Emosi hingga kehidupan yang kelam begitu tersirat pada konsep konser musik bertajuk “Romantic Schizophrenic” pada Jumat lalu (⅔) di Goethe Institut, Menteng – Jakarta. Alat musik piano, cello, dan biola pun terdengar harmonis, tak ada satupun alat musik yang mendominasi seolah 'pongah'. “Bermain musik lebih dari satu orang itu tidak boleh punya ego,” kata sang pianis andal, Reza Asril Sjarfi. Namun para musisi berhasil memainkan emosi para penikmat musik lewat melodi hingga set panggung yang tampak kelam.
Reza memang tak hanya mengajak penikmat musik untuk mendengar melodi nan indah. Dari sisi visualnya pun, Reza dan teman sesama musisinya yang tergabung dalam grup Chamber Music ESCALA mengajak undangan untuk menikmati proses dan bisa merasakan konsep, ide dan tujuan konser “Romantic Schizophrenic,” yakni dari hanya menikmati musik, menjadi memahami musik.
Bahkan set panggungnya pun, membuat penikmat musik klasik ikut merasakan kegetiran dari makna batu nisan yang menghiasi panggung pada konser musik klasik yang diinisiasi pianis berbakat, Reza Asril Sjarfi.
“Nisan itu bukan tempat tujuan akhir kita. Nisan itu mewakili kegilaan kita. Sama seperti salah satu lagu yang dibawakan, menceritakan seorang bapak yang membawa lari anaknya karena akan diambil oleh kematian. Dari situ kita belajar, kematian adalah bagian dari kehidupan kita, semua di dunia itu nggak pasti, yang pasti itu segala hal yang hidup akan mati,” jawab Reza ketika ditanya apa arti dari batu nisan yang menghiasi panggung.
Tapi, yang tak kalah menariknya lagi adalah tajuk konser musik yang dipilih, yakni ‘Romantic Schizophrenic’. Sebab, tajuk tersebut benar-benar mewakili kehidupan Reza yang dikecewakan seorang yang spesial di hatinya, Bela. Hubungan spesial yang bisa dibilang singkat inilah yang membuat Reza mengalami schizophrenia, atau gangguan mental kronis yang menyebabkan penderitanya mengalami delusi, halusinasi, pikiran kacau, dan perubahan perilaku. Hebatnya, ia tak malu untuk mengungkap apa yang ia hadapi, Bela.
Bahkan meski belum rela kehilangan seorang yang ia harapkan, Reza sadar betul kalau pengalamannya ini tak boleh membuatnya terpuruk dan terbelenggu oleh emosi dan pikiran yang mendominasi dirinya. “Meski belum rela, aku bisa lebih pasrah, ikhlas, menghargai apa yang sudah didapat dan yang hilang.”
Lewat kekecewaan inilah Reza menumpahkan perasaannya lewat musik, Bela. “Karena, ketika orang lain dengar aku main musik, dia tahu apa yang sedang aku alami. Dan aku adalah tipe yang terbuka untuk bercerita kepada orang lain,” jawab pianis andal ini.
Maka tak heran pula kalau kisah romantisme yang dialami Reza jadi latar belakang yang menarik dalam konser ini. “Lagu-lagu yang dibawakan dalam konser ini diinspirasi oleh kisah nyata mengenai seorang anak laki-laki, yang di suatu waktu dia mengalami fase titik terendah dalam hidupnya, di mana semua warna, suara dan cahaya menghilang. Musik yang berada di konser ini memiliki bentuk skizofrenia yaitu suatu perubahan emosi, karakter yang sangat kontras,” tutur pianis berkacamata ini.
Melalui konser ini, grup Chamber Music ESCALA mengajak penonton untuk keluar dari mindset, dan harus jadi orang yang bebas. “Setelah ini rasakan saja, kalau mau marah ya marah, mau sedih atau bahagia itu adalah naluri, seperti ketika aku main piano tadi, temponya cepat but in control, sama seperti hidup, mau marah boleh tapi terkontrol, mau sedih mau bahagia tapi terkontrol,” tutup Reza.