Tahukah Bela, bahwa para perempuan akan memulai masa yang sulit ketika berusia 23 tahun dan setelahnya sampai ia menjalani ritual sakral sebuah pernikahan. Saat itu mulailah datang satu persatu undangan pernikahan dari teman sejawat bahkan junior semasa sekolah dan pertanyaan kapan menikah ikutan berbondong datang. Biasanya yang akan memulai pertanyaan ialah sang Ibu. Meski tidak ditanyakan langsung tapi lewat sindiran sudah disampaikan misalnya, “Itu tetangga kita si A akan menikah bulan depan, calonnya mapan.” Secara tidak langsung si Ibu bertanya pada anaknya kapan memiliki pasangan yang mapan lalu segera menikah.
Terkungkung Perspektif Masyarakat
Perspektif yang dimiliki masyarakat umumnya jika seorang perempuan sudah melewati usia 23 tahun maka sudah wajar untuk menikah atau paling tidak sudah menjalani hubungan yang mengarah kepada pernikahan. Menurut mereka, usia ini sudah matang untuk bisa berumah tangga. Di pedesaan usia 23 tahun malah mulai dikategorikan sudah menjelang rentan karena pendidikan banyak yang hanya selesai sampai sekolah menengah atas. Jika usia sudah melewati 25 tahun maka para ibu bahkan keluarga yang bukan intipun sibuk bertanya-tanya dan malah menyodorkan calon-calonnya.
Usia Bukan Jaminan
Usia menjadi ukuran untuk seseorang layak menikah atau tidak. Padahal bukan usia yang menjadi jaminan dari sebuah pernikahan tapi kesiapan lahir dan batin untuk memulai kehidupan baru. Nafkah lahir ialah kewajiban pasangan untuk saling menghidupi, misalnya berkontribusi dalam pengelolaan ekonomi rumah tangga. Adapun nafkah batin adalah cara pasangan suami-istri memperlakukan satu sama lain. Kata para ibu-ibu lambat menikah nanti susah punya anak. Pernyataan itu selanjutnya diikuti dengan menikah muda itu enak, anak besar kita masih muda. Lagi-lagi yang diperhitungkan ialah usia.
Kehilangan Esensi
Pertanyaan kapan menikah di abad 21 sekarang ini juga didukung dengan sebuah budaya popularitas. Pernikahan menjadi sesuatu yang dibesar-besarkan mulai dari acara hantaran, pertunangan, prawedding, hingga wedding yang diunggah sana-sini, dirayakan gembar-gembor. Hingga hakikat sebenarnya dari sebuah pernikahan itu tidak benar dipahami.
Kebebasan Memilih
Padahal, sebuah hasil riset terbaru tim peneliti dari Pittsburgh School of Medicine, seseorang belum menjadi dewasa sampai menginjak usia 25 tahun. Diusia 20-25 tahun seseorang masih berada pada masa remaja akhir yang masih memiliki sikap senang dengan kehura-huraan masing-masing, secara umum memiliki ego yang masih belum terkendali dengan baik. Maka tidak perlu untuk buru-buru menikah. Jangan berpikir bahwa seorang perempuan yang belum menikah diusia itu karena mereka tidak menginginkannya tapi justru mereka yang memilih menikah di atas usia 25 tahun mengerti dan memahami bagaimana besarnya tanggung jawab yang harus dibina dalam sebuah pernikahan nantinya.
Bagi kamu yang belum juga menikah, tenang saja. Persiapkan saja dirimu sebaik-baiknya ya Bela. Karena perempuan juga memiliki kebebasan untuk memilih kapan ia memutuskan untuk menikah tanpa harus ditekankan oleh usia, berikanlah kemerdekaan atas diri para perempuan.
photo credit: Whiskey Tango Foxtrot/Paramount Pictures/www.imdb.com