Pada hari ini, Kamis (24/02/2022) Rusia secara resmi telah meluncurkan invasi secara penuh ke Ukraina. Koresponden Al Jazeera, Andrew Simmons, melaporkan dari Kyiv, bahwa setidaknya ada tujuh "ledakan keras" telah terdengar di ibukota Ukraina. Suara tembakan juga terdengar di dekat bandara utama Kyiv, melansir dari Interfax.
Kejadian yang kita takutkan ternyata terealisasi juga. Setelah dihantam oleh pandemi, rantai pasokan tersendat, lonjakan harga, ekonomi global yang semetinya siap untuk 'berdamai' dengan pandemi, malah justru tersandung serangan baru potensi perang besar di Eropa.
Hal ini membuat negara-negara yang bergantung pada pasokan energi, gandum, nikel, dan bahan pokok lainnya yang kaya di kawasan itu dapat menghadapi lonjakan harga.
Melansir dari The New York Times, Rusia adalah produsen utama minyak dan gas alam. Sehingga, konflik geopolitik yang sedang berkembang, telah membuat harga keduanya naik tajam dalam beberapa pekan terakhir. Rusia juga merupakan pengekspor gandum terbesar di dunia dan merupakan pemasok makanan utama ke Eropa.
Amerika Serikat sendiri mengimpor relatif sedikit dari Rusia. Tetapi, krisis komoditas yang disebabkan oleh konflik dapat memiliki efek lanjutan, yang setidaknya untuk sementara menaikkan harga bahan mentah dan barang jadi, ketika sebagian besar dunia—termasuk Amerika Serikat—sedang mengalami krisis. Ini akan menjadi inflasi yang cepat. Benarkah?
Sebenarnya masih terlalu dini untuk mengukur dampak yang tepat dari konflik bersenjata, namun bukan berati hal ini tidak serius untuk dipertimbangkan sebagai bahan persiapan.
Christian Bogmans, seorang ekonom di Dana Moneter Internasional, mengatakan konflik di Ukraina dapat lebih meningkatkan harga pangan global, yang ditetapkan untuk menstabilkan setelah meroket tahun lalu. Berikut sebagian kecil contohnya yang sudah terjadi.
Tidak terlalu berpengaruh terhadap migas, namun tetap waspada
Melansir dari The New York Times, betapapun kerasnya efeknya, dampak langsungnya tidak akan separah penutupan ekonomi mendadak yang pertama kali disebabkan oleh virus corona pada tahun 2020.
Rusia memang memiliki gudang senjata nuklir yang sangat besar serta pemasok utama bahan bakar nuklir, minyak, gas, dan bahan mentah yang membuat pabrik-pabrik dunia tetap berjalan. Tapi tidak seperti Tiongkok, yang merupakan pembangkit tenaga listrik manufaktur dan terjalin erat ke dalam rantai pasokan yang rumit, Rusia adalah pemain kecil dalam ekonomi global.
Harga Bitcoin dan emas jatuh
Melansir dari Bloomberg, pasca Presiden Rusia Vladimir Putin melakukan operasi militer di Ukraina Timur, harga Bitcoin langsung meluncur hingga 7,4 persen menjadi US$34.783, atau setara dengan Rp500,32 jutaan. Padahal, Bitcoin sempat berada di level US$69.044,77 atau sekitar Rp993 jutaan pada November 2021 lalu.
Sementara itu, harga emas yang sempat turun ketika Rusia menarik bala tentaranya beberapa hari yang lalu, kini justru meroket ke harga Rp984 ribu per gram. Menurut analis DCFX Futures, Lukman Leong, kenaikan tersebut dipicu oleh serangan militer Rusia terhadap Ukraina, yang dimulai pada Kamis pagi sekitar pukul 06.00 waktu setempat.
Kepercayaan konsumen yang menurun
Jika konflik mendorong ketidakpastian global dan menyebabkan investor menuangkan uang ke dalam dolar, mendorong nilai mata uang, hal itu bisa membuat impor Amerika Serikat lebih murah.
Menurut Victor Meyer, chief operating officer Supply Wisdom, risiko perdagangan lainnya membayangi. Kerusuhan di perhubungan Eropa dan Asia dapat menimbulkan risiko bagi rantai pasokan yang telah digoyahkan oleh pandemi. Ditambah lagi, kemungkinan ada efek tidak langsung lainnya pada ekonomi, termasuk mengguncang kepercayaan konsumen.
Jadi, apa yang bisa kita lakukan sekarang? Hanya berdoa untuk yang terbaik namun tetap bersiap untuk yang terburuk.