Ada banyak seni di dunia ini yang bisa mengekspresikan sebuah perasaan, sifat, sosok, pengalaman hingga cerita. Salah satunya adalah seni tari, yang bahkan punya beberapa cabangnya lagi.
Di antara semua cabangnya, tari kontemporer mungkin jarang untuk dilirik. Namun, cabang tari satu ini punya makna yang begitu besar. Terutama bagi pegiat seni sekaligus penari yang cukup bersinar, Nudiandra Sarasvati.
Sudah menari sejak usia 5 tahun, perempuan yang akrab disapa Nudi ini punya keinginan untuk menari sampai tubuhnya tak lagi dapat menari. Berikut kisah Nudiandra Sarasvati, mulai dari awal kariernya, alami diskriminasi, hingga menjadi pembuat karya.
1. Lahir di keluarga berdarah seni
Wardrobe: dress dan bodysuit Rama Dauhan, cincin dan anting Ruang Gelap Jiwa, Bangles milik stylist
Nudiandra Sarasvati atau yang dikenal dengan Nudi Sarasvati lahir pada 26 November 1993. Ia memiliki satu adik laki-laki yang 3 tahun lebih muda darinya. Darah seni dalam dirinya ternyata diturunkan oleh ayah dan ibunya.
Kedua orangtua Nudi bekerja di dunia seni. Ibunya adalah seorang penyanyi seriosa dengan suara yang indah. Di sisi lain, ayah Nudi adalah sound engineer. Lahir dan besar di keluarga yang dekat dengan seni membuatnya sangat akrab dengan seni.
2. Dari balet ke Swiss
Nudi kecil merupakan anak yang tak bisa diam. Sejak usia 5 tahun, ia sudah mulai menari. Awalnya, ia masuk ke dunia balet sejak usia balita dan dilanjutkan sampai ia SMA. Kecintaan Nudi pada balet ternyata karena diperkenalkan oleh ibunya. Sang ibunda memperlihatkannya sebuah video pementasan balet, “Nutcracker”. Sejak saat itulah, ia jatuh cinta dengan balet.
“Jadi, dulu itu aku kalau makan tuh nggak bisa diam sebenarnya. Terus satu-satunya yang bisa bikin aku diam adalah menonton video VCR mamaku. Dulu mamaku punya video VCR dan Mama suka beli pementasan balet yang di dalam situ ada satu pementasan namanya Nutcracker dan aku jatuh cinta.
Jadi, semenjak itu kayaknya umur 2 atau 3 tahun gitu, aku mau balet. Nah, dari situ aku akhirnya mau dimasukkan ke sebuah sanggar. Mamaku juga dekat dengan almarhum Ibu Farida yang dulu bersekolah di Rusia.
Namun, karena aku masih terlalu kecil, sekitar umur 3 tahun, maka nggak bisa. Coba balik lagi mungkin 1 atau 2 tahun. Setelah 1,5 tahun kemudian aku ikut kursus balet hingga SMA,” cerita Nudi kepada Popbela.
Usai lulus SMA, ia hanya menghabiskan satu tahun setelahnya untuk menari. Nudi mengikuti beberapa kursus, mulai dari kursus bahasa, pilates, gimnastik, hingga tari tradisi.
Di tahun selanjutnya, Nudi memilih untuk ikut audisi untuk sekolah di luar negeri. Ia pun diterima di sebuah sekolah tari ballet di Swiss yang bernama École-Atelier Rudra Béjart Lausanne. Sekolah tari tersebut merupakan salah satu sekolah tari bergengsi yang didirikan oleh seorang koreografer ternama di Prancis, Maurice Béjart.
Nudi bersekolah selama 3 tahun dari tahun 2012 sampai tahun 2015. Setelah bersekolah di luar negeri, ia pun memutuskan kembali ke Indonesia untuk bekerja di tanah kelahirannya.
3. Diskriminasi, eksotisme, sampai rasisme
Wardrobe: dress dan bodysuit Rama Dauhan, cincin dan anting Ruang Gelap Jiwa, Bangles milik stylist
Menjadi penari sejak kecil, banyak tantangan yang ia alami. Selama menuntut ilmu di negeri orang pun, Nudi bercerita kalau dirinya sempat mengalami culture shock, bahkan kerap mengalami diskriminasi.
Ia mengatakan harus mengorbankan waktunya untuk latihan menari di saat teman-teman seusianya sedang bermain. Nudi mengaku hanya memiliki sedikit teman dan jarang ikut acara sekolah.
“Untuk aku yang umur segitu, masih SMP, masih suka main-main, terus jalan sama teman, akhirnya aku harus mengorbankan waktuku. Saat yang lain jalan-jalan aku latihan, yang lain bisa pergi makan atau apa, aku tetap latihan.
Aku di SD sampai SMP, teman tuh bisa dihitung pakai jari gitu. Hampir jarang jalan, terus ikut acara sekolah pun juga jarang. Karena, ya aku harus latihan. Jadi sebenarnya yang paling besar tuh ya mengorbankan waktu gitu,” ungkap penari tersebut.
Berada di lingkungan yang berbeda juga membuatnya mengalami beberapa perundungan. Apalagi, Nudi adalah satu-satunya orang Indonesia yang bersekolah di sana kala itu.
“Waktu aku sekolah di luar negeri pun juga ada sedikit exotisme, rasisme yang menurut aku mungkin mereka tidak menyadari hal itu. Tak banyak yang tahu Indonesia. Sepertinya, orang Indonesia pun cuma aku sendiri dari 20 tahun mereka berdiri,” tambah Nudi.
