Kesuksesan Anggun menjadi penyanyi go internasional tetap membuat dirinya rindu untuk menghabiskan waktu bergelut dengan dunia tulis menulis. Terkadang, ia pun menyempatkan waktu untuk menulis tentang apa saja! "Kita itu harus menulis untuk menstimulasi otak. Supaya kita terus berpikir dan menjadi pribadi yang disiplin," tiru Anggun mengikuti aksen ayahnya ketika menceritakan alasan mengapa ayahandanya setiap malam berkutat dengan mesin ketik jadul untuk menulis.
popbela.com/content-images/post/20170208/untitled-1-19020a1cedb9be47c216865008a4a7fd.jpg" />Credit photo: Donny Andrian
Karena hobinya ini, tak jarang Anggun merasakan hal yang dirasakan seorang jurnalis dan penulis lepas. Selain menjadi penyanyi, kini ia dikejar deadline dan harus pusing ketika ditagih untuk mengirim tulisan kepada sebuah platform literasi digital yang bekerjasama denganya. Buatnya, tulisan yang ia hasilkan menjadi wadah untuknya bertukar pikiran dan memberi sebuah masukan kepada banyak orang. Seperti saat sesi wawancara ini, Bela, Anggun menjelaskan pemikiran feminis dari sudut pandangnya.
Masa down pasti ada. Kadang kita berusaha berpikir dan bertindak sepositif mungkin, apalagi kan kerjanya di show bussines, kita harus selalu senyum dan semangat. Jujur, kayak hari ini interview, aku senang, aku nggak hanya sekedar menjawab, tapi aku juga harus memberi soul. Buatku gampang, kita gampang depresi dan down, susahnya tuh bangkit. Justru kita yang bisa menyakiti dan membahagiakan diri kita. Aku banyak ditanyakan tentang haters, apakah haters bisa menyakiti kita? Tergantung, kalau kita merasa mau disakiti, penilaian mereka ditelan begitu saja, ya kita merasa sakit. Kita memang harus punya tameng.
Sukses itu kamu pernah benar. Jadi dalam artian benar dalam mengikuti kata hati dan kita sudah mengambil pilihan yangg tepat. Tapi sukses buat aku banyak macamnya, misal saat album terjual banyak, atau lagu yang aku tulis ada yang komen ini "gue banget."
Madam tussaud. Wow itu bikin GR (red-gede rasa). Sebenarnya kalau mau jujur sih, seneng banget! Jadi aku justru senengnya buat anakku, Kirana. Buat dia, mamanya akan begitu terus, immortal.
Perempuan itu harus feminis, dan aku sampai sekarang masih membicarakan tentang feminisme. Karena banyak sekali hak perempuan yang disepelekan karena kita hidup di budaya patriariki. Jadinya, perempuan banyak yang nggak tahu dengan potensi dan kekuatan mereka. Kebanyakan kita terbiasa hidup dalam solidarisme maskulin, banyak sekali tekanan untuk perempuan. Seperti judgement terhadap perempuan yang melahirkan secara caesar lalu dianggap belum sepenuhnya jadi ibu. Di sinilah fungsi solidaritas feminin supaya bisa memajukan cara berpikir orang-orang. Sayangnya terkadang kita menjadi korban penekanan karena datang dari diri sendiri.
Tidak mengambil kesempatan. Ini kesalahan kecil sih buatku, karena ini berearti bukan jodoh aja. Mungkin kesempatan itu besar buat orang lain, tapi mungkin saja kesempatan itu datang bukan buat aku.
Menyiapkan makanan buat Kirana, ngaterin dia ke sekolah jalan kaki. Sampai rumah baru mandi. Jujur aku sih nggak punya kegiatan yang rutin, kadang sibuk banget sampai nggak bisa anterin Kirana sekolah, jadi yang ngaterin suami. Atau kadang nggak melakukan kegiatan sama sekali.
Feminis, Baik, Tegar.
Saya bangga karena saya ibu yang mempunyai anak yang nggak cuma baik hati, dan sehat. Tetapi juga mulai peka sosial. Dia tahu apa itu tunawisma dan yatim piatu. Mungkin nggak tahu apa arti kelaparan, tapi dia tahu kalau ada orang yang nggak bisa makan setiap hari sepertinya, dia tahu bahwa dia beruntung. Setiap hari rabu malam, pada saat musim dingin, dua minggu sekali, kami keliling di distrik aku, kasih makan untuk para tunawisma. Banyak orangtua bilang, mau membahagiakan anak, buat aku bahagia itu nggak cukup, jadi aku kepengin anakku berguna, hidupnya ada fungsinya, nggak hanya sekedar hidup, tapi bisa menginspirasi orang lain.
Tantangan dalam hidup, bagaimana menjadi pribadi yang positif yang makin lama kehidupan ini makin negatif.