Sadar nggak sih kalau saat ini tontonan di televisi sudah nggak seru seperti dulu lagi? Kurangnya tontonan untuk anak-anak terutama kartun menjadi alasan tersendiri mengapa anak-anak sudah mengonsumsi sinetron sejak dini.
Melihat keresahan ini, Tompi mencoba mengkritisinya dengan cara yang menghibur sekaligus cerdas. Lewat film Pretty Boys, kita tak hanya diajak untuk menikmati perjuangan sang tokoh utama saat meraih mimpi tapi juga menyaksikan realita yang terjadi di sekitar kita.
Penasaran dengan filmnya? Simak review film Pretty Boys berikut ini yuk.
Sinopsis: Saat Mimpi Harus Dibayar Mahal dengan Pengorbanan
Anugerah (Vincent Rompies) dan Rahmat (Desta Mahendra) nekat berangkat ke Jakarta demi mengejar cita-citanya menjadi pembawa acara terkenal dan masuk televisi. Mereka berdua pergi dari kampung halamannya karena merasa tak ada yang bisa diharapkan di kampung mereka yang terpencil.
Di Jakarta perjalanan mereka tak mulus. Ternyata untuk masuk televisi susahnya setengah mati. Anugerah dan Rahmat harus bekerja di cafe demi mencukupi kebutuhannya. Namun, perjuangannya tak sia-sia. Suatu hari mereka mendapat pekerjaan sebagai penonton bayaran di salah satu acara talkshow. Di sana keduanya mendapat apa yang mereka inginkan. Mereka masuk televisi dan menjadi co-host untuk acara talkshow.
Meski terkenal dan mendapat pekerjaan yang ia impikan, tapi Anugerah merasa ada yang salah dengan pekerjaannya. Di atas kesuksesan yang tengah dirasakannya, ia merasa galau luar biasa sebab ia dihadapkan dengan dua pilihan, yakni terus melanjutkan karier atau mengikuti kata hatinya untuk pulang.
Teknik Pengambilan Gambar yang Nggak Biasa dengan Dominasi City View
Secara teknis, saya suka dengan tampilan visual dari film yang disutradarai oleh Tompi ini. Pengambilan gambar yang nggak biasa membuat saya mendapatkan sudut pandang berbeda dibandingkan film lainnya. Salah satunya adalah sudut pandang adegan Anugerah, Rahmat dan Bos CCTV di dalam mobil. Di dalam mobil yang sempit, kamera diletakan di luar mobil di bagian samping, dan dasbor sehingga kita benar-benar bisa mengobservasi apa yang sedang terjadi.
Selain itu, satu hal yang saya ingat dari film ini adalah panoramic dan city view yang ditangkap dalam film ini menghasilkan tampilan visual yang menarik. Saat berada di Jakarta, Tompi ingin menampilkan bagaimana gemerlapnya Ibukota tersebut dengan city view di malam hari. Sementara saat sedang berada di kampung, Panoramic view juga digunakan sehingga kita bisa merasakan perbedaan yang cukup mencolok antara kondisi kota yang penuh sesak dengan kawasan pedesaan yang hijau nan asri.
Kritik Sosial dengan Cara yang Cerdas dan Menyenangkan
Tak hanya lucu dengan humornya yang segar a la Vincent-Desta, kritik sosial juga menjadi hal utama dalam film ini. Dengan penyampaiannya yang menyenangkan, saya bahkan nyaris tak sadar kalau beberapa adegan dimaksudkan sebagai bentuk kritik sosial, khususnya kritik terhadap pertelevisian Indonesia.
Misalnya soal penonton bayaran yang baru dibayarkan honornya setelah tiga bulan acara berlangsung atau bagaimana selebritas terkadang dieksploitasi oleh manajernya sendiri. Menurut saya kritik melalui film ini menjadi cara yang cerdas supaya pertelevisian Indonesia bisa menjadi lebih baik dan meminimalisir kritik seperti yang tengah mereka alami saat ini.
Kamu sudah menonton Pretty Boys? Kalau sudah tulis pendapatmu di kolom komentar ya!