Di Indonesia ini, masih banyak orang yang percaya dengan kekuatan-kekuatan magis. Santet dan ilmu hitam di antaranya. Dan, itulah yang menjadi fokus cerita dari Sewu Dino.
Sama halnya seperti KKN Desa Penari, Sewu Dino juga merupakan film yang diadaptasi dari sebuah thread Twitter yang dipopulerkan oleh akun @SimpleM81378523. Bedanya, di film kali ini ceritanya nggak 100% mirip dengan thread, Bela. Jika melihat dari pemeran utamanya, film ini bukan lanjutan dari Teluh Darah yang sama-sama buah tangan Kimo Stamboel dan mendapuk Mikha Tambayong. Proyek ini justru menjadi tantangan bagi Kimo untuk bisa memisahkan keduanya—apalagi dengan jadwal rilis yang masih bersenggolan.
Seperti apa? Simak ulasannya berikut ini, yuk!
Sinopsis 'Sewu Dino'
Karena terdesak dengan kebutuhan ekonomi, seorang perempuan bernama Sri (Mikha Tambayong) terdorong mengikuti sebuah perekrutan karyawan yang dilakukan oleh keluarga Atmojo. Meski sempat ragu dan balik arah sebuah takdir menggiringnya untuk bekerja sama dengan keluarga pesohor di desanya itu.
Mengambil latar tahun 2003, uang 10 juta yang ditawarkan keluarga Atmojo tentu sangat menggiurkan. Sri yang sudah terikat dengan perjanjian dipastikan sudah tidak bisa berpaling. Sri bukanlah gadis ‘Kliwon’ satu-satunya yang terikat dengan keluarga Atmojo. Hari ketika Sri memutuskan bekerja di sanalah ia bertemu dengan Erna (Givina Lukita) dan Dini (Agla Artalidia).
Perjalanan dimulai dengan Sugik (Rio Dewanto) yang mengantar mereka ke sebuah gubuk di tengah hutan. Sampailah mereka bertemu dengan Mbah Tamin (Pritt Timothy) dan juga raga Dela (Gisellma Firmansyah) yang diletakan di sebuah ruangan lengkap dengan sebuah keranda. Dela Atmojo adalah cucu Karsa Atmojo yang terkena kutukan 1000 hari.
Setelah sempat bungkam dengan seribu pertanyaan, barulah Sri tahu bahwa pekerjaan yang harus mereka lakukan adalah melakukan ritual Basuh Sedo. Ritual pembersihan yang bertujuan untuk menenangkan makhluk jahat/Sengarturih yang bertengger di tubuh Dela.
Dini yang sudah cukup lama bekerja dengan keluarga Atmojo sangat fasih menunjukkan bagaimana ritual tersebut harus dilakukan. Terlihat mudah, tetapi empat hari terakhir menjadi hari-hari yang sangat mencengkam.
Sengarturih yang menguasai tubuh Dela terus menerus berisasat untuk menggagalkan ritual utama Sewo Dino. Akankah Sri dan gadis Kliwon lainnya akan berhasil menyelamatkan Dela?
Sejumlah praktik klenik dalam 'Sewu Dino' yang menarik
Saling adu ilmu yang dilakukan dukun mungkin sudah biasa kita saksikan di film-film yang mengangkat tema persantetan. Namun, berbeda dengan Sewo Dino yang lebih menggambarkan secara detail sebuah ritual-ritual yang dilakukan untuk membebaskan kutukan.
Sejauh ini ada 4 praktik klenik yang ditemukan di film Sewo Dino, mulai dari Basuh Sedo, Pagar Gaib, Kontak Gadai Nyawa, hingga Alam Sukma. Dari semua ritual dan praktik tersebut, Basuh Sedo yang menjadi fokus utama yang paling mencekam.
Di film ini kamu bisa menyaksikan bagaimana sebuah ritual yang bertujuan menenangkan mahkluk Sengarturih, yang bisa saja menyerang dan membunuh kamu kapan saja jika ada kelengahan di dalamnya.
Ritual ini harus dilakukan kala senja hari dan harus selesai sebelum matahari terbenam. Ritual yang harus mengikuti langkah demi langkah tanpa ada sedikitpun kesalahan. Ketegangan akan mulai terasa ketika si gadis Kliwon mulai membasuh bagian atas tubuh sambil menembangkan sebuah matra.
“Manungso ing dunyo iku sebab onok perkoro. Rungkono wahai penghuni dunyo. Iki musabab aku ngabdi nang ndoro. Trah anom sing agung.”
Gambaran ritual melalui medium tulisan seakan menimbulkan imajinasi yang lebih menakutkan dibandingkan ketika sudah diterjemahkan secara visual. Apalagi ketika adegan instruksi Basuh Sedo yang dilakukan dengan menggunakan rekaman yang menurut saya cukup aneh.
Cerita runut dengan alur yang sangat lambat
Jika kebanyakan film horor bikin capek karena intensitas menuju adegan horor yang cukup cepat, berbeda dengan Sewu Dino yang memiliki alur lambat. Karena menggunakan pendekatan alur maju, Sewo Dino menyajikan cerita yang runut mulai dari latar belakang Sri hingga perjuangan Sri menyelamatkan nyawa Dela.
Satu jam pertama sentuhan horor tidaklah begitu terasa, ibaratnya penonton masih dibiarkan untuk santai. Intensitas ketegangan mulai terasa di satu jam berikutnya. Agaknya sedikit berbeda dengan film-film yang pernah digarap oleh Kimo Stamboel, namun ritme ini mengingatkan serial garapannya, Teluh Darah.
Begitu juga di 'dapur' sinematografi, CGI Sewu Dino cukup rapi dan halus. Kimo agaknya bermain ketegangan lewat ekspresi para pemain.
Jumpscare melalui suara dibanding visual
Dalam sektor jumpscare hingga bentuk setan, setiap orang memiliki imajinasinya sendiri-sendiri, dan bagi Kimo, cara mewujudkannya berbeda dengan ekspektasi saya. Sound effect yang digunakan dalam film ini menurut saya sedikit berlebihan.
Alih-alih memberikan sensasi horor dengan mengejutkan penonton, sound effect di film ini malah memekakkan telinga. Ada beberapa sound effect yang benar-benar bikin kaget bukan karena adegan horornya, tapi memang karena terlalu kencang.
Akhir kisah yang bikin penasaran
Secara keseluruhan, Sewu Dino menjadi tontonan yang lebih baik jika dibandingkan dengan KKN Desa Penari. Pendekatan dengan membuat cerita yang nggak sama dengan threadnya, sangat bisa dinikmati karena secara garis besar ceritanya tetap sama. Detail-detail yang yang ditambah atau dihilangkan tidak terasa mengganjal.
Meski film ini akan memiliki kelanjutan dengan akhir yang bikin penasaran, namun tidak meninggalkan kesan menggantung. Malah dengan tambahan dua post-credits, membuat saya semakin penasaran dengan kelanjutan filmnya.