Kasus pelecehan seksual kembali ramai diperbincangkan ketika salah satu figur publik dituding melakukan hal tersebut pada tahun 2018. Pelecehan seksual sendiri menjadi permasalahan yang paling diprioritaskan oleh para aktivis perempuan. Terlebih RUU tentang kekerasan seksual belum memiliki kepastian hukum yang jelas.
Lebih disayangkan lagi, adanya stigma masyarakat yang berasumsi cenderung menyalahkan korban karena tidak melawan atau menghindar. Asumsi semacam itu harus diluruskan, karena tidak semua orang bisa melawan atau menghindar saat ia menjadi korban pelecehan seksual atau pemerkosaan.
Beberapa orang mungkin bisa langsung berteriak, meronta, memukul atau sebagainya ke pelaku. Namun, ada kondisi biologis lain yang membuat para korban seakan lumpuh saat dirinya dilecehkan secara seksual. Kondisi ini dinamakan Tonic Immobility. Apa itu Tonic Immobility? Simak penjelasannya di bawah ini!
Penjelasan berdasarkan hasil riset
Hasil riset yang dilakukan tim peneliti asal Swedia, salah satunya Dr. Anna Moller, mematahkan mitos perkosaan bahwa sebuah kasus tak dapat disebut sebagai perkosaan, apabila korban tak melawan saat diserang dan hubungan seksual terjadi. Ditemukan bahwa ada gejala kelumpuhan sementara yang dialami sebagian korban perkosaan, ketika mereka diserang pelaku. Hal tersebut dinamakan tonic immobility.
Melansir dari LiveScience, kelumpuhan sementara yang dialami korban perkosaan tersebut merupakan reaksi defensif dari tubuh yang bersifat alami dan biasanya timbul di bawah ketakutan yang luar biasa. Riset dari tim peneliti juga menunjukkan bahwa kelumpuhan sementara ini mirip dengan kondisi katatonia atau keadaan ketika seseorang tidak bisa bergerak, berbicara, hingga merespon apa pun yang diterima tubuhnya.
Hasil penelitian terbitan Acta Obstetrecia et Gynecologia Scandinavica, mengungkap dari hampir 300 wanita yang mengunjungi klinik untuk korban pemerkosaan, 70 persen di antaranya mengalami tonic immobility.
Berhubungan dengan aktivasi hormon
Dijabarkan oleh Arkansas Coalition Against Sexualt Assault (ACASA), kelumpuhan sementara yang dialami sebagian korban perkosaan berhubungan dengan aktivasi hormon tertentu. Pada sebagian korban, aktivasi hormon corticostereoid mengambil peran besar dalam mereduksi energi yang mereka miliki. Hal inilah yang menyebabkan tubuh mereka kaku seutuhnya. Sehingga, kelumpuhan sementara ini bersifat alami dan spontan.
Berpotensi timbulkan depresi akut
Dari hasil temuan Moller dan tim, selain adanya kelumpuhan sementara, mereka juga melihat adanya potensi depresi akut hingga gangguan stres pascatrauma (post-trauma stress disorder; PTSD) yang lebih besar pada korban perkosaan yang mengalami tonic immobility, dibanding mereka yang tidak mengalaminya.
Karena banyak korban dan masyarakat yang belum mengetahui tentang tonic immobility ini, maka perasaan menyalahkan diri sendiri kadang menghantui para korban. Ditambah jika mereka enggan untuk berbagi atau melaporkan pengalaman pahit tersebut kepada orang terdekat dan pihak berwajib.
Ketakutan akan pandangan masyarakat kepada dirinya dan pertanyaan bertubi mengapa mereka tidak melawan, menjadikan mereka semakin tertutup terhadap orang lain dan memilih menyimpannya sendiri.
Oleh karena itu, perlu banyak informasi dan edukasi seperti ini untuk disampaikan kepada masyarakat luas. Sehingga, tidak ada pertanyaan yang membuat korban merasa disalahkan atas situasi yang menimpa dirinya, sekaligus meluruskan pandangan masyarakat.
Itulah penjelasan mengenai tonic immobility, kondisi pelumpuhan sementara yang dapat terjadi pada korban pelecehan seksual atau korban pemerkosaan. Semoga para korban mendapat keadilan, pelaku mendapat hukuman yang setimpal dan masyarakat dapat meluruskan padangan. Ayo, share sebanyak-banyaknya ke semua keluarga dan temanmu, ya!