Kapitan Pattimura Dikatakan Seorang Muslim, Ini Sosok & Perjuangannya

Benarkah seorang muslim dan ulama?

Kapitan Pattimura Dikatakan Seorang Muslim, Ini Sosok & Perjuangannya

Nama Kapitan Pattimura menjadi perbincangan hangat di media sosial, khususnya Twitter. Banyak yang mencuit terkait asal usulnya dan agama yang ia pegang. Hal ini berawal dari cuplikan ceramah Ustaz Adi Hidayat yang mengatakan bahwa Kapitan Pattimura bukan bernama Thomas Matulessy, melainkan Ahmad Lussy.

Cuitan perdebatan pun muncul dan saling memberi argumen masing-masing. Sumber-sumber pun terungkap terkait profil, latar belakang, hingga perjuangan sang Kapitan. Lantas benarkah pahlawan asal Maluku ini adalah seorang muslim bernama Ahmad Lussy, atau adalah seorang Kristiani bernama Thomas Matulessy? Berikut penjelasan yang berhasil Popbela rangkum dari berbagai sumber.

Profil singkat Kapitan Pattimura

Kapitan Pattimura Dikatakan Seorang Muslim, Ini Sosok & Perjuangannya

Mengutip dari laman Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan, Kesetiakawanan dan Restorasi Sosial (K2KRS) Kementrian Sosial RI, Kapitan Pattimura adalah Pahlawan Nasional asal Maluku. Ia lahir pada 8 Juni 1783 di Haria, Saparua, Maluku, Indonesia.

Pattimura meninggal di usia 34 tahun pada 16 Desember 1817 di New Victoria, Ambon, Maluku, Indonesia dan makamnya tidak diketahui. Ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 6 November 1973 dengan nomor Sk 087 / TK / 1973.

Sosok dan latar belakang Pattimura yang dikenal

Dalam berbagai literatur sejarah Indonesia, mulai dari buku hingga mengutip dari Historia, Kapitan Pattimura bernama asli Thomas Matulessy. Ia lahir di Haria, Saparua, Maluku Tengah pada 8 Juni 1783.

Ayahnya bernama Frans Matulesia dan ibunya bernama Fransina Silahoi, serta memiliki saudara laki-laki bernama Johannis. Thomas Matulessy dikenal karena memimpin perlawanan rakyat Maluku terhadap penjajahan Belanda.

Sosok dan leluhur atau latar belakang Pattimura tertulis dalam 'Kapitan Pattimura' karya IO Nanulaita yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Jakarta, tahun 1985.

Buku tersebut menulis bahwa leluhur keluarga Matulessia berasal dari Pulau Seram (sekarang Provinsi Maluku). Leluhur Matulessia kemudian berpindah ke Haturessi (sekarang Negeri Hulaliu). Kemudian, seorang moyang Thomas Matulessy berpindah ke Titawaka (sekarang Negeri Itawaka).

Di antara keturunannya ada yang menetap di Itawaka dan ada yang berpindah ke Ulath, ada yang kembali menetap di Hulaliu, dan ada yang berpindah ke Haria. Keturunan di Haria inilah yang menurunkan ayah dari Thomas Matulessy, yakni Frans Matulessia/Matulessy. Ibu Thomas berasal dari Siri Sori Serani.

Thomas tidak menikah dan tidak memiliki keturunan, sedangkan Johannis menurunkan keluarga Matulessy yang sekarang berdiam di Haria. Ahli waris yang memegang surat pengangkatan Kapitan Pattimura sebagai pahlawan nasional selepas Indonesia merdeka.

Di rumah keluarga Matulesia itu pula disimpan pakaian, parang, dan salawaku dari pahlawan Pattimura. IO Nanulaita juga menulis bahwa keluarga Matulessia beragama Kristen Protestan. Nama Johannis dan Thomas diambil dari Alkitab.

Nama Matulessy disebut pula sebagai Matulessia, berasal dari kata 'matatulessi', artinya adalah 'mati dengan lebih' (ma=mati; tula=dengan; lessi=lebih). Nama 'matatulessi' berubah menjadi 'matulessia'.

Berdasarkan catatan IO Nanulita, menurut beberapa orang yang berfam (nama famili) Matulessy, mengalami diskriminasi oleh pemerintah kolonial Belanda. Belanda tidak mau menerima raja, patih, murid, pegawai, serdadu atau agen polisi, yang bernama Matulessia. Fam itu harus diganti.

"Lalu ada keluarga yang berganti fam menjadi Matulessy atau Matualessy. Ada pula yang tetap memakai nama Matulessia. Di Hulaliu keluarga itu mengganti namanya menjadi Lesiputih, artinya putih lebih, yang mengandung makna orang putih yang menang," tulis Nanulita.

