Akhir-akhir ini publik sedang ramai dengan kasus para miliarder dadakan di Tuban. Kasus ini bermula saat sejumlah warga desa di Sumurgeneng, Kecamatan Jenu, Tuban, Jawa Timur mendadak menjadi miliarder pada Februari tahun lalu.
Usai mendapat ganti rugi dari penjualan tanah dan lahan untuk proyek pembangunan kilang minyak PT Pertamina tahun lalu, mereka berbondong-bondong membeli berbagai hal-hal yang mereka inginkan, mulai dari mobil, hingga barang mewah lainnya.
Satu tahun berlalu, mereka pun menyadari bahwa uang sebesar apapun nominalnya hanyalah titipan semata yang dapat habis dalam sekejap. Mereka mulai menyadari bahwa mata pencahariannya hilang dan uang miliaran itu pun sudah ludes. Kini, mereka juga dikabarkan mau menuntut PT Pertamina.
Fenomena ini pun menjadi sangat menarik dan memicu berbagai pendapat. Tentu banyak hal yang bisa dipetik agar kejadian serupa tidak terjadi lagi. Dikaitkan dengan culture shock atau gegar budaya, namun tak dikelola dengan tepat. Berikut cara sikapi yang tepat saat kamu jadi miliarder dadakan.
Saran untuk para penerima
1. Jangan cepat kaget
Saat tiba-tiba mendapat ‘segepok’ uang, jangan kaget dan kalap. Terkejut mungkin reaksi alamiah atau natural sebagai manusia, tapi kamu harus bisa tenang dan berpikir panjang. Baik menjadi miliarder atau mengalami kasus lain yang berhubungan dengan perubahan tiba-tiba atau culture shock ini, harus disikapi secara bijak.
Saat kamu lebih tenang dan berpikiran dingin, kamu bisa memilah dengan baik, mana kebutuhan yang paling penting untuk dipenuhi, apa yang bisa dilakukan untuk masa depan atau setidaknya hingga beberapa tahun ke depan. Mengetahui apa yang hilang dan apa yang didapat juga penting, sehingga apa yang hilang itu bisa tertutupi dari apa yang kamu dapatkan.
2. Jangan pakai untuk keinginan semata atau barang mewah yang tak bisa menjadi aset
Saat kamu mendapat uang miliaran, tentu kamu akan sangat senang dan berharap bisa mendapatkan apapun. Eits, tapi coba pikir dulu, yuk. Kita lihat dalam kasus masyarakat Tuban. Mereka mendapat miliaran rupiah tapi kehilangan ladang penghasilan mereka dan malah membelanjakan uang untuk barang konsumtif.
Tentu ini bukan saat yang baik untuk memenuhi kebutuhan konsumtif atau barang mewah. Satu dua mungkin bisa ditolerir, dan pilihnya yang setidaknya itu bisa menjadi aset kamu nantinya. Seperti membeli mobil, kendaraan ini memang sangat berguna dan bisa menjadi aset atau mata pencaharian baru saat kamu bisa menggunakannya dengan tepat.
Atau kamu membeli rumah baru dan tanah baru di suatu daerah, pastikan hal tersebut bisa menjadi aset kamu nantinya dan menjadi ladang bisnis dan penghasilanmu yang baru nantinya.
3. Cari informasi edukasi seputar pengelolaan uang dengan tepat
Tak ada salahnya menggunakan uang untuk membeli mobil, rumah, atau membuka usaha. Tapi, kamu harus tau berapa yang akan kamu hasilkan atau dapatkan dengan pengeluaran itu. Misalnya, saat membeli mobil, kamu sudah tahu mobil itu untuk apa, berapa biaya yang akan dikeluarkan, dan apakah bisa menjadi ladang penghasilan baru. Atau rumah, apakah untuk kamu tempati, atau dijadikan tempat bisnis.
Di sisi lain, kamu misalnya ingin merintis bisnis. Gunakan modal yang kamu punya sebelumnya untuk belajar dulu, tahu risiko dan strateginya, baru kamu merintis dengan modal yang telah kamu tetapkan. Intinya, edukasi dan riset itu penting dilakukan sebelum kamu mulai melangkah di kondisi yang baru.
Kamu bisa berkonsultasi dengan orang-orang lain yang sudah dianggap ahli atau bahka menggunakan teknologi, karena jaman sekarang tentu akan mudah mendapat edukasi seputar pengelolaan uang dengan baik. Les online pun sudah banyak tersedia.
Saran untuk pemerintah dan para perusahaan
Sejatinya, fenomena kaya dadakan dan miskin dadakan ini bisa saja tak terjadi saat pemerintah, swasta, dan masyarakat mau bekerja sama dengan baik dalam mengelola apa yang ada, terkhusus tentang dana kompensasi ini. Berikut beberapa saran untuk pemerintah dan pengusaha agar belajar dari fenomena tersebut.
