Tutup
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
unfortunately

Susahnya Jadi Perempuan!

Masih terkungkung stereotip

Rara Peni Asih

Bukan, tulisan ini bukanlah sebuah penyesalan aku dilahirkan sebagai perempuan. Bukan juga menghardik Tuhan yang Maha Esa yang menciptakan Hawa. Tapi aku hanya ingin mewakili suara perempuan dan bagaimana beban yang kita tanggung sebagai perempuan di Indonesia. Setidaknya biarkan sahabat perempuanmu, pacarmu, lelakimu, atau sahabat lelakimu menyadari kalau di zaman modern ini, kami masih saja belum selamat dari 'pelabelan' ini.

1. Perawan Tua

 
Sebutan ini tentu saja akan menempel bagi semua perempuan Indonesia yang usianya lebih dari 30-an yang belum juga menikah. Terlebih lagi bagi perempuan yang memiliki karier sukses namun belum juga memiliki pasangan. "Terlalu sibuk sih," atau "Cowok pasti segan deketin dia karena jabatannya juga sudah tinggi." Padahal belum tentu semua anggapan itu benar, bagaimana kalau itu memang pilihan hidupnya? Tentu perlakuan ini berbeda kalau dialami seorang pria yang belum juga menikah meski usianya sudah di atas 35 tahun. Kehidupan mereka bebas tanpa ada julukan yang menempel. "Cowok masih wajar di usia segitu belum menikah." Paling-paling kalimat itu yang sering terdengar kan? Belum lagi tolak ukur kesuksesan perempuan itu menikah dan bisa hamil.

2. Dianggap Terlalu Agresif Kalau Menyatakan Cinta Lebih Duluan

 
Apa salahnya jika perempuan yang mengatakan cinta kepada pria yang ia puja? Bagaimana kalau si pria terlalu lama mendekati sampai-sampai memang kami yang harus lebih dulu mengungkapkan cinta? Memang nggak salah, tapi pasti masih saja ada kan yang beranggapan kalau kami makhluk yang agresif?

3. Selalu Jadi Seorang yang Harus Mengerti

 
Sahabatku yang baru menikah lima bulan menceritakan pengalamannya setelah menjadi istri pria pujaannya. "Mostly pengantin baru itu nemuin sifat asli pasangannya dan beda 180 derajat saat pacaran. Tapi kayaknya berdasarkan pengamatan, pengalaman, saran dari kanan dan kiri, kayaknya memang perempuan harus toleran." Kesimpulan pengalaman sahabatku ini susahnya jadi perempuan itu ya harus jadi pihak yang selalu pengertian. Beruntunglah bagi perempuan yang punya pasangan tak hanya ingin dimengerti, tapi juga bisa pengertian kepada istri.

5. "Pantesan, ternyata cewek."

 
Ucapan di atas biasanya muncul ketika melihat pengendara motor atau mobil yang membawa kendaraannya pelan dan membingungkan bagi pengendara di belakangnya. Memang sih, nyatanya kita sering melihat seorang ibu-ibu membelokkan motornya ke kiri namun sein-nya ke kanan. Apalagi kalau perempuan yang masih muda, habislah kami diceletuki dan digeneralisasikan kalau perempuan kurang mahir membawa kendaraan dan kurang patuh aturan rambu lalu lintas. Jujur saja, sering juga kok aku melihat para pria pengendara motor yang lampu sein-nya ke kiri tapi lurus saja terus, padahal posisinya ada di kanan jalan, dan nggak belok-belok. See? perempuan dan pria sama aja, sama-sama pernah buat kesalahan.

6. Pakai Baju Apapun, Seringkali Jadi Korban Pelecehan Seksual

 
Susahnya jadi perempuan itu ketika sudah keluar rumah, tapi kami harus membiasakan diri mendengar siulan hingga tatapan penuh birahi di jalanan. Belum lagi kalau seorang perempuan jadi korban pelecehan seksual, beberapa pria justru menyalahkan pakaian yang dikenakan si korban. “Salah sendiri pakai baju seksi,” atau “mancing sih.” Padahal kami berhak menggunakan pakaian apapun, baik celana panjang hingga rok mini sekalipun kami seharusnya mendapatkan hak bebas dari pelecehan seksual. Jujur saja, penulis yang biasanya berpenampilan cuek, hanya pakai jeans dan kaos oblong juga pernah diperlakukan semena-mena di dalam kereta oleh pria bermata cabul.

7. Sudah Nggak Perawan Lagi

 
Nggak enaknya jadi perempuan itu, kalau sudah tak perawan kita dipusingkan dengan momok yang satu ini (belum lagi ada mitos kalau kita bisa melihat cewek yang sudah tak perawan dari gaya jalannya.) Memang justru kita harus menjaga kehormatan kita ini, tapi bagaimana dengan perempuan lain yang goyah dengan pria yang mereka sayangi. Risiko yang akan timbul adalah kalau hubungannya tidak berakhir dengan pria kesayangannya, mau tak mau si hawa harus mengakui "kekurangannya," beruntung baginya yang menemukan pria yang menerima si perempuan apa adanya. Apalagi kalau si pria juga jujur kalau dia tidak lagi perjaka, mengingat mereka tak ada bekas, satu-satunya cara untuk mengetahuinya ya dari kejujurannya. Kalau tidak jujur? yah ternyata perempuan jadi jauh lebih berani mengakui rahasia yang sudah kami tutupi dan bertanggung jawab atas tubuh kami sendiri.
 

"The thing women must to do rise to power is to redefine their feminity. Once, power was a masculine attribute. In fact, power has no sex," Katharine Graham, Publisher Washington Post

BACA JUGA: Pantaskah Kita Mengatakan "Percuma Berhijab Kalau Dia Masih..."?

TOPIC

IDN Channels

Latest from Inspiration