Adanya kemajuan teknologi saat ini membuat kita dengan mudah menikmati beragam film, tak terkecuali film Indonesia. Sejak pertama kali rilis di tahun 1926, film Indonesia sudah mengalami banyak pasang surut hingga bertahan serta terus berkembang sampai saat ini.
Era awal perfilman Indonesia, awalnya dimulai dengan berdirinya bioskop pertama di Indonesia pada 5 Desember 1900 di daerah Tanah Abang, Batavia, dengan nama Gambar Idoep, yang menayangkan berbagai film bisu. Sejak saat itu, sejarah panjang perfilman Indonesia pun dimulai.
Penasaran nggak, sih, seperti apa film pertama Indonesia dalam sejarah yang menjadi cikal bakal film Indonesia saat ini? Melansir dari Good News from Indonesia, berikut ini sepuluh film Indonesia pertama dalam sejarah.
1. Loetoeng Kasaroeng (1926)
Loetoeng Kasaroeng menjadi film pertama yang diproduksi dan dibintangi oleh orang Indonesia asli. Film ini diproduksi dan disutradarai oleh L. Heuveldorp. Meski secara teknis kualitas film Loetoeng Kasaroeng terbilang buruk, namun ini menjadi langkah awal hadirnya perfilman di Tanah Air. Film tanpa suara ini dibintangi oleh anak-anak priyayi atau bangsawan di masa kolonial.
Loetoeng Kasaroeng diambil dari cerita rakyat asal Jawa Barat Lutung Kasarung. Berkisah tentang persaingan kakak-beradik Purbararang dan Purbasari. Purbararang kerap menggoda Purbasari yang memiliki seorang kekasih berwujud lutung bernama Guru Minang.
Purbararang merasa menang dari Purbasari karena ia memiliki kekasih manusia berwajah tampan bernama Indrajaya. Padahal sebenarnya, di balik wujud lutungnya, Guru Minang adalah sosok dewa dengan wajah yang jauh lebih tampan dari Indrajaya.
2. Eulis Atjih (1927)
Setelah Loetoeng Kasaroeng, Java Film Co. kembali memproduksi film kedua mereka satu tahun berikutnya dengan judul Eulis Atjih. Film yang disutradarai oleh G. Krugers ini merupakan film adaptasi pertama Indonesia yang diangkat dari novel karya Joehana. Pada tahun 1927, film yang dibintangi oleh aktor Indonesia Arsad dan Soekria ini sangat sukses di Hindia Belanda (Indonesia). Namun, saat dibawa ke pasar luar negeri, film ini kurang diminati.
Eulis Atjih bercerita tentang seorang pria Indonesia yang meninggalkan istrinya yang bernama Eulis Atjih dan anaknya demi berpesta. Karena sifatnya itu, keluarga mereka pun jatuh miskin yang membuat Eulis harus ikut bekerja keras demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
3. Lily Van Java (1928)
Melihat kesuksesan dua film perdana yang diproduksi di Indonesia dengan sutradara asal Belanda, etnis Tionghoa yang tinggal di Indonesia pun tertarik untuk melakukan hal serupa. Adalah Lily Van Java atau yang dikenal juga dengan nama Melatie Van Java yang rilis pada tahun 1928.
Lily Van Java awalnya akan diproduksi oleh rumah produksi South Sea Film dengan sutradara asal Amerika, Len Roos. Namun, karena satu dan lain hal, Lily Van Java akhirnya jatuh ke tangan sutradara Nelson Wong, di bawah naungan rumah produksi Wong's Halimoen Film. Lily Van Java merupakan film panjang pertama yang diproduksi oleh etnis Tionghoa, meskipun filmnya tidak terlalu sukses.
Lily Van Java berkisah tentang perjodohan. Seorang perempuan yang terlahir dari keluarga kaya, terpaksa meninggalkan kekasihnya yang sangat ia cintai demi menikah dengan laki-laki pilihan keluarganya.
4. Resia Boroboedoer (1928)
Resia Boroboedoer ( Secret of Borobudur) bercerita tentang seorang perempuan bernama Young Pei Fen (Olive Young), yang pergi ke Jawa untuk mencari guci berisikan abu Buddha Gautama peninggalan sang ayah, Young Lun Fah. Guci tersebut berada di Candi Borobudur. Saat mencari guci tersebut, banyak halangan yang dihadapi Young Pei Fen. Termasuk, serangan ilmu hitam dari orang yang membencinya.
Mengikuti jejak Wong’s Halimoen Film, rumah produksi Nancing Film Corp tertarik memproduksi film dengan aktris asal Shanghai bernama Olive Young, sebagai bintang utamanya. Olive dipilih karena sensualitasnya dan keberaniannya berciuman di depan publik, salah satu hal yang tabu dilakukan pada masa itu.
Resia Boroboedoer dianggap sebagai film yang buruk karena menampilkan sesuatu yang tak masuk akal. Penonton pada masa itu mempertanyakan bagaimana caranya seorang Tionghoa yang berbahasa Mandarin dan tinggal di Sumatra, tiba-tiba saja bisa berada di Pulau Jawa untuk mencari sebuah guci.
Setelah memproduksi film Resia Boroboedoer, Nancing Film Corp dikabarkan bangkrut. Diketahui bangkrutnya Nancing Film Corp karena bayaran untuk Olive yang terlalu tinggi, yakni 2.000 Gulden per bulan. Selain itu, pembangunan studio di Batavia untuk proses produksi film ini juga menghabiskan banyak biaya.
5. Setangan Berloemoer Darah (1928)
Setangan Berloemoer Darah menjadi film adaptasi novel kedua setelah Eulis Atjih. Film bisu dengan gambar hitam putih ini diproduksi dan disutradari oleh Tan Boen Soan, wartawan Soeara Semarang. Film yang diangkat dari novel karya Tjoe Hong Bok ini menjadi film Indonesia pertama yang menyisipkan adegan laga.
Setangan Berloemoer Darah bercerita tentang pemuda bernama Tan Hian Beng yang berusaha mencari pembunuh ayahnya untuk membalaskan dendam. Dendam yang ia bawa dari kecil, membuat Tan Hian Beng menjadi sosok berdarah dingin. Sampai suatu ketika, Tan Hian Beng bertemu dengan sang pembunuh, sikap Tan Hian Beng justru berubah drastis.
6. Njai Dasima (1929)
Njai Dasima bercerita tentang perempuan bernama Nyai Dasima yang menjadi istri simpanan seorang bangsawan Inggris bernama Edward William. Bersama Edward, Nyai Dasima yang awalnya tinggal di Bogor, hijrah ke Batavia.
Di Batavia, Nyai Dasima bertemu dengan Samiun. Lelaki ini sangat tergila-gila dan terobsesi dengan Nyai Dasima karena kecantikannya. Ia pun bersusah payah mendapatkan Nyai Dasima. Namun, saat berhasil mendapatkan Nyai Dasima, ia menyia-nyiakan perempuan itu.
Njai Dasima akhirnya dibuat versi film pada tahun 1929 setelah novelnya lebih dulu terbit di tahun 1896. Film ini disutradarai oleh Lie Tek Swie di bawah rumah produksi Tan’s Film. Njai Dasima dibintangi oleh aktor dan aktris N. Noerhani, Anah, Wim Lender, dan Momo.
7. Rampok Preanger (1929)
Meski sempat pailit setelah memproduksi Lily Van Java, Nelson Wong akhirnya bangkit kembali dengan memproduksi film aksi laga pada tahun 1929 dengan judul Rampok Preanger. Film yang dibintangi oleh penyanyi keroncong Ining Resmini ini, kabarnya merupakan film yang diadaptasi dari salah satu film produksi Amerika.
8. Si Tjonat (1929)
Bukan hanya Rampok Preanger, Nelson Wong juga membuat film laga lainnya berjudul Si Tjonat. Film ini dibuat di bawah naungan rumah produksi Batavia Motion Picture, rumah produksi yang didirikan Nelson bersama salah satu teman bisnisnya Jo Eng Sek.
Si Tjonat bercerita tentang Tjonat, seorang pemuda yang membunuh temannya dan kabur ke Batavia. Di Batavia, Tjonat bekerja untuk orang Belanda. Seolah tak tahu terima kasih, Tjonat malah merampok rumah tuannya dan merayu istrinya. Ia akhirnya kabur dari rumah tersebut dan menjadi perampok.
Konon, film ini akan dibuat sekuelnya. Namun, sampai saat ini sekuelnya tak pernah diproduksi.
9. Si Ronda (1930)
Si Ronda merupakan film bisu dengan genre action yang dibuat pada tahun 1930. Film ini disutradarai oleh Lie Tek Swie dan dibintangi Bachtiar Effendi. Film ini kurang mendapat perhatian media pada masa itu. Namun, Si Ronda pernah diadaptasi menjadi film versi lebih modern dengan judul Si Ronda Macan Betawi yang rilis di tahun 1978.
Kisah dari Si Ronda hampir mirip dengan tokoh Si Jampang atau Si Pitung. Yakni, seorang rakyat biasa yang jago bela diri, namun rela melakukan apa pun dan berkorban demi membela kaum yang lemah.
10. Boenga Roos dari Tjikembang (1931)
Boenga Roos dari Tjikembang menjadi film dengan suara pertama yang diproduksi di Indonesia. Pada tahun 1930, film dengan suara sudah banyak dibuat dan di Indonesia baru pada tahun 1931 film bersuara rilis. Film ini disutradarai oleh The Teng Chun yang juga merangkap sebagai produser dan juru kamera.
Boenga Roos dari Tjikembang bercerita tentang Oh Ay Cheng, seorang pemuda yang bekerja di perkebunan. Oh Ay Cheng terpaksa memutuskan Marsiti, pacarnya, demi menikah dengan Guwat Nio, anak dari pemilik kebun tempatnya bekerja. Belakangan diketahui, bahwa Guwat Nio adalah anak dari sang pemilik kebun dengan kekasih gelapnya.
Itulah tadi sepuluh film pertama yang diproduksi di Indonesia. Kamu penasaran sama yang mana, nih?