Pada 1920, atas permintaan dari keluarga tersebut, Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum memutuskan mengizinkan keluarga Lesiputih memakai nama Matulessy lagi.

Perjuangan Kapitan Pattimura dan para rakyat Maluku

Thomas Matulessy sempat menjadi sersan militer Inggris. Ia dengan keras menentang penindasan yang dilakukan VOC terkait praktik kolonialisme dalam bentuk monopoli perdagangan, pelayaran hongi, dan kerja paksa.

Rakyat Maluku pun menderita dan hidup dalam keadaan kemiskinan, meski memiliki komoditi cengkeh untuk pasar dunia. Kapitan Pattimura atau Thomas Matulessy menyusun 'Proklamasi Haria' untuk menolak tegas kedatangan Belanda ke wilayah Maluku. Belanda berusaha menguasai Maluku sejak berakhirnya kedudukan Inggris di Indonesia pada tanggal 25 Maret 1817.

Pada 7 Mei 1817, dalam rapat umum di Baileu negeri Haria, Pattimura dikukuhkan dalam upacara adat sebagai 'Kapitan Besar'. Di dalam 'Proklamasi Haria' tertera nama Thomas Matulessia. Sepucuk surat dikirim Thomas kepada raja-raja di Seram, ditandatanganinya dengan nama Thomas Matulessia.

Dalam melancarkan perjuangannya, Kapitan Pattimura memilih beberapa orang untuk membantunya, yaitu Anthoni Rhebok, Philips Latimahina, Lucas Selano, Arong Lisapafy, Melchior Kesaulya, Sarassa Sanaki, Martha Christina Tiahahu, dan Paulus Tiahahu.

Bersama-sama mereka melakukan perjuangan dan berhasil menyudutkan para penjajah termasuk menjatuhkan benteng-benteng vital milik Belanda. Dia memimpin penyerbuan ke benteng Duurstede dan menguasainya dari tangan Belanda. Selanjutnya, dia memimpin pasukan bertempur melawan pasukan Mayor Beetjes.

Belanda yang semakin terancam dengan pergerakan Kapitan Pattimura beserta para pejuang lainnya tak tinggal diam dengan melakukan aksi pencarian besar-besaran terhadap para gerilyawan itu. Mereka juga mendatangkan pasukan dari luar pulau untuk membantu mereka.

Hingga akhirnya tanggal 11 November 1817 Belanda berhasil menyergap Kapitan Pattimura dan pejuang lainnya. Pattimura dan rekan-rekan dieksekusi di tiang gantung pada 16 Desember 1817 di kota Ambon.

Selepas itu, perjuangan masih berlanjut dan nama Pattimura pun menjadi sebuah gelar. Setiap pemimpin pemberontakkan diberikan gelar Pattimura. Tak hanya itu, nama Pattimura juga dipakai sebagai sebuah nama keluarga atau nama bayi laki-laki yang baru dilahirkan, terutama di daerah Seram Barat.

Narasi terkait Kapitan Pattimura adalah seorang muslim

Akhir-akhir ini agama Kapitan Pattimura kembali viral dan menjadi perdebatan. Narasi ini kembali muncul setelah ustaz Adi Hidayat mengatakan dalam cuplikan ceramahnya bahwa Kapitan Pattimura adalah seorang muslim yang taat, bahkan seorang ulama. Ia juga mengatakan bahwa hal tersebut disetujui oleh para pakar sejarawan.

Narasi terkait agama dari Kapitan Pattimura sendiri yang adalah seorang muslim dan ulama pernah dibahas dalam sebuah buku Api Sejarah (2009) oleh sejarahwan Mansur Suryanegara.

Menurut Mansur Suryanegara, nama asli Pattimura adalah Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut sebagai Mat Lussy yang lahir di Hualoy, Seram Selatan. Pattimura menurut Mansyur adalah seorang bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau.

Kala itu, diperintah oleh Sultan Abdurrahman yang dikenal dengan julukan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/asisten Allah). Dalam bahasa Maluku, disebut Kasimiliali. Pattimura itu sebenarnya nama marga di Desa Latu dan Hualoy Seram Barat Maluku Tengah.

Pattimura artinya Raja yang merendahkan diri. Di Desa Haria Pulau saparua (Malteng) tempat lahir Thomas Matulessy, tidak ada marga Pattimura. Menurut M Sapija, ketika perang Pattimura ada yang nama Thomas ialah Thomas Hehanusa bekas serdadu Inggris pada waktu itu. Dia berasal dari Desa Titawaai Pulau Nusalaut.

