Review "Sayap-Sayap Patah": Film Romantis Berbalut Tragedi

Dibintangi oleh Nicholas Saputra dan Ariel Tatum

Review "Sayap-Sayap Patah": Film Romantis Berbalut Tragedi

Sesak, itulah kata yang mungkin bisa mewakili perasaan saya setelah berhasil memaksa diri menyaksikan film garapan terbaru Rudi Soedjarwo, Sayap-Sayap Patah

Sayap-Sayap Patah bagaikan kapsul waktu Rudi Soedjarwo yang menggambarkan keadaan sebuah keluarga anggota kepolisian yang gugur dalam situasi mencekam kerusuhan Lapas Mako Brimob Kelapa Dua Depok, tahun 2018 lalu.

Bukan untuk membuka kembali luka, Rudi hanya ingin menyampaikan emosi yang bermanfaat maupun pesan tatkala diberi kesempatan membuat film–Rudi pribadi memaknai film sebagai ajang media komunikasi yang cukup kuat. 

Review "Sayap-Sayap Patah": Film Romantis Berbalut Tragedi

Mengangkat tema kemanusiaan, Rudi ingin membawa penontonnya menyelami kehidupan sepasang suami istri yang kental akan romansa dengan menampilkan juga sisi lain berupa konflik batin yang dialami sang istri di masa kehamilan anak pertama mereka. Film ini menyoal kelahiran & kematian dalam waktu bersamaan.

Sayap-Sayap Patah punya nuansa yang lebih dark dan langsung menggambarkan tugas kepolisian yang ekstrem: memberantas terorisme, bertaruh dengan hidup dan mati.

Rudi Soedjarwo sangat terbantu oleh para aktor yang mampu memberikan nyawa pada setiap karakter yang terbentuk. Olah rasa yang disalurkan beberapa karakter, seperti Ariel Tatum, Iwa K, dan Nugi yang berperan sebagai AKP Sadikin sudah sangat tersampaikan dengan baik, padahal ketiganya adalah seorang musisi.

Selain dibumbui dengan aksi yang menegangkan, kamu juga akan dibawa mengikuti pergolakan batin Nani (Ariel Tatum), kefrustasiaan yang dirasakan Nani di tengah resiko pekerjaan sang suami. Berharap Mas Aji dapat pulang dengan selamat, memakan makan malam yang ia siapkan. Namun inilah bagian tersulit ketika Nina harus menerima bahwa suaminya bukan hanya miliknya, melainkan juga milik negara.

“Setiap malam aku nungguin kamu pulang, bahkan aku nggak tahu harus nyiapin selimut atau kain kafan!”

Nyes! kena banget nih dialog! Emosi yang dibawakan Ariel Tatum lewat Nina tersalurkan dengan baik ke benak hati siapa saja, mungkin nggak hanya perempuan bahkan laki-laki sekalipun juga akan merasakan nyeri teramat dalam kalau ada di posisi Nina. 

Rangkaian tragedi berdarah di dalam film berdurasi 1 jam 50 menit hanya sebagai plot pendukung saja. Hanya sekadar bumbu saja. Bagi Denny Siregar selaku produser, karya ini bukanlah film yang ingin membicarakan tentang kepolisian maupun teroris, melainkan sisi kemanusiaan dengan pekerjaannya.

Walaupun sisi polemik drama kemanusiaan yang menjadi tema besar film ini agaknya sedikit kabur. Emosi yang saya sendiri rasakan adalah terletak di bagian plot pendukung. 

Jika dilihat dari porsi penayangan pun pengalaman aksi lebih banyak mendapatkan layar, dibandingkan romansa. Bahkan hal tersebut sudah sangat didukung dengan pengambilan gambar yang menurut saya sudah baik kok kalau film ini ingin dibawa menjadi film aksi.

Berkat kerjasamanya dengan tim sinematografi, Rudi berhasil menghasilkan output gambar-gambar yang menarik, khususnya untuk bagian aksi. Misalnya, ledakan bom (ini keren sih menurut saya), penggerebekan gembong narkoba di dalam hutan, kengerian kerusuhan di lapas, serta adegan ketika AKP Sadikin menginterogasi Leong. Mereka merangkum adegan demi adegan dengan serius.

Tone dalam film ini juga dipikirkan sedemikian rupa, suram ketika adegan-adegan mengerikan, lalu cerah ketika romansa berjalan.

Tata musik dan suara yang disajikan juga cukup mendukung suasana dan mampu menghidupkan adrenalin. Walaupun jujur, untuk musik di scene Aji menyesali kepergian Nina ke Jakarta agaknya terkesan memaksa penonton untuk bersedih.

Selebihnya semua berjalan dengan baik. Apalagi di scene akhir iring-iringan mobil jenazah yang berbalut soundtrack film itu sendiri, “Kutunggu Senyummu” oleh Ipang Lazuardi. Saya dibuat merinding dan haru untuk bagian ini.

Rudi yang dikenal dengan polemik drama dalam filmnya, rasanya sudah mendapatkan tempat untuk menggarap film-film aksi.

Riset yang dilakukan Rudi dan Denny bagi saya malah tepat guna untuk bagian peristiwa ketegangan pekerjaan polisi kala berhadapan dengan terorisme yang saat ini masih menjadi momok di Indonesia.

Film ini sudah punya potensi yang besar jika diteruskan dan didalami. Film ini mungkin akan menjadi film pemberantasan terorisme terbaik di Indonesia. Apalagi ide Denny Siregar yang cukup menarik, yakni ketika kita hanya mengetahui hasil dari teroris itu sendiri–berupa bom dan ajaran-ajarannya, tetapi tidak mengetahui alasan kenapa mereka melakukan hal-hal tersebut.

Film Sayap-Sayap Patah secara resmi rilis pada 18 Agustus 2022, dan film ini cukup mengundang rasa penasaran terbukti dengan berhasil terjualnya 1,5 juta tiket hingga hari ini.

Melalui film ini diharapkan masyarakat Indonesia tidak cepat melupakan kejadian perjuangan anggota kepolisian dalam menghadapi terorisme. Sayap-Sayap Patah juga sebuah bentuk persembahan untuk keluarga kelima anggota Densus 88 yang gugur dalam peristiwa kerusuhan Lapas Brimob Kelapa 2, Depok.

Baca Juga: Review 'Orphan: First Kill': Teror dan Aksi Brutal Seorang Eshter

Baca Juga: Review 'Beast': Kita Butuh Skill Bertahan Hidup 

Baca Juga: Review ‘Mencuri Raden Saleh’: Kecerdikan Nakal yang Memikat

  • Share Artikel

TOPIC

trending

Trending

This week's horoscope

horoscopes

... read more

See more horoscopes here

























© 2024 Popbela.com by IDN | All Rights Reserved

Follow Us :

© 2024 Popbela.com by IDN | All Rights Reserved