Tunanetra juga bisa motret. Terdengar aneh atau tidak mungkin? Tapi pernah nggak kamu mendengar kalimat bijak “kita memotret bukan menggunakan mata, tetapi pakai hati” Terdengar klise memang, tetapi quote tersebut benar adanya lho. Buktinya di luar negeri sana, banyak fotografer tunanetra yang mempunyai karya foto dan sudah dipamerkan pula. Lalu bagaimana mereka membidik objek atau subyek jika mereka kehilangan panca indera melihat?
Pada website curatorial.org, mereka mengatakan kalau karya besar itu bukan diproduksi pakai mata tetapi hasil dari sebuah pemikiran. Contoh nyata yang sudah terbukti yakni seperti Beethoven, komposer musik yang sukses di usia 20 tahun namun harus kehilangan kemampuan mendengar di usia 30 tahun, tetapi ia tetap produktif menciptakan musik. Jika awalnya Beethoven menciptakan musik bernada tinggi ketika masih memiliki kemampuan mendengar, namun ketika ia tuli, Beethoven mulai mengaransemen lagu dengan nada rendah, tetapi seiring berjalan waktu ia kembali memasukkan notes tinggi dalam karyanya, dengan keterbatasannya, Beethoven mengaku berkarya dengan cara berimajinasi seolah ia bisa mendengar.
Jika Beethoven tak mampu mendengar namun tetap berhasil menciptakan karya musik dengan cara berimajinasi, sama seperti fotografer tunanetra yang juga mengandalkan naluri sebagai pengganti penglihatan mereka. Buktinya para fotografer tunanetra ini bisa menghasilkan karya foto yang visualnya sangat emosional dan kaya akan konsep.
1. Karya Foto berjudul “Topeng” dan “Mesin Sekaratku”
2. “Gila-Gilaan”
Bruce Hall, lewat karya fotonya berjudul “Frenetic” atau diartikan “Gila-gilaan” ini Hall ingin mengatakan kepada dunia kalau ia tetap bisa merekam kesehariannya bergurau dengan anak lelakinya yang kembar dan menyandang autisme.
3. “Diantara yang tak terlihat dan terlihat, menggapai keseimbangan emosi”
Karya foto Gerardo Nigenda yang judul foto aslinya “ Entre lo invisible y lo tangible, llegando a la homeostasis emocional “ ini ia potret dengan cara peka terhadap suara, memori, dan sensasi lainnya. Ia pun menggunakan huruf braille untuk mengekspresikan suatu yang ia rasa terhadap karya fotonya. Lewat hasil jepretannya, Nigenda hendak menyampaikan ia membutuhkan orang yang bisa melihat dan menjelaskan karyanya tersebut, tetapi orang yang dapat melihat membutuhkan Nigenda untuk membaca huruf braille yang ia tulis pada karya fotografinya.”
4. Calton Hill
“Aku memegang kamera dengan mengulurkan tanganku ke atas kepala, lalu tidur di lantai,” jelas Rosita McKenzie fotografer tunanetra asal Skotlandia ketika ia memotret suasana di Calton Hill. “Aku bisa bereksperimen karena aku nggak bisa melihat. Tapi aku bisa merasakan cahaya di wajahku. Aku mendengar suara angin di pohon atau mencium wangi dari bunga di udara. Orang banyak bertanya bagaimana aku mengatur komposisi saat motret, nyatanya aku nggak pernah mengatur komposisi,” ucap Hilton tertawa.
5. “Potret Diri”
Victorine Floyd Fludd yang tergabung sebagai anggota Seeing With Photography Collective ini memotret dirinya dengan menggunakan teknik bermain dengan cahaya. Biasanya menggunakan teknik Bulb supaya bisa menangkap gerakan cahaya dengan bukaan rana yang cukup lama sesuai kebutuhan. Hasilnya seperti pada karya self potret milik Fludd di atas. Menurut guru fotografinya, pada foto ini Fludd memegang sebuah benda yang mrenghasilkan cahaya sambil menari dengan iringan musik Caribbean.
Terbuktikan kalau keterbatasan itu nggak menghambat kita untuk berkarya? Buktinya saja fotografer tunanetra di atas sudah membuktikan kepada dunia bahwa mereka bisa melihat lewat dunia fotografi.
Sumber: Time.com, curatorial.org, seeingwithphotography.com