Salah satu tradisi saat Lebaran adalah memberikan salam tempel kepada sanak saudara. Biasanya, kita akan menukarkan uang pecahan ke nominal yang lebih kecil. Tak mengherankan jika menuju hari raya, banyak ditemukan para penyedia tukar uang di pinggir jalan.
Mereka yang akan menukarkan uangnya kepada para penyedia jasa akan dikenakan sejumlah potongan atau tarif tertentu. Hal ini pun menjadi perdebatan mengenai hukum mubah atau haramnya. Lalu bagaimana sebenarnya hukum menukar uang untuk lebaran dalam Islam? Berikut penjelasannya.
Hukum tukar menukar dalam hadis
Hukum tukar menukar atau yang disebut juga barter, telah ada sejak zaman dahulu dan telah diatur pula dalam Islam. Bahkan di zaman Rasulullah SAW, kegiatan tukar menukar sudah banyak terjadi. Terdapat beberapa syarat dan ketentuan dari tukar menukar, yaitu jumlah atau takaran, jenis transaksi (tunai non tunai), dan jenis barang yang ditukarkan. Hal ini disebutkan dalam hadis berikut:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Jika emas dibarter dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum bur (gandum halus) ditukar dengan gandum bur, gandum syair (kasar) ditukar dengan gandum syair, korma ditukar dengan korma, garam dibarter dengan garam, maka takarannya harus sama dan tunai. Jika benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan tunai.” (HR. Muslim 4147).
Dalam hadis tersebut, telah dijelaskan bahwa tukar menukar barang sejenis harus dilakukan secara tunai dan dalam jumlah atau takaran yang sama. Sedangkan jika barang yang ditukarkan berbeda jenis maka takarannya boleh sesuka kalian asalkan transaksinya tetap tunai.
Hukum tukar uang dalam hadis
Jika kita merujuk pada hadis yang telah disebutkan sebelumnya, maka tukar menukar uang yang biasa dilakukan adalah haram atau tidak sesuai hukum. Ternyata jelas bahwa tukar menukar barang yang sejenis (dalam hal ini uang dengan uang) harus senilai dan tunai.
Sedangkan dalam kegiatan tukar uang yang biasa dilakukan masyarakat, disertai dengan potongan sejumlah tertentu yang harus dibayarkan sebagai kelebihan dari transaksi kepada si penjual. Hal ini menjadikan takaran atau bobot tukar menukar uang tersebut menjadi tidak sama atau tidak senilai antara satu pihak dengan pihak lainnya.
Perkara tersebut juga dijelaskan dalam sebuah hadist Ahmad dan Muslim sebagai berikut:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
“Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum ditukar dengan gandum, sya’ir (gandum kasar) ditukar dengan sya’ir, kurma ditukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam, takaran atau timbangan harus sama dan dibayar tunai. Siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Ahmad 11466 & Muslim 4148).
Jelas sudah hukum menukar uang baru untuk lebaran dalam lebaran. Oleh karena itu, umat muslim lebih memerhatikan syarat dan hukumnya agar tidak terjerumus ke dalam riba. Sangat disayangkan apabila niat baik berbagi, justru menjadi dosa karena ketidaktahuan.