Tutup
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
unfortunately

Sundance Film Festival: Asia 2022, Cara Membangun Konsep Film

Haruskah ada suara pribadi sang sineas?

Zikra Mulia Irawati

Meski berakhir, sesi festival chat dalam Sundance Film Festival: Asia 2022 ditutup dengan sebuah diskusi menarik soal membangun konsep dalam film. Forum ini menghadirkan para sineas senior, seperti Produser Mieske Taurisia, Sutradara Kimo Stamboel, Sutradara Edwin, hingga Sutradara Ham Tran yang filmnya, Maika, juga akan ditayangkan dalam festival ini.

"Jangan takut untuk menceritakan sebuah cerita," pesan Ham.

Cintai cerita

instagram.com/idnmedia

Namun, berani saja masih belum cukup. Sebuah film pada umumnya membutuhkan proses produksi yang panjang. Butuh keyakinan hingga cinta yang besar sejak awal agar cerita tak berhenti di tengah jalan.

"Kalian harus yakin dulu, proyek ini adalah sesuatu yang akan kalian cintai. Ketika kalian membacanya pertama kali, kalian bisa merasakannya," kata Kimo.

Hal serupa dikatakan oleh Mieske. Baginya, seorang film maker harus melibatkan perasaannya ke dalam cerita. Meskipun tak mengalaminya sendiri, aspek ini menjadi penting karena menentukan hal-hal yang akan dilakukan selama proses eksekusi ide.

"Keterlibatan perasaan kita dalam cerita itu menjadi, bisa dibilang, akar dari segalanya. Dari situ nanti akan muncul, dari mulai nulis skenario kah, bikin treatment kah si sutradara, bikin shot kah, atau apa pun itu. Itu semua akan balik ke perasaan kita. Keterlibatan perasaan itu harus kita jaga," tutur Mieske.

Dekati cerita

popbela.com/Zikra Mulia Irawati

Oleh karena itu, para sineas sudah seharusnya mendekatkan diri dengan cerita yang akan digarapnya. Ham Tran saat menggarap Maika pun demikian. Selain karena memang terhubung dalam beberapa aspek, ia menganggap cerita ini seperti temannya sendiri.

"Untuk saya, butuh 3 tahun untuk film ini. Layaknya teman, saya hidup bersamanya. Pada akhirnya, kita harus bersenang-senang bersama, saling mengerti, dan saya harus menceritakan teman saya kepada dunia," ujar Ham.

Lantas, bagaimana dengan sineas yang harus menggarap film adaptasi dari karya lain? Edwin yang menjadi sutradara dan penulis naskah untuk film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas punya ceritanya, nih, Bela! Ada pendekatan tersendiri yang dilakukannya untuk menemukan diri dalam cerita tersebut.

"Untuk personal voice saya rasa nggak perlu dicari-cari, ya. Yang menarik adalah justru bagaimana kita mengenali lagi personal voice ini. Karena kadang-kadang kita bisa lupa, bisa tersesat juga pada diri kita sendiri. Dengan membuat film, kita bisa panggil lagi, atau bisa kita ingat-ingat lagi," jelasnya.

Saat menggarap adaptasi novel populer karya Eka Kurniawan tersebut, ia teringat kepada ketertarikan masa kecilnya terhadap mobil truk. Hal inilah yang akan dijadikan suara pribadinya. Sebelumnya, ia dan Eka pun telah sepakat untuk tidak kaku dengan menjadikan versi filmnya 100% sama dengan versi bukunya.

"Memang sepakat kami berdua juga nggak memaksakan adaptasi ini 100% dari buku. Tapi lebih kepada bagaimana kita menerapkan pengalaman kita, memori kita, yang ada di buku itu ke sebuah medium baru bernama audiovisual ini. Adaptasi ini jadi bukan pembatas," imbuhnya.

Sudah mulai terpikirkan sebuah konsep cerita setelah membaca tulisan ini, Bela? Jangan takut untuk memulainya, yuk!

IDN Channels

Latest from Working Life