Mengingat hari ini dunia tengah memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM), Popbela.com ingin berbagi informasi penting buat kaum perempuan. Dari sebuah diskusi yang diadakan United Nation Development (UNDP) Indonesia, sebagai perempuan, kita patut berbangga, Bela. Dalam diskusi tersebut, UNDP mengundang pejuang hak perempuan di daerah rawan konflik. Selama ini yang kita ketahui mengenai Banda Aceh hanyalah Peraturan Daerah Syariat yang sangat ketat, padahal nggak hanya itu saja lho! Sedangkan di Halmahera, Maluku Utara, konflik SARA yang sesekali terjadi juga tak jarang menganggu kedamaian dan ketentraman khususnya bagi kaum perempuan di Halmahera.
So, kamu harus tahu apa saja upaya kedua sosok yang telah menerima N-Peace Award yang didukung oleh Badan PBB di sini.
1. Suraiya Kamaruzzaman
Suraiya, atau biasa disapa Aya ini adalah sosok di balik layar berdirinya LSM Flower Aceh yang memperjuangkan hak-hak wanita Aceh. Karena ia begitu gigih mengkritisi Qanun Jinayat atau peraturan daerah Aceh tentang hukum pidana Islam yang sangat diskriminatif bagi kaum perempuan, Aya pernah dituduh sebagai Antek Amerika. "Saya sangat ingin yang menuduh saya, datang bertemu dan mengajak saya untuk berdiskusi," ucap Aya saat diwawancarai Popbela.com.
Kini Aya tengah memperjuangkan hak perempuan korban konflik masa lalu yang menjadi korban kekerasan seksual di Aceh yang sampai hari ini belum mendapat pemulihan dan belum mendapat perlindungan secara maksimal dari pemerintah. Pasalnya jika si pelaku bersumpah, bahwa ia tidak melakukan pemerkosaan, kasus tersebut dianggap gugur. Lalu, jika si korban tidak berani bersumpah, akan dikenakan pasal pencemaran nama baik dan mendapat hukum cambuk sebanyak 80 kali. Disitulah kejanggalan hukum Qanun yang kini tengah Aya perjuangkan agar hak perempuan di Aceh terpenuhi. "Padahal Islam adalah agama yang menghormati dan memperjuangkan hak perempuan. Ketika kami perdebatkan itu, kami dibilang tidak pro syariah, padahal Qanun itu hukum yang dibuat manusia, bukan al-Quran, yang ingin saya katakan, hukum Islam itu luar biasa melindungi kaum perempuan."
Eton, begitulah sosok ramah ini biasa disapa. Mendapat penghargaan N-Peace Award justru membuatnya terbebani. Tapi, penghargaan tersebutlah yang mendorong Eton untuk tidak menyerah membantu kaum perempuan di Maluku Utara.
Konflik SARA yang dulunya sering terjadi di Maluku Utara dan membuat daerah di sana porak poranda, membuatnya tergerak untuk menguatkan kaum perempuan dan masyarakat sekitar. Baginya, perempuan adalah alat dan senjata perdamaian. "Perempuan itu lebih dekat suami, anak dan bahkan tetangga. Dia juga bisa menjadi alat perdamaian dan juga pemicu konflik," ungkap Eton. Untuk mencegah perempuan menjadi "pemicu konflik", Eton membuat sebuah gerakan Rp 1000,- untuk membangun Politeknik Padamara (Perdamaian Maluku Utara) yang menjadi lembaga pendidikan sekaligus wadah diskusi bagi para muda-mudi yang memeluk agama berbeda di Halmahera. Harapannya, dari diskusi tersebut, bisa mencegah masyarakat terprovokasi dan mengurangi munculnya konflik. Sedangkan untuk mensejahterakan perempuan, sejak tahun 2001, Eton dan rekannya membentuk sebuah Koperasi Simpan Pinjam. "Sekarang anggota kami sampai 13.000 orang. Berbagai agama masuk disitu untuk menolong mereka yang ekonomi menengah ke bawah."