Tutup
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
unfortunately

Merasakan Indahnya Jazz Paling Romantis di Jazz Gunung Bromo 2024

Pengalaman seru menonton jazz di atas ketinggian 2000 mdpl

Windari Subangkit

Jumat, 19 Juli 2024, sekitar pukul 15.00 WIB, Amfiteater Jiwa Jawa Bromo, Probolinggo, Jawa Timur mulai dipadati oleh sejumlah orang yang antusias ingin menonton pertunjukkan musik Jazz Gunung Bromo di hari pertamanya. Langit terlihat begitu cerah, seolah mendukung terlaksananya pertunjukkan Jazz Gunung Series kali ini berjalan lancar tanpa terkendala cuaca. 

Sama seperti penonton lainnya, saya juga begitu antusias karena ini adalah kali pertama saya menikmati konser di kaki gunung yang sejuk sehingga memberikan vibes yang berbeda. Udara yang dingin dan bersih, suasana yang syahdu, serta tiupan angin yang segar menyelimuti pertunjukkan kala itu. 

1. Rimaraay dan Syifa & Friends menjadi pembuka di hari pertama

Dok. Jazz Gunung

Tepat pada pukul 15.35 WIB, pertunjukkan dimulai. Jama’ah Al-Jazziyah (sebutan untuk para penonton Jazz Gunung) begitu tak sabar menikmati pertunjukkan musik dari musisi-musisi kesayangan mereka. 

Persis ketika sore sedang cerah-cerahnya, Rimaraay beserta Syifa & Friends membuka gelaran Jazz Gunung Bromo 2024 dengan memikat. Di tengah penampilannya, Rimaraay mengaku sangat gugup karena Jazz Gunung Bromo 2024 menjadi panggung pertamanya untuk tampil di hadapan banyak orang. 

Rimaraay membawakan sejumlah lagu dengan suara merdunya serta diiringi petikan gitar yang syahdu. Tak sendirian, Syifa & Friends juga tampil mengiringi penampilan Rimaraay kala itu. Petikan syahdu gitar Rimaraay, ditambah ketukan melodius Syifa, membuat suasana sore itu terasa begitu indah. 

2. Keubitbit, grup vokal Aceh yang berhasil 'memanaskan' suasana

Dok. Jazz Gunung

Sore menuju malam, kabut mulai meninggi menutup latar pegunungan. Pertunjukkan dilanjutkan oleh penampilan dari Keubitbit. Grup musik etnik asal Aceh ini berhasil ‘memanaskan’ suasana yang mulai dingin, dengan iringan beat dan rapalan vokal khas Aceh dengan beat yang cepat. 

Selama kurang lebih 60 menit, Keubitbit membawakan sembilan lagu. Musik etnik yang kuat, groovy, dan enerjik lantas membuat badan lepas bergerak tanpa dipaksa. Bahkan, Butet Kartaredjasa sampai memberikan pujian pada penampilan mereka.

"Sampai subuh!" teriak Butet dari kursi penonton mengapresiasi grup ini.

3. Berdansa dan bernyanyi bersama Elfa’s Singers

Dok. Jazz Gunung

Konser kemudian dilanjutkan dengan penampilan dari grup vokal legendaris, Elfa’s Singers. Agus Wisman, Yana Julio, Ucie Nurul, dan Lita Zen masih memberikan karismanya di atas panggung tertinggi dari permukaan laut selama mereka tampil. Lagu-lagu seperti “Route 66”, “Juwita Malam”, “Masa Kecilku”, hingga “Earth Wind & Fire Medley” menggema dengan riang dan syahdu.

Interaksi yang intens bersama penonton dengan iringan musik dari Yongky Vincent, memecah dinginnya Bromo malam itu yang mulai menusuk tulang. Penonton pun tampak terus ikut berdansa dan bernyanyi bersama. Dua belas lagu tak kurang mereka persembahkan. Hingga akhirnya, lagu “Pesta” menutup penampilan Elfa’s Singers di hari pertama Jazz Gunung Bromo 2024.