1. Pentingnya pendampingan dari pemerintah dan perusahaan dalam mengelola uang ganti rugi
Mengutip dari pendapat pakar Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Hempri Suyatna, fenomena miliarder Tuban yang bangkrut ini terjadi karena masyarakat tidak siap menghadapi proses perubahan yang terjadi dan sayangnya tidak ada pendampingan dari pemerintah atau perusahaan di dalam mengelola uang ganti rugi tersebut.
Fenomena tersebut mungkin tidak hanya terjadi di Tuban tapi juga daerah lainnya dengan kasus serupa. Oleh karenanya, daerah lain yang mengalami ganti rugi lahan sebagai dampak dari proyek pembangunan, juga perlu diantisipasi dan diberi pendampingan.
"Selama ini, banyak kasus yang terjadi kompensasi ganti rugi lahan dianggap cukup selesai ketika masyarakat sudah menerima uang sebagai kompensasi tersebut. Tidak ada arahan dari pemerintah misalnya terkait penggunaan dana kompensasi tersebut," paparnya.
Saat tidak ada pendampingan, masyarakat bisa jadi hilang arah dan tak berpikir panjang. Oleh karenanya, baik pemerintah dan perusahaan, bisa dengan baik memberi arahan pada mereka mengenai apa itu dana ganti rugi, hukumnya dan bagaimana mengelola dana dengan baik, melalui penyuluhan atau program lainnya, bagi masyarakat.
2. Beri bekal pada masyarakat
Memberi bekal dalam berwirausaha atau membuat lapangan kerja lain juga menjadi tugas bagi pemerintah dan perusahaan. Pemerintah setempat bisa memberikan pembelajaran keterampilan dan wirausaha bagi masyarakat.
"Kalaupun membuka usaha seringkali kecenderungan hampir sama seperti membuka warung kelontong atau usaha dagang. Padahal, masyarakat tidak memiliki bekal untuk itu sehingga mereka mengalami kegagalan di dalam merintis usaha,” ungkap Hempri.
Pemerintah maupun perusahaan dapat memberikan pendampingan manajemen keuangan dan membentuk mental masyarakat untuk berpikir jangka panjang. Mendorong masyarakat untuk mendirikan UMKM atau memberi pelatihan keterampilan.
3. Bentuk kompensasi yang lebih berbobot
Uang memang kebutuhan yang akan sangat diperlukan masyarakat, tapi itu adalah sesuatu yang lekas hilang. Kompensasi-kompensasi yang diberikan, bisa dibuat lebih berbobot lagi yang bisa berdampak jangka panjang. Ini bisa meliputi, program-program alih profesi, memberikan pelatihan dan keterampilan masyarakat.
“Perusahaan dapat mengembangkan program-program tersebut melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) mereka untuk mengembangkan program-program alih profesi ini,” ujar Hempri kembali.
Namun, tentu setelahnya pengaplikasian menjadi hal yang utama. Bukan hanya menjanjikan program atau lapangan pekerjaan baru pada masyarakat tapi juga menepati janji tersebut.
4. Jangan sampai proyek pembangunan munculkan masyarakat miskin
Saran menohok bagi para perusahaan adalah jangan mendirikan proyek untuk kepentingan sendiri tapi justru malah memunculkan masyarakat miskin. Itu tak hanya sampai pada kompensasi tapi juga bagaimana masyarakat atau daerah di sekitar itu juga dapat hidup.
“Kasus di Tuban ini seharusnya bisa menjadi pelajaran untuk kedepannya. Sebab, kasus-kasus pembebasan lahan baik yang dilakukan pemerintah maupun perusahaan harus memperhatikan dampak jangka panjang," katanya.
“Jangan sampai proyek-proyek pembangunan justru memarginalisasikan masyarakat kecil dengan munculnya masyarakat miskin dan pengangguran,” imbuhnya.
Meski akhirnya juga berlabuh pada diri masing-masing, namun, baik pemerintah dan perusahaan tetap memiliki andil untuk menjadikan masyarakat yang lebih maju, membuka lapangan kerja dan tentunya akan memengaruhi kesejahteraan seluruh lapisan.
Itulah pembelajaran yang bisa kamu dapat dari fenomena miliarder Tuban yang jatuh miskin. Saat kamu tak salah langkah dan bijak, apapun akan berdampak positif bagi kehidupanmu.
Disclaimer: Artikel ini sudah terbit di IDN Times dengan judul Fenomena Miliarder Tuban Jatuh Miskin, Apa yang Mestinya Dilakukan?, penulis Dini Suciatiningrum.