Kamu tahu betul siapa dirimu. Setidaknya, kamu mengenal namamu, hal-hal yang kamu sukai hingga yang kamu tidak sukai. Namun, pada akhirnya, ada beberapa hal yang terkadang membuatmu cukup penasaran mengenai dirimu sendiri, bukan?
Khususnya dalam ranah mental health issue yang sangat penting. Misalnya, kamu cukup perfectionist sehingga kamu pun berpikir, "Mungkinkah aku mengidap OCD?" Atau mood-mu cenderung berubah-ubah, jadi kamu mempertanyakan, "Apa ini gejala bipolar disorder?"
Eits, belum tentu, Bela! Melansir dari Science Insider, beberapa ahli di bidang psikologi menguak beberapa hal yang kerap dijadikan sebagai mitos terkait mental health. Sehingga hal tersebut membuat orang-orang terlalu cepat menarik kesimpulan. Mitos apa saja, ya?
Mitos pertama: perfectionist itu OCD
Berbicara mengenai mental health, kamu pasti cukup familiar dengan istilah OCD yang merupakan singkatan dari obsessive-compulsive disorder. Yup, pada umumnya, istilah ini seringkali dikaitkan dengan sikap seseorang yang terlalu bersih, rapih, atau perfectionist.
Tahukah kamu? Melansir dari situs resmi American Psychiatry Association, OCD nyatanya fokus pada kecenderungan seseorang yang selalu terdorong untuk terus melakukan sesuatu secara berulang-ulang. Entah mengecek sesuatu, mencuci tangan, dan lainnya.
Seorang pakar psikolog bernama Dr. Laura Goorin asal Amerika Serikat menekankan, bahwa seseorang yang menyukai keadaan yang bersih dan rapih belum tentu mengidap OCD. Katanya, "mereka hanya suka kebersihan, sangat berbeda dari OCD."
Dalam penjelasannya, penderita OCD ditandai dengan kecenderungan yang selalu terobsesi memikirkan sesuatu, sehingga sulit untuk menahannya dari tindakan. Jika tidak dilakukan, penderita OCD dapat mengalami rangkaian masalah seperti cemas, takut dan lainnya.
Mitos kedua: schizophrenia memiliki banyak kepribadian
Kedua matamu mungkin pernah menyaksikan sebuah film berjudul Split (2016) yang memperkenalkan seorang karakter pria dengan banyak kepribadian. Umumnya, orang-orang menduga bahwa kondisi tersebut dialami oleh seorang pengidap schizophrenia.
Melansir dari situs resmi Mayo Clinic, schizophrenia adalah gangguan mental dengan gejala mengalami halusinasi, delusi, kekacauan berpikir, serta perubahan perilaku dalam jangka waktu panjang. Sehingga, sering disalah-artikan dengan berkepribadian banyak.
Padahal, perilaku yang dapat ditunjukan berbeda-beda tersebut merupakan kecenderungan penderita yang suka memisahkan dirinya dari realita. Atau dapat dikonklusikan bermain dengan halusinasi. Setidaknya itulah penjelasan Dr. Laura Goorin kepada Science Insider.
Mitos ketiga: perubahan mood menandakan kamu bipolar
Siapa sih, yang tidak pernah merasakan perubahan mood? Mungkin, saat ini, kamu sedang merasa antusias untuk mengerjakan tugas kantor atau sebuah kegiatan. Namun, bisa saja beberapa jam setelahnya, mood-mu hancur hingga terlalu malas untuk melanjutkannya.
Sebagian besar orang mengira bahwa perubahan mood tersebut merupakan gerbang seseorang mengidap bipolar disorder. Memang, sebagaimana melansir dari Mayo Clinic, bipolar disorder turut fokus pada perubahan mood, namun dalam kapasitas yang ekstrim.
Sebagaimana dijelaskan oleh psikolog asal Amerika Serikat bernama Jillian Stile, PhD, bipolar disorder tidak hanya mengenai mood yang berubah, tetapi elevated mood atau depressed mood dengan siklus 'manic episode' yang terus-menerus terjadi secara negatif.
Mitos keempat: anxiety terjadi karena stres
Rasanya, seseorang dapat dikatakan berbohong jika mengaku tidak pernah gelisah, setuju? Sebut saja, pengalaman pertama ketika kamu harus melakukan presentasi di depan publik. Atau, ketika kamu akan menghadapi ujian. Kamu pasti langsung merasa cemas, bukan?
Dari situ, kamu pun menilai bahwa perasaan cemas yang terjadi merupakan buah dari bagaimana kamu merasa cukup stres terhadap hidup. Eits, perlu diketahui bahwa anxiety dan stres merupakan dua hal yang nyatanya berbeda di ranah mental health.
Spesifiknya, Dr. Laura Goorin menjelaskan bahwa anxiety fokus pada proses berpikir dengan kecenderungan berimajinasi mengenai segala kemungkinan negatif. Seperti terus memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan 'what if' dan dapat terjadi selama berjam-jam.
Berbeda dengan perasaan stres. Hal tersebut umumnya terjadi dalam setiap aspek kehidupan. Seperti stres mengenai pekerjaan, bertemu bos, atau keadaan ekonomi. Namun, jika kamu merasa stres diringi dengan panic attack, hal itu baru dapat dikatakan sebagai anxiety reaction.
Mitos kelima: sedih sama seperti depresi
Kamu pasti cukup familiar dengan film Pixar Animation Studios berjudul Inside Out (2015), bukan? Yup, salah satu hal yang paling menarik perhatian dari film tersebut adalah beberapa karakter animasi yang merepresentasikan emosi manusia. Termasuk sedih.
Pastinya, kamu pernah mengalami kesedihan seperti semua orang pada umumnya, ya. Tapi, apakah itu berarti kamu mengalami depresi? Dr. Laura Goorin menjelaskan bahwa sedih adalah bagian dari emosi yang tidak bertahan selamanya atau tergantikan.
Dengan kata lain, kamu bisa sedih karena sesuatu, namun hiburan dan hal sejenis lainnya dapat mengubah perasaan tersebut menjadi lebih baik. Alhasil, kamu lupa akan kesedihanmu. Berbeda dengan depresi yang merupakan berpikir secara mendalam terus menerus.
Artinya, seseorang yang depresi akan terus memikirkan alasan kesedihannya dan tidak mudah untuk membawanya keluar dari pikiran itu. Dampaknya, depresi membawa seseorang pada gejala neurovegetative yang meliputi kesulitan makan, tidur, dan fokus terhadap hal lainnya.
Jadi, sekarang, kamu sudah lebih memahami garis besar isu terkait mental health yang sebenarnya, ya. Ingat, lebih banyak membaca dan mencari tahu akan membantumu membedakan mana yang benar dan mana yang mitos. Jangan lupa jaga kesehatan mentalmu, Bela.