Sepertinya adaptasi Batman akan selamanya bergenre noir. Tentu saja semua berawal dari era Tim Burton, ketika ia menerjemahkan karakter Batman (Michael Keaton) menjadi sosok yang gloomy, layaknya karya-karya Burton. Lalu ketika Christopher Nolan duduk di kursi sutradara untuk The Dark Knight (2008) dan The Dark Knight Rises (2012), all hell breaks loose. Alias, sudahlah, tidak ada yang bisa menandingi gelap dan suramnya Batman.
Setelah Warner Bros. meluncurkan cinematic universe mereka sendiri yang dikenal sebagai DC Extended Universe pada tahun 2013, Zack Snyder melanjutkan posisi sebagai sutradara dengan Ben Affleck sebagai Batman. Berhasil. Tapi ya, jangan dibandingan dengan Nolan maupun Burton. Anggap saja memang alam semesta yang berbeda.
Sama halnya dengan The Batman (2022). Ini alasannya.
The Batman disutradarai dan ditulis oleh Matt Reeves bersama Peter Craig. Sebelum mengulas, perlu kamu pahami bahwa dalam kesempatan konferensi pers yang didapat oleh Popbela, Reeves menceritakan tokoh Batman versi Reeves bukanlah seorang pemula atau veteran. Jadi ya, Batman muda, namun kira-kira sudah dua tahun menjadi Batman.
Dia semakin akrab di Gotham yang dicengkeram oleh narkoba dan kejahatan terorganisir. Kali ini, dia ditarik ke dalam misteri yang melibatkan sosok Penguin, musuh bebuyutan yang disebut Riddler, serta Catwoman, yang ketiganya terasa lebih realis. Hal ini kelak menjadi bagian dari pergulatan pikiran untuk mempertimbangkan kembali moralitas dan motivasi di balik apa yang sosok Batman lakukan.
Sesuram film Burton, Nolan dan Snyder, Reeves dan timnya telah membuat variasi kesuraman mereka sendiri yang khas. Menurut saya pribadi, Dari mulai dialog, ketika aktor berbisik maupun berteriak, perkelahian, sinematografi hingga color grading, Reeves seperti menerjemahkan isi narasi yang bergulir di kepala kita, ketika membaca komik Batman.
Robert Pattinson dan Zoë Kravitz mengaku tidak mau 'belok' terlalu jauh dari naskah dan arahan Reeves, karena tidak ingin merusak khayalan Reeves akan The Batman yang ia inginkan.
Sehingga kita bisa melihat, ide penokohan Bruce Wayne yang Reeves inginkan adalah ketika gejolak muda Bruce mengira ia tahu apa yang ia inginkan dalam misinya, namun ternyata ia masih mencari jati diri Batman. Salah satunya ia cerminkan melalui lagu "Something In The Way" milik Nirvana, serta karakter Bruce yang berdasarkan penampilan fisik terasa sangat grunge tapi minus kemeja flannel saja.
Kamu akan terkejut melihat transformasi Collin Farrell menjadi Oswald Cobblepot alias The Penguin, di film ini. Begitu juga kemampuan akting Paul Dano yang semakin jempolan, setelah ia sukses membuat penikmat film jatuh cinta padanya di Little Miss Sunshine maupun Ruby Sparks. Zoë Kravitz sendiri diberikan karakter Selina Kyle sebagai pekerja bar yang memelihara banyak kucing di apartemennya, tanpa harus menyatakan dirinya adalah Catwoman. Sehingga, karakter Selina terasa lebih 'menapak' di dunia nyata.
Sayangnya, kehadiran nama-nama besar seperti Andy Serkis, Jeffrey Wright dan John Turturro, seperti para paman yang memberi dukungan akting kepada ponakan yang mendapat peran utama. Padahal, nama-nama besar tersebut tak hanya jadi penopang, namun bisa menjadi bagian dari tonggak yang kuat di cerita, jika diberi ruang lagi untuk bereksplorasi di film yang berdurasi hampir tiga jam tersebut.
Pada akhirnya, The Batman merupakan lembaran cerita yang berbeda dari Batman terdahulu. Di sini, kamu akan bertemu dengan Bruce sebelum ia menjadi pewaris kaya raya dengan setelan jas mahal dan rambut rapi. Melihat motor atau mobil Batman yang belum canggih, dengan teknologi lebih maju dari masanya. Batcave yang belum dipadati dengan perangkat elektronik terdepan, atau hunian kastel yang sangat terawat.
Reeves memang menciptakan tontonan yang mencekam dan menghibur secara realistis dan emosional—seperti ketika ia mengarahkan waralaba Planet of the Apes. Ini adalah film Batman yang menyadari tempatnya sendiri dalam budaya pop, sehingga bisa mendapatkan tempat juga bukan hanya untuk pencinta Batman, tapi penikmat film.