawa ke RSUD Situbondo yang berjarak sekitar 45 km timur lokasi kejadian di Paiton dekat tanjakan PLTG Paiton yang berada di perbatasan Situbondo-Probolinggo. Banyaknya jumlah korban meninggal memaksa pihak RSUD Situbondo untuk mengawetkan jenazah menggunakan balok es.
Jenazah juga hanya ditempatkan di lorong karena ruang kamar mayat tidak terlalu besar. Kebanyakan jenazah mengalami luka bakar serius. Ada bagian tubuh yang hilang dan beberapa sulit dikenali. Mereka sulit diindentifikasi karena luka bakar tersebut.
Sopir bus dan truk dijadikan tersangka
Sopir truk trailer, Kozin dan kernetnya, Imam Syafii dijadikan tersangka atas peristiwa memilukan tersebut. Mereka terancam Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang kelalaian yang menyebabkan orang lain meninggal dunia.
Kepada polisi, Kozin mengaku tertidur saat kejadian dan truk dikemudikan Imam. Ia mengaku tak tahu menahu asal kejadian itu. Imam awalnya mengiyakan keterangan Kozin. Bahkan, dia mengaku baru pertama kali mengemudikan truk di jalan. Namun belakangan Imam membantah keterangannya sendiri. Polisi juga menetapkan Armando, sang sopir bus itu sebagai tersangka karena dinilai tidak maksimal menolong penumpang.
Lokasi kejadian jauh dari keramaian
Lokasi insiden mengerikan tersebut ternyata jauh dari keramaian. Daerah Banyu Blugur sendiri memang dikenal sebagai kawasan rawan kecelakaan. Jalan di kawasan ini berbelok-belok dan naik turun. Penerangan pun minim dan kiri kanannya berupa bukit dan tanaman liar. Beberapa warung yang ada di dekat lokasi memilih tutup karena ngeri.
Terbitlah standar keamanan bus yang lebih meningkat
Belajar dari tragedi nahas itu, peraturan standar keamanan bus pun ditingkatkan untuk mengurangi kemungkinan kejadian serupa terjadi. Kini semua bus diwajibkan memiliki palu pemecah kaca, APAR (Alat Pemadam Api Ringan), dan pintu darurat.
Seperti pada Peraturan Menteri Perhubungan no.10 tahun 2012 tentang Standar Pelayanan Minimal Angkutan Massal Berbasis Jalan, berisi kewajiban adanya kelengkapan palu pemecah kaca pada setiap moda transportasi umum darat.
Perangkat sederhana ini berupa palu dengan kepala terbuat dari baja dengan desain meruncing pada ujungnya. Bagian runcing ini memudahkan dalam membuat titik pecah kaca, bahkan yang terbuat dari safety glass sekalipun.
Itulah kronologi Tragedi Paiton 2003 yang menjadi pencetus peningkatan peraturan standar keamanan bus dan moda transportasi darat lainnya.