Selama sekolah, ia hampir tidak pernah mendapat peran dalam sebuah pertunjukkan tari. Walau ia statusnya masih murid, namun sekolah tersebut melihatnya juga sebagai pekerja. Karena ia berasal dari Asia, tak jarang ia menjadi sasaran rasisme.
Awalnya, Nudi merasa sedih dan menangis. Ia juga kesal dengan perlakuan buruk tersebut. Hingga lama-lama ia menghiraukannya. Akan tetapi, saat ia mulai melihat ada ketidakadilan yang sudah parah, Nudi tak segan untuk angkat bicara.
4. Suka kebebasan, pindah haluan ke kontemporer
Saat masuk ke sanggar, Nudi sebenarnya sudah diperkenalkan dengan tari kontemporer oleh pembinanya pada tahun 2009. Pada waktu itu, ia diajak untuk ikut dalam pentas kontemporer pertama kali di Kreativität-Dance Indonesia. Tapi, Nudi mengaku tak tertarik, ia lebih menyukai balet.
Hingga suatu saat, ketika ia bersekolah di Swiss dan kunjung tak mendapat peran, ia protes kepada gurunya. Gurunya berkata kalau image Nudi sangat tidak cocok sebagai seorang balerina. Awalnya, ia merasa tak terima dan tak setuju dengan pernyataan gurunya. Apalagi sejak usianya 5 tahun sampai 20 tahun ia menggeluti dunia balet.
Sampai akhirnya ia berpikir kalau mungkin jalannya memang bukan di balet. Ia pun akhirnya terjun ke dunia tari kontemporer hingga saat ini, walau terkadang gerakan tarinya masih dengan sentuhan balet.
Nudi juga mengatakan di dunia balet, semua hal itu rigid, disiplin, dan punya beauty standart-nya sendiri. Sangat berbanding terbalik dengan tari kontemporer, di mana bisa mengekspresikan apa pun melalui gerakan. Baik ada atau tak ada konteks pun tak masalah. Tari kontemporer adalah ekspresi dan ekspresi itu universal.
“Jadi sebenarnya dari tari kontemporer yang aku suka itu kebebasan untuk mengekspresikan apa yang kamu mau, bagaimana kamu, kapan kamu mau menampilkannya,” kata Nudi.
Nudi selalu menjunjungi nilai-nilai perempuan di setiap tariannya dan karyanya. Salah satu karya yang ia suka adalah karyanya sendiri dengan musik dari ibunya bernama Srikandi. Ia membuat tarian itu untuk muridnya yang ikut lomba.
5. Ingin menari sampai tak bisa menari lagi
Wardrobe: dress dan bodysuit Rama Dauhan, cincin dan anting Ruang Gelap Jiwa, Bangles milik stylist
Nudi mengatakan seni tari saat ini masih dipandang sebelah mata. Padahal, seni tari itu salah satu karya dan keindahan yang patut untuk dipandang. Ia ingin membuat seni tari menjadi salah satu seni yan juga bisa dinikmati banyak orang.
Saat ini, Nudi menjadi penari penuh waktu dan juga mengajar di beberapa sanggar. Sudah sekitar 3 tahun ia mulai berkecimpung juga sebagai koreografi. Nudi tak banyak berharap untuk kariernya atau kehidupannya ke depan. Kecintaannya pada tarian membuatnya hanya ingin menari sampai tubuhnya tak bisa untuk menari lagi.
“Dulu aku punya, tapi sekarang enggak. Udah sampai ke situ, karena aku bergerak di dunia seni itu bukan cari rekognisi. Aku hanya ingin menari, aku hanya ingin membuat seni, sudah, sampai di situ saja. Aku nggak mau muluk-muluk sebenarnya. Aku hanya ingin terus melakukannya sampai aku tidak bisa lagi, sebenarnya itu sih,” ujar Nudi.
6. Stand out, be honest to yourself, and love what you need to love
Nudi juga membagikan pesan-pesannya untuk para perempuan, terutama mereka yang masih muda dan ingin terjun ke dunia seni tari. Nudi berpesan bahwa sebagai perempuan, kita semua harus punya integritas yang tinggi sehingga kamu memiliki self respect.
Kamu harus mengenal dirimu, menghargai dirimu, dan berani mengutarakan apa pun yang kamu suka atau tak kamu suka. Orang lain akan menghargai kamu, kalau kamu pun tau bahwa dirimu juga patut untuk dihargai. Jadi, jangan takut atau malu untuk mengutarakan perasaan dan pendapatmu.
Untuk para generasi muda yang ingin terjun ke dunia tari, Nudi berpesan untuk bekerja dengan keras. Cintai apa yang kamu lakukan serta jujur pada diri sendiri.
“Just work hard itu aja, kamu harus mencintai apa yang kamu lakukan. Kepala dan hati itu harus sama. Kedua, kamu harus jujur dengan dirimu sendiri. Saat kamu jujur pada diri sendiri, karya-karya kamu atau begitu kamu menari, itu akan tampak.
Kamu harus menyerahkan semuanya ke tubuhmu. Kalau kamu merasa capek atau lelah, dengarkanlah tubuhmu. Jangan dipaksa. Dalam tarian, terutama kontemporer, semuanya adalah kebebasan untuk berekspresi,” pesan Nudi.
Photo credit
Photographer: Andre Wiredja
Fashion Editor: Michael Richards
Stylist: Tbmyudi
Asst. Stylist: Hafidhza Putri Andiza
Beauty Editor: Jennifer Alexis
Makeup Artist: Salya Benaza
Hair Stylist: Charles Sebastian
Interview: Natasha Cecilia