Masih ingat dengan kisah cinta super menyakitkan antara Arini (Della Dartyan) dengan Richard (Gading Marten) dalam film Love For Sale yang tayang tahun 2018 lalu? Kisah cinta unik yang sama sekali nggak diduga oleh banyak orang tersebut sempat menjadi perbincangan hangat di media sosial saat filmnya rilis.
Meski penonton Love For Sale bahkan tak sampai 500 ribu, Visinema Pictures kembali membuat sekuel dari film tersebut dengan judul Love For Sale 2. Bagaimana kisah di Love For Sale 2? Apakah akan ‘setragis’ film sebelumnya?
Simak review Popbela berikut ini ya.
Sinopsis: Pusingnya Saat Lingkungan Sekitar dan Orang Terdekat Memaksa Menikah
Indra Tauhid atau Ican (Adipati Dolken) adalah sosok pria yang bebas dan sedang menikmati pekerjaannya di salah satu agensi periklanan. Sayangnya, kebahagiannya selalu terusik kala ibunya (Ratna Rintiarno) selalu menanyakan dan memaksanya untuk segera menikah.
Alih-alih mencari pasangan untuk diajak menikah, Ican malah menyewa jasa seorang perempuan dari aplikasi Love.inc untuk menjadi pacar bayarannya. Hal ini ia lakukan agar ibunya tak lagi menjodohkannya dengan perempuan lain. Kemudian, datanglah Arini Chaniago (Della Dartyan) sebagai pacar bayaran Ican dari Love.inc.
Masalah muncul saat sang ibu ternyata benar-benar menyukai Arini. Tak hanya ibunya, kakak Ican dan tetangga pun menyukai Arini karena kebaikan dan ketulusan Arini. Tanpa sadar, Ican pun terbawa perasaan dan ia ingin lebih dekat dengan Arini lebih jauh.
Adipati Tak Mendominasi
Dari awal film ini dipromosikan, nama Adipati Dolken selalu disebut karena ia yang akan menjadi pemeran utamanya bersama dengan Della Dartyan. Namun pada kenyataannya, Adipati tidak terlalu mendominasi film. Justru Ratna Rintiarno-lah yang mendominasi film. Jika sosoknya tak ada dalam film ini atau kurang maksimal, maka menurut saya kurang maksimal pula film yang disajikan.
Adipati malah terlihat sebagai pemeran pendamping Ratna saja. Begitu pula dengan Della Dartyan yang porsinya juga sama-sama ‘kalah’ dari Ratna. Hal ini tentu di luar ekspektasi saya. Saya berekspektasi kalau Adipati dan Della yang akan mengambil alih film. Sayangnya hal ini kurang tepat. Ratna yang mendominasi dan menurut saya justru membuat film ini menjadi unik.
Budaya Minang Perantauan yang Sangat Kental
Satu hal yang saya sangat suka dari film Love For Sale, baik yang pertama atau yang kedua adalah setting yang sangat membumi dan dekat dengan kehidupan masyarakat ekonomi kelas menengah. Mulai dari lokasi rumah yang berada di dalam gang kecil, berangkat kerja menggunakan transportasi umum hingga kebiasaan nongkrong sembari minum kopi dan bermain catur.
Tak cuma itu, budaya Minang yang diangkat dalam film ini sangatlah kental. Film dibuka dengan resepsi pernikahan adat Minang lengkap dengan tari piring dan dekorasi berwarna emas yang memberikan kesan mewah. Tak cuma itu, penggunaan bahasa Minang dalam beberapa dialognya pun meyakinkan penonton kalau kisah ini sangat dekat dengan orang Minang yang tinggal di perantauan.
Teknik Pengambilan Gambar dan Warna yang Memanjakan Mata
Dari segi teknik film, Love For Sale 2 memiliki ciri khas warna neon biru dan merah muda. Dua warna ini dipertahankan terus sejak awal hingga akhir film. Salah satunya dipasang dalam akuarium di rumah orangtua Ican yang membuat kita terkesima karena sangat jarang bukan ada akuarium berwarna merah muda?
Tak cuma warna, teknik pengambilan gambar juga menjadi salah satu yang memanjakan mata saya saat menonton film ini. Satu hal yang unik dan mungkin menjadi bagian tersulit dari film ini adalah di pembuka film. Pada bagian awal film, diperlihatkan resepsi pernikahan adat Minang. Dalam resepsi itu menggunakan teknik pengambilan gambar one take yang cukup panjang. Selain tak monoton, teknik ini membuat pengenalan pemain cukup efektif dan tak memakan waktu lama.
Pesan Mendalam untuk Millennial yang Ngebet Nikah
Selain terpukau dengan visual yang sangat apik, satu hal yang membuat film ini layak ditonton adalah pesan yang disampaikannya. Entah kapan dan siapa yang memulai, ada stigma kalau Millennial itu harus menikah muda. Seolah dengan menikah, kita bisa lebih bahagia dan masalah hidup selesai.
Padahal menikah hanya salah satu cara untuk bahagia dan masih banyak cara lain untuk bahagia tanpa harus dengan menikah bukan?
Film ini memberikan pesan bahwa bahagia itu bisa didapatkan dari mana saja. Bisa dari pekerjaan atau hobi yang kita suka. Tapi, satu hal, jika keluarga kita bahagia dan baik-baik saja, maka hal ini akan menular juga kepada kita.
Bagaimana, kamu sendiri sudah menonton Love For Sale 2? Jika sudah, tulis pendapatmu di kolong komentar ya!