4. Kolaborasi brass, musik keroncong, dan vokal 'ambyar' menjadi penutup konser hari pertama

Dok. Jazz Gunung

Malam seolah begitu panjang malam itu. Sampai-sampai penampilan terakhir pun tak terasa. Ring of Fire Project bersama Ndaru Ndarboy dan Brasszigur Brassband memberikan suguhan lagu-lagu yang asik, seperti “Night in Tunisia”, “Batari”, “Come Together dan Kujemu (medley)”, “Mendung Tanpa Udan”, “Wong Sepele”, “Anak Lanang”, dan “Koyo Jogja Istimewa” sebagai penutup perhelatan Jazz Gunung Bromo 2024. 

Lini brass section yang berpadu dengan keroncong dan alunan vokal ‘ambyar’ dari Ndaru menghasilkan pengalaman pertunjukkan yang tidak biasa. Eksplorasi musik ini menjadi esensi dari musik jazz yang sangat bebas dan luwes. 

Penonton pun menjadikan ajang karaoke bersama sepanjang lagu. Penampilan mereka menjadi penutup konser yang apik. Emosi yang melandai usai dihajar rentetan beat dari penampil sebelumnya.

5. Musikalisasi Kelapa Muda yang tuai decak kagum penonton

Dok. Jazz Gunung

Membuka perhelatan Jazz Gunung Bromo 2024 hari kedua, trio bersaudara Kelapa Muda, yakni Samuel, Josafat, dan Abraham, tampil penuh enerjik. Selama 40 menit, grup band asal Lampung ini membawakan set list “Kalahari Noon”, “Boundaries”, “Paradox”, “Before The Sunrise”, dan “Brazilian Love Affair”. 

Walaupun berbalut kabut dengan cuaca yang lebih dingin dari hari pertama, Kelapa Muda tampil dengan prima. Musikalisasi tiga bersaudara ini patut diperhitungkan, sehingga tak heran jika penampilan mereka menuai decak kagum dari para penonton. 

6. Nostalgia bareng Vina Panduwinata dan F.I.[e].R.Y

Dok. Jazz Gunung

Konser kemudian dilanjutkan dengan sesi nostalgia bersama sang Diva Indonesia, Vina Panduwinata. Tampil bersama F.I.[e].R.Y, penyanyi yang akrab disapa Mama Ina ini membuat song list yang baik untuk memecah dinginnya udara jelang break sesi satu pertunjukkan Jazz Gunung Bromo 2024. 

Di tangan Rio Ricardo, music director Mama Ina, semua komposisi yang dibawakan jelas terarah dinamikanya. Tampil sangat energik tanpa kostum ‘udara dingin’, Mama Ina terlihat nyaman dalam balutan rok pendek kulit. 

Setidaknya ada sembilan lagu yang dibawakan oleh Mama Ina bersama F.I.[e].R.Y malam itu, termasuk “Di Dadaku Ada Kamu”, “Logika”, “Biru”, “Dia”, dan “Cinta”. Sebuah tembang cover version, “Seperti Mati Lampu”, juga dibawakan dengan mengajak sukarelawan dari penonton untuk berduet bersamanya. Setelah itu, “Surat Cinta” menggema dan ditutup oleh “Aku Makin Cinta”. Sebuah pengalaman menarik di Jazz Gunung Bromo 2024 bagi saya karena dapat menyaksikan sang legenda hidup, Vina Panduwinata!

7. Suguhan musik yang tak biasa dari Kuntari

Dok. Jazz Gunung

Malam masih panjang dan konser masih terus berlanjut, pertunjukkan kemudian dilanjutkan dengan penampilan seru dari Kuntari. Sumbangsih reverb dari lembah belakang panggung membuat penampilan Kuntari terasa lebih magis.

Bulan purnama yang perlahan terbuka dari tutupan awan juga ikut mengawal suguhan Tesla Manaf dan Rio Abror kepada para Jama’ah Al-Jazziyah. Rapalan beat dan ritmis yang konsisten, penuh kekuatan, dan kencang, seakan menggantikan lolongan serigala dengan trumpet di bawah purnama. 

