Bela, pernahkah kalian menjawab "Nanti, tunggu akhlak ku baik," kepada orang yang bertanya kapan kamu akan berhijab? Aku pernah dan aku juga pernah sinis terhadap mereka yang berhijab tapi tidak mengindahkan perilakunya.
Tapi profesiku sebagai Jurnalis justru mengubah perspektifku ketika aku mewawancarai seorang aktris yang mendapat nasihat dari seorang ustadzah ternama. "Kebalik, berhijab dulu, akhlak nanti akan mengikuti." Dalam hati, aku setuju dengan ceritanya. Lalu mengenai sinismeku terhadap perempuan berhijab hingga bercadar juga berubah, Bela. Dikelilingi teman berhijab perlahan membuat sinisme-ku menghilang. Yang tadinya pernah bergumam dalam hati "Ah kamu percuma berhijab kalau masih berpakaian ketat," justru aku sadar, aku yang tak berhijab (dan kamu) justru tidak pantas berkata seperti itu! Kenapa?
Aku ingat betul temanku yang berhijab, Dyah Ayu Amallia. Ia pernah mengatakan "hijab itu bukan tolak ukur ketaqwaan seseorang, Ra," ucapnya ketika kami membicarakan kasus "Jilboobs" yang pernah heboh. Awalnya aku bingung, tapi setelah kembali aku cermati, ada betulnya juga. Toh siapa aku (dan kamu, Bela) yang berani-beraninya menilai mereka buruk? Aku yang pernah sinis kepada mereka mulai sadar, hanya Tuhan yang berhak menilai ketaqwaan dan akhlak hambanya. Hijab yang mereka kenakan adalah sebuah ekspresi yang mereka pilih karena mencintai Allah Swt dan rasulullah, selain itu untuk memenuhi kewajiban seorang perempuan muslim untuk menutup auratnya. Baik dan buruknya perilaku mereka (dan kita) sesuai dengan perkataan ustadzah, "Akhlak nantinya akan mengikuti," yang bermakna bahwa menjadi pribadi yang lebih baik itu membutuhkan proses. Sama kan seperti kita yang belum berhijab? Membutuhkan proses untuk memperbaiki diri.
Jujur saja, aku pernah gugup ketika melihat perempuan yang mengenakan hijab dan baju serba hitam, hanya mata yang terlihat. Bukan, aku grogi bukan karena menganggapnya teroris, sungguh, tak pernah aku menilai seseorang dari pakaiannya kalau dia itu teroris. Hanya saja dulunya pakaian itu masih asing di mataku. Namun, setelah ku pikirkan, aku sadar mau mereka berpakaian syar'i, berhijab turban, atau bahkan sampai pakai cadar hingga burka, itu pilihan mereka Bela. Perempuan berhijab yang memilih gaya turban jangan kau hakimi sebagai "kerdus" atau kerudung dusta (kamu pernah kan dengar ledekan ini?). Jangan hakimi pilihan mereka, jangan pula kamu menilai mereka yang bercadar adalah pemeluk Islam yang ekstrem. Jangan sampai perempuan yang bercadar atau mengenakan burka tak nyaman dengan tatapan sinis kita seperti muslimah di negeri Barat yang sering mendapatkan perbuatan yang tak menyenangkan, Bela.
Sama seperti saat kita menilai seorang perempuan yang berhijab tengah bergosip, sebelum judging, pernahkah kamu sadar kalau kita yang belum berhijab ini juga masih saja bergosip? See? kita sama-sama manusia yang membuat kesalahan! Seperti kata temanku Dyah Ayu, "Nggak usah susah-susah membandingkan siapa yang lebih taqwa dari yang lain, berjilbab atau tidak, itu sama sekali bukan urusan kita. Tapi buat yang berjilbab tentunya malu sekali kalau berbuat hal-hal yang nggak baik, karena kita sudah pakai identitas kalau kita muslim lho. Jadi harusnya jilbabnya jadi 'pagar'," ucap temanku lewat perbincangan via Whatsapp.
Jadi, jika ada yang menilaimu tidaklah lebih baik dibanding perempuan yang berhijab, tenanglah, people always judge, tak perlu membalasnya, Tuhan yang lebih berkuasa menilaimu. Tetapi jika kamu masih menilai seseorang dari pakaiannya, make sure you're perfect dan jangan marah kalau mereka menilaimu pula. Aku setuju atas pernyataan temanku yang umat nasrani, Greeta Sadeli saja pernah bilang, "yang salah itu bukan pakaiannya, tapi individunya, Ra. Ya nggak?" Jadi jangan salahkan hijabnya.
"Never judge someone without knowing the whole story."