Turunannya sampai saat ini ada di Dessa Hualoy. Thomas Hehanusa seorang Kristen pada waktu itu masuk Islam dan diganti nama Sinene Hehanusa atau Kapitan Latuleanusa. Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy merupakan sosok bangsawan dari Kerajaan Islam Sahulau. Sejarawan Mansyur Suryanegara menyebutkan, Pattimura adalah seorang muslim yang taat.

Selain keturunan bangsawan, ia juga seorang ulama. Sejarah menyebutkan bahwa pada masa itu, semua pemimpin perang di kawasan Maluku adalah bangsawan atau ulama, atau keduanya. Lembaga dakwah Alhadiid juga menyebutkan dalam artikelnya bahwa buku Biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit dinilai ada kejanggalan.

M Sapija tidak menyebut Sahulau itu adalah kesultanan. Kemudian ada kejanggalan yang menambahkan marga Pattimura Mattulessy. Padahal, di negeri Sahulau tidak ada marga Pattimura atau Mattulessy.

Di sana hanya ada marga Kasimiliali yang leluhur mereka adalah Sultan Abdurrahman. Jadi asal nama Pattimura dalam buku sejarah nasional adalah karangan dari M Sapija. Sedangkan Mattulessy bukanlah marga melainkan nama, yaitu Ahmad Lussy. Dan Thomas Mattulessy sebenarnya tidak pernah ada di dalam sejarah perjuangan rakyat Maluku.

Kembali dari pendapat Mansyur Suryanegara, Pattimura itu marga yang masih ada sampai sekarang. Dan semua orang yang bermarga Pattimura sekarang ini beragama Islam. Orang-orang tersebut mengaku ikut agama nenek moyang mereka yaitu Pattimura. Masih menurut Mansyur, mayoritas kerajaan-kerajaan di Maluku adalah kerajaan Islam.

Di antaranya adalah Kerajaan Ambon, Herat, dan Jailolo. Begitu banyaknya kerajaan sehingga orang Arab menyebut kawasan ini dengan Jaziratul Muluk (Negeri Raja-Raja). Sebutan ini kelak dikenal dengan Maluku. Mansyur pun tidak sependapat dengan Maluku dan Ambon yang sampai kini diidentikkan dengan satu agama saja.

Bantahan dan poin penting

Berdasarkan catatan sejarah resmi, tidak pernah disebut bahwa nama asli dari Kapitan Pattimura adalah Ahmad Lussy. Sebagian orang mengira bahwa Matulessy merupakan nama marga untuk orang Maluku.

Namun, yang merupakan nama marga sebenarnya adalah Pattimura, yang artinya raja yang merendahkan diri. Dalam salah satu catatan sejarah terlama dari Belanda, nama Thomas Matulessy ditulis menjadi Thomas Matulesia.

Salah satunya dalam catatan seorang marinir Belanda, Quirinus Maurits Rudolf Ver Huell pada 1817, ketika Pattimura ditangkap Belanda. QMR Ver Huell menuliskan pertemuannya dengan Pattimura dalam catatannya berjudul Herinneringen van eene reis naar de Oost-Indiën atau Kenangan Pelayaran ke Hindia Timur yang diterbitkan beberapa tahun kemudian.

Dalam sketsanya, ia menulis, "Thomas Matulesia adalah pria sekitar 34 tahun, dengan perawakan tinggi, langsing, gelap, namun tidak pandai. Ia benar-benar hilang akal dan seakan hancur akibat kekalahannya." Ada pula yang mengatakan bahwa narasi dari buku Api Sejarah telah dibantah oleh Marcellina Matulessy dan Albert Matulessy keturunan Pattimura.

Membicarakan agama dari Kapitan Pattimura memang tak ada habisnya. Beberapa pahlawan juga sempat diberitakan demikian. Namun, yang menjadi poin penting dari ini semua adalah apa yang telah mereka berikan untuk Indonesia.

Perjuangan melawan penjajah, keberanian, tekad untuk membangkitkan rakyat dari kemiskinan dan penderitaan yang patut diapresiasi. Bahkan dengan hadirnya pemimpin perjuangan seperti Kapitan Pattimura, semua orang—apapun agamanya dan dari manapun asalnya—bersatu untuk mengusir penjajah. Membangun negeri dan kehidupan yang lebih baik dan layak untuk semua kalangan.

Itulah yang perlu diterapkan dalam generasi dan zaman ini. Bersatu tanpa memandang suku, agama, dan ras untuk membangun kehidupan bermasyarakat dan bernegara menjadi lebih baik, maju, dan menghasilkan banyak prestasi.

Bagaimana pendapatmu, Bela?

  • Share Artikel

TOPIC

trending

Trending

This week's horoscope

horoscopes

... read more

See more horoscopes here

























© 2024 Popbela.com by IDN | All Rights Reserved

Follow Us :

© 2024 Popbela.com by IDN | All Rights Reserved