Bagaimana jadinya jika dua insan berbeda ras, suku, dan bahkan kebangsaan, jatuh cinta? Segala halangan akan ditembusnya. Mesti itu artinya, mereka harus melawan hukum yang ada. Tak peduli, dua insan itu tetap berpegang teguh pada cinta mereka meski banyak masalah dan drama menghadang di hadapan mereka.
Kisah cinta itulah yang dialami oleh Minke dan Annelies Mellema dalam film Bumi Manusia. Film yang diangkat dari novel berjudul sama karya Pramoedya Ananta Toer ini sangat ditunggu oleh pencinta film Indonesia.
Kemarin (14/8), Popbela berkesempatan untuk menyaksikan film Bumi Manusia di Epicentrum, Jakarta Selatan. Bagaimana review Popbela terhadap film ini? Simak yuk!
Sinopsis: Ketika Anak Pribumi Jatuh Cinta dengan Gadis keturunan Indonesia-Belanda
Minke (Iqbaal Ramadhan) sangat mengagumi kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban Eropa. Hal ini membuatnya mengenyam pendidikan di sekolah Belanda, Hoogere Burgerschool (HBS). Di HBS, Minke mempelajari beragam hal tentang Eropa, termasuk belajar menulis. Di sana pula, Minke bertemu dengan Robert Suurhorf (Jerome Kurnia), siswa HBS teman Minke yang angkuh.
Suatu hari, Suurhof mengajak Minke ke rumah salah satu temannya yang kaya dan memiliki pertanian sangat luas, yakni Robert Mellema (Giorgino Abraham). Robert Mellema sangat tak suka dengan Minke dan menyuruh Minke duduk berjauhan di kala ia dan Suurhof dengan berbincang.
Tak sengaja, di sana ia bertemu dengan Annelies Mellema (Mawar Eva de Jongh), adik Robert Mellema, anak dari seorang Belanda bernama Herman Mellema (Peter Sterk) dengan seorang gundik, yang jarang keluar rumah dan tak punya teman. Annelies dengan sangat senang hati menjamu Minke dan memperkenalkannya ke sang mama, Nyai Ontosoroh (Sha Ine Febriyanti).
Pertemuannya dengan Annelies membuat Minke langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Tanpa Minke sadari, setelah pertemuan pertamanya dengan Annelies itu, hidupnya tak akan pernah sama lagi.
Bumi Manusia, Potret Jujur Kondisi Bangsa Indonesia Sebelum Kemerdekaan
Meski secara garis besar film Bumi Manusia bertema kisah cinta antara Minke dan Annelies Mellema, namun film ini bisa menggambarkan secara jujur bagaimana kondisi bangsa Indonesia di zaman sebelum kemerdekaan.
Pada masa itu, rakyat Indonesia seolah menjadi tamu di rumah sendiri. Semua jabatan penting, seperti di kepolisian, pejabat daerah setingkat gubernur, hingga hakim pengadilan dikuasai oleh warga Belanda. Sementara warga Indonesia sendiri pada masa itu hanya bekerja sebagai pekerja kasar dan rendahan yang sering diremehkan oleh warga Belanda.
Tidak hanya dari segi itu, potret sosial warga Indonesia juga tergambar jelas melalui film ini. Bagaimana perempuan sering diperlakukan tidak adil, dirampas haknya untuk menjadi gundik (nyai) demi kepentingan segelintir orang.
Melihat kondisi bangsa Indonesia yang digambarkan dalam Bumi Manusia membuat kita bersyukur hidup berada di zaman kemerdekaan seperti saat ini. Sehingga kita nggak perlu merasakan bagaimana sulitnya hidup dan terbatasnya mengembangkan diri pada masa itu.
Sinematografi Keren dan Tampilan Visual yang Sangat Memesona
Hanung Bramantyo, sutradara Bumi Manusia, sepertinya tak main-main dalam mempersiapkan film ini. Semua detail teknis sangat diperhatikannya secara matang sehingga menghasilkan film yang menarik untuk ditonton.
Dari segi sinematografi, teknik pengambilan gambarnya cukup pas. Mulai dari medium shoot, long shoot, penggunaan drone untuk beberapa scene hingga close up, nggak membuat film ini timpang. Sebab, dari scene ke scene lainnya ‘dijahit’ sedemikian rupa sehingga perpindahan scene selalu mulus dan nggak patah.
Untuk visual sendiri, film Bumi Manusia akan didominasi warna peach dan oranye. Warna tersebut memang dipilih karena sangat menggambarkan suasana tahun awal 1900-an.
Tak hanya itu, lokasi syuting dari film Bumi Manusia juga dipilih sangat hati-hati. Mengambil lokasi di Yogyakarta, Hanung berhasil mendapatkan pemandangan alam super cantik yang sangat mendukung film ini.
Totalitas Para Pemain yang Patut Diacungi Jempol
Satu hal yang saya salut dari film ini adalah totalitas para pemain dalam memerankan masing-masing peran yang diberikan. Beberapa aktris dan aktor bahkan harus menguasai empat bahasa sekaligus demi mendalami peran mereka. Iqbaal Ramadhan, Mawar Eva de Jongh, Bryan Dormani dan Giorgino Abraham misalnya, mereka harus memahami bahasa Indonesia, Belanda, Inggris dan Jawa demi peran mereka.
Selain para artis muda tersebut, akting Sha Ine Febriyanti sebagai Nyai Ontosoroh juga sangat mengagumkan. Sebagai sosok yang paling berpengaruh dalam film, Ine bisa membuat kita bahagia saat melihat anaknya menikah, bisa membuat kita merasakan bagaimana perjuangan Nyai Ontosoroh dan merasakan sedih yang teramat dalam saat Nyai Ontosoroh kehilangan anaknya.
Kurang Penjelasan pada Beberapa Bagian Membuat Penonton Bingung
Bumi Manusia ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dengan segala detailnya. Pram menceritakan satu per satu tokoh yang terlibat tentang siapa dan kenapa masalah bisa menimpa sang tokoh. Keterbatasan media film memang mengharuskan sang sutradara untuk bisa menyingkat semua detail demi bisa ditampilkan di layar. Makanya, kekurangan di sana sini menjadi sesuatu yang wajar.
Dalam film Bumi Manusia, beberapa hal kurang dijelaskan secara terperinci, baik secara visual atau tutur kata. Akibatnya, penonton yang belum membaca bukunya pun harus meraba, siapa tokoh ini, apa hubungannya dengan sang tokoh utama, dan mengapa ia terlibat dengan si tokoh utama, menjadi pertanyaan yang muncul di benak penonton.
Jika kamu memang merasa belum puas karena penasaran dengan detail dari film yang kamu tonton, well, nggak ada salahnya untuk mulai membaca kembali karya sastra milik Pram ini, bukan?
Sudah siap untuk menonton dengan durasi hampir tiga jam ini, Bela? Jika sudah menonton, tulis pendapatmu di kolom komentar ya!