Menonton Past Lives bagai diajak menjelajahi bisingnya perkotaan dengan suasana hati yang kalut. Saya dibawa terhanyut dengan kisah Nora (Greta Lee) bersama cinta pertamanya, Hae Sung (Teo Yoo). Karya debut Celine Song sebagai sutradara ini cocok jadi tontonan untuk merehatkan pikiran dari penatnya pekerjaan.
Past Lives sudah tayang di bioskop Indonesia mulai 15 November. Berikut ulasan Popbela supaya kamu makin yakin untuk menontonnya.
Sinopsis Past Lives
Nora lahir di Korea Selatan dengan nama Moon Na Young. Ayahnya bekerja di industri film. Suatu hari, ia dan keluarganya memutuskan untuk pindah ke Toronto, Kanada. Hal tersebut membuatnya terpisah dengan teman masa kecilnya, Hae Sung.
Sebagaimana anak-anak yang beranjak remaja, keduanya menunjukkan ketertarikan satu sama lain. Dua belas tahun berselang, benih cinta tersebut rupanya masih tetap ada. Nora dan Hae Sung kembali bertemu via layar. Namun, segalanya lagi-lagi tak berjalan dengan mulus.
Dua belas tahun kemudian lagi, Hae Sung memberanikan diri untuk menemui Nora yang tinggal di New York City. Ia ingin menuntaskan segala tanda tanya yang tersisa di antara dirinya dan Nora–meski mustahil bagi keduanya bersatu karena Nora sudah menikah dengan Arthur (John Magaro).
Konsep indah tentang takdir
Dalam trailernya, penonton langsung disuguhi dengan konsep takdir yang dipercayai masyarakat Korea Selatan yang disebut dengan In Yun (인연). Dua orang yang berjodoh yang tak sengaja bertemu disebutkan memiliki 8.000 lapis In Yun.
Menurut saya, konsep tersebut dieksekusi dengan apik oleh Celine. Banyak dialog yang mungkin kerap kita lontarkan di kehidupan sehari-hari apabila dunia tidak berjalan sesuai keinginan. Salah satu yang paling relate adalah ketika Hae Sung berandai-andai jika Nora tak pindah ke luar negeri, akankah keduanya menikah dan hidup bahagia sebagai pasangan? Di sisi lain, Arthur pun membayangkan skenario serupa.
Mungkin percakapan seperti ini terasa kurang berkenan sebab Nora sudah bersuami. Namun, saya suka dengan jawaban-jawaban untuk pengandaian tersebut. Kalau meminjam kalimat yang belakangan sedang ngetren di media sosial, Past Lives bisa saya simpulkan dengan: adulting adalah ketika kita berhasil menerima takdir dengan lapang dada.
Pengambilan adegan yang menawan
Dari segi alur, Past Lives mungkin terasa klise. Trailernya bahkan–menurut saya–telah mengekspos inti film dengan total durasi 106 menit ini. Namun, kamu nggak bakal rugi jika menyempatkan nonton film ini di bioskop. Saya berani jamin kalau sinematografinya juara!
Seperti yang saya sebutkan di awal, Past Lives mengajak kita menjelajahi masa lalu bersama segala kebisingan kotanya. Alih-alih meredamnya, Celine memanfaatkan suara klakson mobil, aliran air, bunyi tik keyboard, dan noise alami lainnya untuk memperkuat suasana film ini.
Bahkan dalam segi visual, Celine hanya memanfaatkan teknik-teknik pengambilan gambar sederhana sehingga menimbulkan kesan tengah menyaksikan kisah orang yang ada di meja seberang di sebuah restoran. Akting pemainnya pun layak diacungi jempol. Alih-alih banyak bicara, mereka pandai menyampaikan emosi lewat ekspresi-ekspresi mikro yang membuat penonton turut bersimpati.
Semibiografi–sebagian dari kisah nyata Celine Song
Satu fakta menarik tentang Past Lives: sebagian skenarionya ternyata berasal dari kisah nyata sang sutradara. Jika menengok biografinya yang beredar di internet, Celine dan Nora memang sama-sama lahir di Korea lalu pindah ke Benua Amerika, ayahnya bekerja di industri film, dan berprofesi sebagai penulis skenario drama.
Sebagai film yang menggabungkan budaya dua negara, Past Lives sukses menjadi film yang mengadopsi ciri khas sinema Korea dan Amerika dengan imbang. Saya sendiri cukup menyukai kehadiran John Magaro sebagai Arthur yang berhasil memberi suasana segar dengan usahanya untuk belajar bahasa Korea. Sungguh film yang berkesan di penghujung tahun!