Dari kecil hingga tumbuh dewasa kita berharap bisa memperoleh kesempatan untuk melakukan aktivitas yang kita inginkan. Kenyataannya tidak seperti itu karena kehidupan telah memberikan banyak tuntutan seperti orangtua menginginkan kita segera menikah dan memiliki cucu, bekerja harus di perusahaan bergengsi dan lainnya.
Kita banyak terjebak di dalam trik psikologis ini setidaknya sekali. Hasilnya pemikiran-pemikiran seperti ini terpatri dalam diri kita seperti tujuh hal ini, Bela.
1. “Orang sukses harus punya mobil, apartemen dan gadget terbaru."
Masyarakat saat ini mudah terprovokasi untuk hidup konsumtif misalnya membeli gadget, tas dan mencicipi kuliner terkini. Mereka membentuk pemikiran “kita harus mencobanya atau memilikinya,” meskipun sebenarnya bisa saja diluar batas kemampuan ekonomi.
2. “Apakah gaya hidup saya bisa setara dengan seorang selebritas?”
Psikolog menguraikan fenomena untuk mengikuti gaya hidup kelompok sosial yang berbeda seperti berupaya untuk meniru kehidupan artis, pengusaha atau orang kaya yang punya segalanya kian marak padahal keadaan ekonomi kita sesungguhnya jauh berbeda tetapi kita cenderung memaksakan diri supaya tampak sukses.
3. “Saya tidak bisa hidup tanpa Instagram.”
Foto-foto yang kamu tampilkan di media sosial akan menunjukkan keberhasilanmu. Setidaknya itulah yang dipikirkan saat orang-orang lain sibuk memasang foto traveling-nya ke luar negeri atau menyantap makanan yang enak. Sementara psikolog berpendapat berbeda menyikapi hal ini, mereka percaya orang-orang yang suka memamerkan kehidupan mereka telah mengembangkan fitur narsistik, sementara pengunjung yang melihat akun kita akan merasa iri bahkan depresi.
4. “Pilihlah pekerjaan yang bonafid, pekerjaan seperti penjahit dan tukang masak kurang penting.”
Selama bertahun-tahun masyarakat kita telah membentuk gagasan bahwa seseorang tanpa pendidikan tinggi memiliki status sosial yang berada di bawah kita. Ketika kita memperoleh gelar D3, S1, S2 dan S3 otomatis lebih berpeluang bekerja di perusahaan bergengsi tetapi akibatnya kita kehilangan respek terhadap pekerjaan sederhana seperti penjahit, juru masak, tukang listrik dan lainnya.
5. “Traveling ke Mana Tahun Ini?”
Menjelang akhir tahun seperti sekarang ini kita cukup familiar dengan pertanyaan traveling ke mana tahun ini? Rasa tidak percaya diri akan muncul kalau mengatakan nggak ke mana-mana. Padahal tidak ada kewajiban lho, cuma menjadi kebanggaan tersendiri saat ditanyakan oleh orang lain bahwa kamu sudah pernah traveling ke sana. Ditambah lagi bonusnya kamu bisa mengunggah foto-foto berpemandangan keren di media sosial seperti Instagram dan Facebook yang mengundang banyak likes.
6. “Yang paling utama adalah kenyamananmu. Masalah orang lain tidak berhubungan denganmu.”
Bayangkan Bela kalau kamu terjebak dalam situasi terjatuh di jalan raya licin yang cukup ramai dan akibatnya kakimu terluka. Ketika seseorang memutuskan untuk menolongmu menurut pandangan orang-orang yang lewat, untuk apa membantu orang yang tidak dikenal? Mengapa mereka menyia-nyiakan waktunya untuk kita? Idealnya kita memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkannya tetapi kenyataannya kita memiliki kecenderungan acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar.
7. “Apakah kamu benar-benar peduli atau hanya sekedar basa-basi?"
Bagi masyarakat kita, pertanyaan seperti itu "kapan kamu menikah, punya anak dan berencana tambah anak?" terasa sangat lazim meskipun sangat personal, biasanya diucapkan setelah lama tidak berjumpa. Faktanya mereka seringkali tidak benar-benar peduli atau hanya basa-basi saja. Mereka yang bertanya tentu tidak mengetahui bagaimana ikhtiar si single mencari jodoh atau seberapa lama pasangan muda tersebut sudah berusaha namun belum dikaruniai buah hati.
Apakah kamu siap melawan pendapat mayoritas?