Banyak yang merasa asing dengan komposisi mereka. Ekspresi penonton tak bisa bohong. Mereka agaknya terpana dan bingung kapan harus tepuk tangan. Namun, mereka serius mengamati. Hingga akhirnya tepuk tangan mengapresiasi di sela-sela komposisi yang melunak.

8. Menikmati trio jazz tradisional bersama Noé Clerc Trio

Dok. Jazz Gunung

Usai diberikan suguhan musik yang tidak biasa dari Kuntari, kini giliran Noé Clerc Trio. Mereka adalah Élie Martin-Charriere (drum), Clément Daldosso (double bass), dan Noé Clerc (akordeon) yang tampil di panggung Amfiteater Jiwa Jawa Resorts Bromo.

Permainan akordeon Noé Clerc memberikan nuansa paling berbeda pada hari kedua Jazz Gunung Bromo 2024. Delapan lagu rampung disuguhkan, di antaranya “Premières pluies”, “Blue Mountains”, “⁠la mysterieuse”, “Canson”, “Obsession”, “Arapkir Bar”, “Blues des Cigales”, dan ⁠”Hobos”.

9. Malam yang panjang ditutup oleh GIGI Jazz Project

Dok. Jazz Gunung

Malam semakin larut dan suhu udara semakin dingin. Sampailah di penghujung acara, waktunya GIGI Jazz Project untuk tampil. Grup band yang terdiri dari Armand Maulana, Dewa Budjana, Thomas, dan Gusti Hendy ini hadir di atas panggung membawakan lagu-lagu populer milik mereka. 

Pada beberapa lagu, mereka mempersiapkan musiknya secara khusus. Melodi-melodi bagian Budjana diisi oleh Rio Ricardo dengan piano untuk memperoleh nuansa jazz di lagu “Janji” dan “Perihal Cinta”. 

Sementara, lagu “Jomblo” dibuat lebih mengayun ritmisnya dengan dibumbui oleh brass section. Beberapa bagian dibuat pola-pola tertentu, ada yang sing along, hingga outro khas jazz. Sambil sesekali menyapa penonton, Armand Maulana tampil begitu enerjik dan berhasil membawa suasana, meski mengakui kalau dirinya kedinginan. 

"Gimana, bisa nge-jazz kan gue? Makasih ya udah dianggap jazz," seloroh suami Dewi Gita itu. 

Pada lagu “11 Januari”, piano, saksofon, dan petikan gitar Budjana begitu menyatu tanpa rasa berlebihan. Rasa romantisnya makin kuat, apalagi bersama suasana malam itu di Bromo yang cerah dengan bulan purnama. 

Hingga sampai di lagu penutup, “Ya Ya Ya”, komposisi baru terasa berubah secara masif  dan sistemik. Mereka berhasil membuat penonton ikut bernyanyi dan bergoyang, menciptakan kenangan yang tak terlupakan soal bagaimana serunya menikmati musik jazz di bawah kaki gunung Bromo. Jama'ah Al-Jazziyah tetap bertahan. Tak ada yang melipir pulang hingga GIGI Jazz Project mengakhiri penampilannya.

Jazz Gunung Bromo 2024 ini benar-benar memberikan pengalaman baru bagi saya. Tak pernah terpikirkan di benak saya, musik jazz bisa terasa begitu syahdu nan romantis ketika dibawakan di alam terbuka, ditambah dengan sejuknya pegunungan. Tak heran jika banyak yang membawa pasangan, anak, dan keluarga mereka untuk menikmati pertunjukkan musik jazz ini secara langsung.

Kabut yang terkadang turun di tengah-tengah penampilan, suasana magis yang tercipta dari peralihan langit sore menuju malam, hingga taburan bintang yang menjadi atap pertunjukkan dengan suhu mencapai 14 derajat celcius, menjadikan malam itu momen indah yang tak terlupakan bagi saya dan juga penonton Jazz Gunung lainnya.

IDN Channels

Latest from Inspiration