Tepat pada hari Minggu (25/12/22) dan Senin (26/12/22) dua buah kapal asing yang membawa warga Rohingya terdampar di tepi pantai Aceh Besar, setelah hampir satu bulan terombang-ambing di lautan lepas. Dua kapal tersebut memuat 231 warga Rohingya yang berasal dari negara Myanmar.
Sebelumnya, pengungsi Rohingya juga sempat beberapa kali terdampar di lautan Indonesia. Menurut data UNHCR pada 2016, jumlah warga Rohingya yang mengungsi ke Indonesia ada sekitar 897 orang dan terus meningkat di tahun 2020 menjadi 921 orang, seiring meningkatnya kekerasan di Myanmar yang berujung pada kudeta Myanmar pada 2021.
Indonesia sendiri bukanlah negara yang menjadi tujuan muslim Rohingya untuk mendapatkan suaka politik, Indonesia hanya menjadi tempat bagi para pengungsi untuk transit.
Lantas, apa alasan ratusan warga muslim Rohingya berbondong-bondong keluar dari negara Myanmar? Konflik seperti apa yang terjadi di Myanmar terhadap muslim Rohingya? Simak fakta-faktanya di bawah ini, yuk!
Etnis tanpa kewarganegaraan terbesar di dunia
Rohingya adalah kelompok etnis minoritas muslim. Kebanyakan dari mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, bermigrasi dari Benggala (daerah yang meliputi sebagian India dan Bangladesh). Rohingya adalah salah satu dari banyak etnis minoritas di Myanmar.
Pada tahun 2017, etnis ini berjumlah sekitar satu juta jiwa. Muslim Rohingya mewakili persentase terbesar Muslim di Myanmar, dengan mayoritas tinggal di negara bagian Rakhine.
Terlepas dari hubungan lama mereka dengan Negara Bagian Rakhine, mereka sebenarnya tidak diakui oleh pemerintah dan secara historis ditolak kewarganegaraannya. Menjadikan mereka sebagai populasi tanpa kewarganegaraan terbesar di dunia.
Kemiskinan serta kekerasan jadi mimpi buruk
Semenjak pemerintah Myanmar menyangkal kewarganegaraan Rohingya dan bahkan mengecualikan mereka dari sensus pada tahun 2014, kehidupan warga Rohingya semakin mendapatkan tekanan.
Tanpa pengakuan sebagai warga negara atau penduduk tetap negara tersebut, Rohingya memiliki akses terbatas dalam dunia pendidikan, pekerjaan, dan pelayanan kesehatan. Hal itulah yang mengakibatkan terjadinya kemiskinan dan marginalisasi kronis.
Kesengsaraan warga Rohingya semakin bertambah tatkala selama beberapa dekade terakhir, banyak kekerasan yang menargetkan warga Rohingya di Myanmar (terutama perempuan dan anak perempuan).
Situasi yang nggak terkendali itu telah mendorong beberapa pemindahan massal terhadap warga Rohingnya, termasuk peristiwa pada tahun 1978, 1991-92, dan 2016. Banyak warga Rohingya telah menghabiskan beberapa dekade tinggal di daerah seperti Cox's Bazar, Kota di Bangladesh.
“Pembersihan Etnis” sudah terjadi sejak 1970
Mirisnya, penganiayaan terhadap muslim Rohingya di Myanmar dimulai setidaknya pada tahun 1970-an. Sejak saat itu, orang-orang Rohingya dianiaya secara rutin oleh pemerintah dan kaum nasionalis Buddha. Sebagian negara besar menganggap operasi militer ini sebagai bentuk pembersihan etnis.
Pembantaian besar kembali terjadi pada akhir 2016, ketika angkatan bersenjata dan polisi Myanmar melancarkan tindakan keras besar-besaran terhadap orang-orang di Negara Bagian Rakhine yang terletak di wilayah barat laut negara itu.
Puncaknya terjadi di tahun 2017. Sebanyak 288 desa hancur sebagian atau seluruhnya akibat kebakaran di negara bagian Rakhine utara setelah Agustus 2017.
Menurut Badan Amal medis Médecins Sans Frontières (MSF), setidaknya 6.700 Rohingya, termasuk setidaknya 730 anak di bawah usia lima tahun, tewas dalam sebulan setelah kekerasan pecah. Amnesty International mengatakan militer Myanmar juga memperkosa dan melecehkan perempuan dan anak perempuan Rohingya.
Timbulkan gelombang pengungsian besar-besaran
Operasi militer yang terjadi di Myanmar membuat banyak orang mengungsi, memicu krisis pengungsi. Gelombang terbesar pengungsi Rohingya melarikan diri dari Myanmar pada 2017, mengakibatkan eksodus manusia terbesar di Asia sejak Perang Vietnam.
Dalam beberapa minggu pertama setelah meningkatnya kekerasan di Negara Bagian Rakhine, hampir 700.000 Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh. Mereka melakukan perjalanan berbahaya untuk sampai ke sana.
Sebelum 25 Agustus 2017, Bangladesh sudah menjadi komunitas tuan rumah bagi 200.000 pengungsi Rohingya. Per Juli 2022, Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan lebih dari 925.000 Rohingya tinggal di Cox's Bazar.
Bukan hanya ke Bangladesh, sementara yang lain melarikan diri ke India, Indonesia, Thailand, Malaysia, dan bagian lain di Asia Selatan dan Tenggara.
Bagaimana tanggapan Internasional?
Sebuah laporan yang diterbitkan oleh penyelidik PBB pada Agustus 2018 menuduh militer Myanmar melakukan pembunuhan massal dan pemerkosaan dengan "niat genosida".
PBB menemukan bukti pelanggaran hak asasi manusia dalam skala besar, termasuk pembunuhan di luar hukum, eksekusi ringkasan, pemerkosaan beramai-ramai, pembakaran desa, bisnis, dan sekolah Rohingya, serta pembunuhan bayi.
Namun, Aung San Suu Kyi menolak tuduhan genosida saat dia hadir di pengadilan pada Desember 2019. Pemerintah Myanmar menganggap hal tersebut ‘terlalu berlebihan’ karena ada hal yang direkayasa dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
PBB dan lembaga lainnya sudah berupaya untuk membantu warga Rohingya. Hingga saat ini, muslim Rohingya belum bisa kembali ke Myanmar karena dianggap situasi yang belum terkendali. Kebanyakan mereka masih berada di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh.