Kemarin, 10 Oktober 2021, Festival Film Indonesia (FFI) 2021 mengumumkan nominasinya. Dalam pengumuman tersebut, ada tiga film Indonesia yang mendapatkan nominasi terbanyak. Yakni, film Penyalin Cahaya sebanyak 17 nominasi, Yuni sebanyak 14 nominasi dan Ali & Ratu-Ratu Queens sebanyak 13 nominasi.
Berbicara soal penghargaan film paling bergengsi di Indonesia, tentu tak lepas dari perjalanan panjang FFI yang pertama kali digelar pada tahun 1955. Pasang surut perfilman Indonesia pun turut dialami oleh FFI. Bagaimana sejarah FFI ini? Berikut rangkumannya untuk kamu.
FFI hadir untuk menghadapi persaingan dengan film Malaysia dan India
FFI pertama kali diselenggarakan pada tahun 1955. Kala itu, FFI diselenggarakan untuk menghadapi persaingan yang cukup ketat dari film-film Malaysia dan India yang banyak masuk ke Tanah Air.
Gempuran film-film impor di tahun 1950-an cukup membuat film lokal kewalahan, Bela. Film Malaysia dan India kebanyakan tayang di bioskop kelas menengah ke bawah atau di layar tancap yang kerap diadakan secara berkala di lapangan kosong. Sementara itu, bioskop kelas satu lebih memilih menayangkan film Hollywood dibandingkan film lokal karena lebih menarik perhatian penonton.
Dengan kondisi tersebut, praktis para sineas Indonesia tidak memiliki panggung untuk memamerkan hasil karya mereka. Keadaan ini kemudian diperparah dengan sikap skeptis masyarakat yang menganggap rendah film lokal.
Dua tokoh perfilman Indonesia menginisasi FFI
Mengetahui bagaimana kondisi film lokal pada saat itu, dua tokoh perfilman Indonesia, yakni Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik, akhirnya menginisasi acara FFI untuk mendukung kiprah film Indonesia.
Bertempat di Rumah Dinas Wali Kota Jakarta Raya yang berlokasi di Menteng, Jakarta Pusat, Usmar dan Djamaluddin akhirnya menyelenggarakan Festival Film Indonesia untuk pertama kalinya pada tanggal 30 Maret-5 April 1955.
Inisiasi Usmar dan Djamaluddin ini muncul setelah keduanya mengikuti acara pembentukan Persatuan Produser Film Asia di Manila, Filipina. Sebagai informasi, acara ini dilakukan setiap tahun di negara-negara yang berbeda. Maka dari itu, Usmar dan Djamaluddin ingin Persatuan Produser Film Asia juga mampir ke Indonesia. Mereka pun membentuk komunitas dan FFI untuk meningkatkan kualitas film lokal dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap film asli Indonesia.
FFI diadakan bukan hanya sebagai ajang membagikan penghargaan
Dalam gelaran pertamanya di tahun 1955, FFI bukan hanya sebagai ajang pembagian penghargaan bagi insan film Tanah Air. Lebih dari itu, FFI dimanfaatkan oleh para sineas sebagai ajang bertatap muka untuk berdiskusi, saling memberikan masukan terhadap karya masing-masing, hingga evaluasi yang semuanya mengarah pada kemajuan perfilman Indonesia.
Maka dari itu, banyak sineas Indonesia pada masa itu berharap agar acara seperti ini rutin diadakan setiap tahun. Selain bisa saling mendukung, dengan diselenggarakannya FFI, sineas Indonesia merasa lebih percaya diri bahwa karya mereka tak kalah saing dengan film luar negeri.
Sempat sering vakum akibat kondisi politik Indonesia yang tak menentu
Suksesnya FFI 1955 membuat para sineas berharap acara ini dapat digelar secara rutin. Namun, pada kenyataannya, membuat acara ini tidaklah mudah. Sebab, kondisi politik di Indonesia yang masih belum stabil pada saat itu membuat FFI kerap kali vakum.
Dalam sejarahnya, setelah tahun 1955, FFI kembali diadakan pada tahun 1960, 1967, 1970 dan 1975. FFI kemudian mendapat dukungan dari Departemen Penerangan Republik Indonesia pada tahun 1981 lewat pembentukan Dewan Film Nasional.
Mulai dari tahum 1981 itulah, FFI kemudian digelar bergiliran di kota-kota besar di Indonesia dan bukan hanya terpusat di Jakarta.
Pada tahun 1990 perfilman Indonesia mati suri
Hingga awal tahun 1990-an, FFI masih terus dilaksanakan secara rutin. Namun, kualitas dan kuantitas film Indonesia terus merosot. Bukan hanya tergempur dengan film-film luar yang terus masuk ke Tanah Air. Menurunnya film lokal juga disebabkan karena mulai beredarnya CD, VCD dan DVD yang membuat masyarakat lebih memilih menonton melalui media tersebut ketimbang datang ke bioskop.
Pada tahun tersebut, bahkan sineas Indonesia hanya mampu membuat 2-3 film per tahunnya karena semakin kalah dengan hadirnya film Hollywood dan film Hong Kong. Pada tahun 1990 pula, FFI berhenti digelar dan memilih untuk vakum sejenak.
Kembali diadakan pada tahun 2004 setelah 14 tahun vakum
Pada tahun 2000 menandai bangkitnya perfilman Indonesia. Langkah ini dimulai dari hadirnya film Petualangan Sherina (2000) yang mampu mendobrak stereotip bahwa bioskop juga ramah untuk anak-anak. Kesuksesan Petualangan Sherina kemudian disusul dengan hadirnya film Ada Apa Dengan Cinta? (2002) yang juga sama-sama disutradarai oleh Mira Lesmana.
Sejak dua film tersebut hadir di bioskop Indonesia, hal ini memacu kreativitas sineas Indonesia lainnya untuk kembali berkarya. Maka dari itu, tak lama setelah Petualangan Sherina dan Ada Apa Dengan Cinta? hadir, film-film Indonesia mulai kembali menghiasi bioskop dan menjadi tuan rumah di negara sendiri.
Baru kemudian pada tahun 2004, FFI kembali digelar untuk pertama kalinya setelah vakum cukup panjang. Hal ini dilakukan sebagai bentuk apresiasi terhadap pertumbuhan secara kuantitas dan kualitas film Indonesia yang semakin membanggakan.
Meski sempat mendapat protes karena FFI tidak ditayangkan di stasiun televisi lokal, namun kini FFI menjadi ajang penghargaan tertinggi bagi insan perfilman Tanah Air. FFI bahkan menjadi tolak ukur kualitas perfilman Indonesia, sehingga film yang hadir nantinya akan terus lebih baik secara kualitas, sehingga dapat bersaing di kancah global.
Itulah tadi sejarah panjang FFI hingga menjadi ajang penghargaan paling bergengsi bagi dunia film Tanah Air. Kamu sendiri, seberapa sering menonton film Indonesia sebagai bentuk dukunganmu terhadap film lokal, Bela? Tulis di kolom komentar, ya!