Seperti yang kamu ketahui, penyebaran virus COVID-19 di masa pandemi ini terbilang sangat rentan dan cepat. Akan tetapi, ada beragam upaya yang dapat kamu lakukan untuk berkontribusi dalam memutus mata rantai penyebaran virus tersebut.
Mulai dari pembatasan sosial, hingga menerapkan protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh badan kesehatan dunia atau World Health Organization (WHO). Salah satunya adalah dengan memperoleh vaksin yang telah teruji secara klinis.
Eits, perlu diketahui bahwa banyak membaca dan mencari tahu informasi mengenai vaksin sangat dianjurkan, lho! Dengan begini, kamu akan mengetahui kebenaran terkait injeksi vaksin dan beralih dari beberapa mitos yang tersebar di kalangan masyarakat. Apa saja?
Mitos pertama: tidak efektif 100%, vaksin tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya
Beberapa badan kesehatan yang tersebar di berbagai negara telah berhasil menemukan vaksin untuk virus COVID-19. Namun, sebagian besar tidak mencapai tingkat efektivitas hingga 100%. Termasuk vaksin Sinovac asal Tiongkok di Indonesia yang meraih sekitar 65,3%.
Dampaknya, desas-desus pun tersebar bahwa vaksin dengan tingkat efektivitas yang tidak sempurna tidak akan memberi dampak positif sebagaimana fungsinya. Melansir dari Science Insider, para pakar memastikan bahwa anggapan tersebut adalah mitos belaka.
Spesifiknya dijelaskan oleh Dr. Maria Elena Bottazzi yang merupakan vaccinologist asal Amerika Serikat. Katanya, "Setiap vaksin memiliki tingkatannya sendiri untuk melakukan proteksi melalui tubuh yang terus bekerja hingga terekspos oleh penularan tertentu ... dari situ, seseorang akan memperoleh kemungkinan yang lebih rendah untuk terinfeksi dan kebutuhan untuk dirumah-sakitkan, hingga mengalami pemulihan yang lebih cepat."
Mitos kedua: vaksin menghasilkan penyakit terkait
Secara medis, kamu memahami bahwa vaksin memiliki manfaat paling mendasar untuk memberikan pertahanan dan perlindungan dari berbagai penyakit infeksi yang berbahaya. Atau spesifiknya, vaksin bermanfaat sebagai upaya pencegahan penyakit menular.
Namun, seperti yang kamu ketahui, vaksin terkadang memberi efek samping yang meliputi demam dan sejenisnya kepada sebagian orang. Dampaknya, mitos pun tersebar bahwa vaksin justru menghasilkan penyakit yang awalnya direncanakan untuk dicegah.
Ditekankan oleh Dr. Maria Elena Bottazzi, hal tersebut tidak benar, karena efek samping merupakan hal yang wajar terjadi. Pakar lain bernama Dr. Nupunie Rajapakse menjelaskan lebih lanjut, bahwa vaksin bekerja mengekspos kekebalan tubuh dan infeksi untuk bekerja dan mengembangkan proteksi dari penyakit tersebut.
Mitos ketiga: negara yang telah bersih dari virus tidak membutuhkan vaksin
Sebuah pencapaian yang sangat diharapkan oleh setiap negara untuk akhirnya bersih dari virus COVID-19. Dengan begitu, ancaman kesehatan pun dianggap menghilang dan orang-orang akan kembali ke pola kehidupan normal seperti sedia kala.
Dalam waktu bersamaan, kebutuhkan untuk memperoleh injeksi vaksin pun tidak lagi dirasa penting oleh sebagian besar orang. Padahal, tahukah kamu? Negara yang telah dinyatakan 'bersih' dari suatu virus akan tetap membutuhkan injeksi vaksin, lho!
Yup, melansir penjelasan Dr. Nipunie Rajapakse kepada Science Insider, mobilitas dan pergerakan manusia dari satu negara ke negara lainnya akan tetap memberi peluang terhadap penyebaran virus. Pasalnya, banyak dari virus-virus mematikan di dunia yang sebenarnya tetap hidup di suatu tempat sehingga proteksi vaksin selalu dibutuhkan.
Mitos keempat: vaksin dapat menyebabkan autisme
Sebagaimana yang kamu ketahui, vaksin memberi proteksi jangka panjang yang sangat dibutuhkan untuk mencegah infeksi penyakit menular. Namun, pernyataan jangka panjang tersebut terkadang terdengar cukup menakutkan bagi sebagian orang.
Kata tersebut memberi kecemasan bahwa mungkin saja, efek samping negatif dari sebuah vaksin akan terasa di masa yang akan datang. Salah satunya adalah potensi autisme yang disebut-sebut dapat dialami seseorang pada waktu tertentu.
Namun, tentu saja, anggapan tersebut adalah mitos belaka. Bahkan, Dr. Maria Elena Bottazzi dan Dr. Nipunie Rajapakse menekankan bahwa dunia medis telah melakukan banyak penelitian yang melibatkan beragam samples dari berbagai negara. Hasil yang didapatkan membuktikan bahwa vaksin tidak memiliki hubungan dengan autisme.
Mitos kelima: memperoleh injeksi vaksin lebih dari sekali sangatlah berbahaya
Berbicara mengenai vaksin, kamu wajib memahami lebih dulu mengenai proses injeksi yang harus kamu peroleh. Tentu, sesuai aturan, injeksi vaksin harus dilakukan lebih dari sekali sesuai dengan porsi yang telah ditetapkan oleh badan kesehatan terkait.
Hal tersebut ditujukan agar fungsi proteksi tubuh terhadap penyakit menular dapat bekerja sebagaimana mestinya. Sayangnya, beberapa orang menganggap bahwa injeksi vaksin yang harus dilakukan lebih dari satu kali tersebut akan membahayakan kesehatan.
Melansir dari Science Insider, Dr. Nipunie Rajapakse menjelaskan bahwa hal tersebut adalah mitos. Pasalnya, imun dalam tubuh bersifat sangat kuat sehingga antigen dalam vaksin memiliki skala yang sangat kecil untuk membahayakan fungsinya.
Sekarang, kamu sudah mengetahui beberapa mitos mengenai vaksin langsung dari pakarnya. Jadi, kamu pun memahami kebenaran yang sesungguhnya.