Sesi yang baru-baru ini dekat di hati, #IMGS2022 terlihat menghadirkan topik yang jadi fokus dari penghujung acara stage Future Is Female. Menggandeng seorang aktivis muda Melati Riyanto Wijsen dari Bali, perempuan yang dikenal bersama adiknya Isabel Wajsen mendirikan Bye-Bye Plastic Bags pada 2013.
Atas rasa tangguh dan beraninya, Gen–Z kelahiran 2001 ini mendirikan Bye Bye Plastic Bags (BBPB) dengan berlatarbelakang pada pelajaran yang diterimanya di sekolah. Pengalaman pertamanya menyuarakan BBPB saat di forum internasional, yang juga menjadi pembicara, di World Ocean Day (2017) dengan tema "Our Ocean, Our Future".
Penasaran? Gimana pengalaman Melati Riyanto Wijsen memulai gerakan Bye-Bye Plastic Bags hingga jadi besar seperti saat ini? Simak dalam artikel berikut, yuk, Bela!
Ambil kesempatan sedari muda
Keputusan seorang Melati berani menggalakkan aksi no plastic pada umur 13 tahun, lantaran melihat kesempatan dan beranggapan bahwasanya tak harus menunggu dewasa untuk melakukan perubahan dalam merawat lingkungan.
Apalagi, jika melihat tanah Bali yang notabene sebagai tempat tinggalnya, namun lambat laun semakin rusak dan masyarakat makin tak terkendali dalam menggunakan plastik.
”Sebenarnya bukan tanpa alasan aku berani menggalakkan aski no plastic. Terlebih, saat melihat laut Bali makin banyak menampung sampah plastik dan terhitung cukup banyak. Atas semangat adikku juga, Isabel Wajsen yang mendukung aksi Bye Bye Plastic Bags,” pungkas Melati Melati Riyanto Wijsen di panggung Future Is Female #IMGS2022, pada Kamis (29/09/2022).
Pentingnya ubah pola pikir
Banyak orang terlampau bingung jika mendengar perihal ajakan menjaga bumi. Padahal sebenarnya, sebelum kita melakukan hal besar agar memberikan dampak kepada lingkungan, sebenarnya hal yang sedari awal perlu diubah adalah mengenai pola pikir.
Jadi atas dasar tersebut, menurut Melati jika seseorang ingin merawat lingkungan adalah dimulai dengan mengubah pola pikir. Seperti, jika memang sudah menggaungka go green no plastic, bukan berarti beralih ke bahan kertas dengan kuantitas yang sama-sama besar.
”Menurut aku, kalau orang-orang sudah memutuskan no plastic, itu bukan jadi alasan untuk terlalu berlebihan menggunakan bahan kertas. Karena perlu diingat, penggunaan kertas secara besar juga sangat berpengaruh pada lingkungan dan makin banyaknya penebangan pohon,” ujar Melati.
Jadi, akan hal tersebut Melati sangat berharap masyarakat bisa peduli terhadap lingkungan dengan tidak mengorbankan aspek yang lain, Bela.
Timbulnya gangguan eco–anxiety
Ketika melihat fenomena di masyarakat, kini terdengar satu hal baru yang menjelma jadi momok menakutkan lantaran kerusakan alam. Diantaranya, generasi muda yang akui takut menikah karena mempertimbangkan ketakutan hidup selanjutnya terhadap anak ataupun generasi penerus.
Gangguan kecemasan pada lingkungan ini juga dikenal dengan istilah eco-anxiety, yaitu gangguan rasa cemas yang mendorong gangguan mental lain seperti trauma dan syok, depresi, hingga gangguan stres pascatrauma. Eco-anxiety secara lebih mendalam, jadi gangguan kecemasan kronis atau parah terkait dengan hubungan manusia dengan lingkungan.
Melihat sulitnya tahap edukasi
Berbicara soal mengedukasi, ada satu hal yang digaris bawahi Melati kalau memberi pencerdasan kepada Gen–X atau terhitung sekarang berumur 40–55 tahun jadi suatu hal yang cukup sulit.
”Jadi rahasia umum, kalau mengedukasi generasi senior memang lebih sulit daripada Gen-Z. Hal tersebut secara nyata kerap terjadi di lapangan, maka tak dipungkiri kalau kesadaran dan keinginan menjaga alam masih memerlukan dukungan.”
Melihat kesulitan tersebut, Melati sangat berharap kalau kesadaran menjaga lingkungan jadi tanggungjawab setiap generasi. Bukan hanya beban yang dipikul oleh para anak muda.
Semua hal berdampak pada lingkungan
Tak dipungkiri, masyarakat kini makin kalap melakukan hal-hal yang berkonotasi merusak lingkungan, seperti menyalakan listrik dan air secara berlebihan atau boros menggunakan produk plastik. Melihat hal tersebut, nyatanya masyarakat perlu sadar bahwasanya setiap hal yang dilakukan itu menanggung risiko.
”Jadi kalau aku melihat habit masyarakat, perlu diingat bahwa semua hal yang kita lakukan bisa berdampak pada lingkungan,” ucapnya.
Jadi sangat disayangkan dengan keadaan bumi yang semakin tua, namun kesadaran masyarakat makin tak terkendalikan. Sudah sepatutnya, merawat alam jadi kesadaran setiap lapisan masyarakat, tak hanya pemerintah atau komunitas namun juga tiap individu.
Itulah, kisah Melati Riyanto Wijsen dengan memulai gerakan Bye-Bye Plastic Bags hingga jadi besar seperti saat ini di panggung Future Is Female #IMGS2022, Bela!