Voice of Baceprot: Wujud Suar Lantang Kartini Masa Kini

Berani mematahkan bias dan stigma di usia muda

Voice of Baceprot: Wujud Suar Lantang Kartini Masa Kini

Apa jadinya jika tiga perempuan yang bertemu di Madrasah Tsanawiyah di desa Ciudian, Garut, berani menantang stigma perempuan muda berhijab yang justru membawa mereka sukses tur musik hingga tanah Eropa? Di Jakarta lah, mereka akhirnya mengadu nasib. Di kota Metropolitan ini mereka mempelajari musik, bahasa Inggris, mempermudah akses mereka dalam berkarya, berbagi cerita dengan media, hingga persiapan untuk tur-tur luar negeri berikutnya.

"Jakarta belajar survive, kenapa-kenapa ditelan sendiri," ungkap Euis Siti Aisyah selaku drummer Voice of Baceprot. Hal ini diamini oleh kedua rekannya, sang vokalis sekaligus gitaris, Firda Marsya Kurnia (Marsya) dan basis, Widi Rahmawati. 

"Kerasa banget kalau dunia itu tidak berhenti berputar. Di kampung kan, kita tahu jam 7 malam tuh, udah sepi, tapi kalau di Jakarta terang benderang seperti tidak ada yang tidur," cerita Marsya kepada Popbela di Future is Female Popbela Podcast. 

Tentu saja pertengkaran akan kebiasaan di rumah, tidak jarang terjadi, sejak mereka tinggal bersama di Jakarta Selatan. Mulai dari cara membersihkan rumah bersama, kebiasaan bangun tidur, yang kalau bisa dikatakan, "mirip seperti sebuah pernikahan ya," canda Popbela, yang disambut gelak tawa. "Jangan-jangan kita memang sudah menikah!" sambung Siti, yang memang terkenal akan sifat humorisnya.

Voice of Baceprot: Wujud Suar Lantang Kartini Masa Kini

(Widi) jaket embellished WILSEN WILLIM, (Marsya) vest dan organza inner STUDIO JEJE, kemeja putih +J UNIQLO, (Siti) kemeja WILSEN WILLIM

Baik Marsya, Siti maupun Widi, tidak pernah menyangka mereka ada di titik kesuksesan ini. Dulu mereka hanya ingin ikut ekstrakurikuler teater, yang malah bermuara ke sebuah kelompok band. Jika tidak ada kehadiran Abah sang mentor dan tekad kuat, mungkin ketiga perempuan yang masih berusia di bawah 22 tahun ini, masih berada di Garut, mengikuti jejak teman-teman seusia mereka. Yaitu, menikah.

"(Not) Public Property" yang menjadi single terbaru VoB, rilis bertepatan dengan International Women's Day. Lagu ini menjadi representasi kegerahan mereka akan tuntutan dan stigma terhadap perempuan. Lagu ini mereka gencarkan untuk menunjukkan bahwa berbagai stigma tentang perempuan, masih kokoh bersuar di negara ini. Bahwa tubuh perempuan dan pemikirannya, adalah milik sendiri dan bukan menjadi urusan orang lain. 

Pertanyaan stigmatis juga masih mereka terima ketika pulang ke kampung halaman, seperti; "Kapan menikah".

"Di sana kan, lumrah usia 22 udah nikah. Apalagi angkatan kita udah 'habis' (menikah), udah pada punya anak," ungkap Widi. "Trus kayak ditanya, abis itu mau apa. Ya, kita bingung jelasinnya, karena kalau kita jelasin, belum tentu mereka mengerti," tambah Marsya.

(Widi) jaket embellished WILSEN WILLIM, (Marsya) vest dan organza inner STUDIO JEJE, kemeja putih +J UNIQLO, (Siti) kemeja WILSEN WILLIM

Apa yang terjadi di lingkungan hidup mereka—baik secara hubungan sosial maupun sektor pendidikan—menjadi inspirasi kenapa lagu-lagu mereka sangat kental akan isu sosial. Mulai dari kesetaraan gender, sistem pendidikan yang perlu diperbaiki lagi, hingga penilaian orang terhadap perempuan di skena musik metal.

Bahkan, tuntutan sosial untuk perempuan juga begitu besar, mulai dari standar usia menikah, jenjang karier, hingga cara mendidik anak yang tak putus dari kritik.

Kemeja +J UNIQLO, korset denim dan celana panjang WILSEN WILLIM

"Jangan pernah kehilangan kebanggaan pada diri kita, ketika ada orang yang bilang kalau kita tuh, belum cukup baik. Karena kita sendiri lah yang lebih kenal kemapuan dalam diri dan kualitas diri kita," kata Siti menanggapi betapa besarnya tuntutan sosial masyarakat terhadap jati diri perempuan.

Kemeja +J UNIQLO, outer dan korset lace WILSEN WILLIM

Menyambung Siti, Marsya juga memberikan ketegasan, "yang pasti harus utamakan kebahagiaan diri sendiri dulu. Buat teman-teman yang sudah menikah dan punya anak, kita harus bisa memutus rantai patriarki, istilahnya. Kita harus bisa mengajarkan kepada anak-anak kita nanti, bagaimana berbagi peranan porsi di rumah. Bahwa pekerjaan rumah itu—seperti yang mbak bilang tadi—genderless," akunya, menyadari bahwa proses untuk menjadi sebuah kebiasaan tersebut tidak terjadi dalam satu-dua hari, melainkan karena diajari dan dibiasakan.

Tank top panjang organza STUDIO JEJE, sweater UNIQLO, jaket down +J UNIQLO

Senada dengan kedua temannya, Widi memberikan komentarnya dengan santun, "Untuk siapapun, mau perempuan atau cowo, harus bisa mencintai dan menghargai diri, karena itu wujud dari rasa syukur yang paling indah. Karena dengan hal itu, kita bisa lebih mengenali betapa berharganya siapapun dan apapun kita. Kita bisa menjadi apa pun yang kita inginkan dengan bangga dan bahagia."

(Marsya) jaket WILSEN WILLIM, (Widi) jaket embellished WILSEN WILLIM, (Siti) atasan organza embellished STUDIO JEJE

Saat ini Voice of Baceprot sedang mematangkan kelihaian mereka bermusik, sekaligus mempersiapkan diri untuk tur berikutnya ke berbagai negara di Eropa yang akan berlangsung pada tahun ini.

Jika mereka yang berasal dari desa bisa mewujudkan mimpinya dan mematahkan stigma dan keraguan dalam melangkah, kamu bisa juga, kan?

Simak lebih lengkap wawancara serunya di Future is Female Podcast Popbela, yang akan segera tayang.

Photo credit:

Photographer:
Nurulita

Fashion Editor/Stylist:
Michael Richards

Asst. Stylist:
Hafidhza Putri Andiza

Hijab Stylist:
Lieya Lay 

Beauty Editor:
Jennifer Alexis

Interviewer:
Ayu Utami

Makeup Artist:
Ira Sumardi 

Baca Juga: Tepat! Google Indonesia Dapuk Voice of Baceprot untuk Patahkan Bias

Baca Juga: Tak Asal Bikin Lirik, 3 Lagu dari VoB ini Sarat Pesan Sosial

  • Share Artikel

TOPIC

trending

Trending

This week's horoscope

horoscopes

... read more

See more horoscopes here

























© 2024 Popbela.com by IDN | All Rights Reserved

Follow Us :

© 2024 Popbela.com by IDN | All Rights Reserved