Bagaimana rasanya menjadi seorang ilmuwan fisika yang dipuja sebagai sosok pengubah sejarah dengan membuat bom pemusnah massal?
Diperlukan waktu tiga tahun, 4000 pekerja dan US$2 juta untuk melakukan penelitian dan tes bom, pembangunan kota kecil di Los Alamos, New Mexico, hingga akhirnya pembuatan bom atom.
“Dunia akan mengingat hari ini,“ kata Oppenheimer. Dia benar sekali.
“…dan aku yakin Jepang tidak akan menyukainya,” tambahnya lagi.
Tapi kemudian begitu juga dirinya. Oppie (panggilan akrabnya) baru menyadari efek dari bom yang ia dan timnya ciptakan setelah dipakai untuk meluluhlantakkan dua buah kota di Jepang.
Ketika pujian bergema di dalam ruangan, namun halusinasi teriakan korban bom justru memekakkan telinganya. Tak hanya Oppie, rekan ilmuwannya juga ada yang menangis dan ada yang muntah—justru ketika riuh tepuk tangan masih bersautan merayakan kesuksesan pemerintah Amerika meratakan Hiroshima dan Nagasaki.
Visi sinematik Christopher Nolan
Christopher Nolan sebagai sutradara, berhasil menyajikan gambaran tersebut dalam film Oppenheimer. Sebagai penonton, saya merasa kisah sejarah tersebut sangat menantang dari sisi moral. Meskipun film ini berdurasi 3 jam, namun Nolan memaparkannya seperti saya sedang duduk mendengar kakek bercerita mengenai penggalan sejarah masa perang. Dengan pace cepat, waktu yang berlalu pun tak terasa.
Bagian yang ditunggu tentu saja adegan tes bom atom yang tidak menggunakan CGI, alias Nolan betul-betul melakukan ledakan tersebut. Selain pengambilan gambar format IMAX 70mm, efek 3D tanpa kacamata dan suara menggelegar yang turut menggetarkan kursi penonton, menjadi alasan Nolan ingin penikmat filmnya menyaksikan Oppenheimer di studio bioskop IMAX.
Seperti yang Nolan katakan pada John Mecklin dari thebulletin.org, “Tujuan saya membuat film—saya tidak membuat film untuk mengirim pesan, saya membuatnya karena ceritanya menarik. Tetapi bagian dari penceritaan itu adalah kembali ke dasar tentang bom, menghapus pernyataan kebijakan, filosofi, situasi geopolitik dan hanya melihat kekuatan mentah yang akan dilepaskan dan apa artinya bagi orang-orang yang terlibat dan berarti bagi kita semua.”
Dari awal film, saya bisa merasakan antusiasme besar dari seorang Julius Robert Oppenheimer (Cillian Murphy) terhadap ilmu fisika kuantum. Gairah tersebut akhirnya membawa dirinya dipercaya mengepalai The Manhattan Project—penelitian dan pengembangan yang menciptakan senjata nuklir pertama.
Tentu saja ketika menonton karya sutradara di balik film Dunkirk dan Tenet ini, kita menantikan deretan aktor andal yang tak mungkin mengatakan “tidak” pada tawaran Nolan.
Sebut saja Matt Damon yang berperan sebagai Leslie Groves, pernah menyebutkan bahwa dirinya berniat cuti dari akting, namun akan kembali berakting jika yang menawarkan adalah Nolan. And he did.
Lalu kembalinya Josh Hartnett ke layar lebar lewat lakonnya sebagai Ernest Lawrence. Hingga nama-nama besar seperti Robert Downey Jr., Florence Pugh, Emily Blunt, Rami Malek hingga Gary Oldman.
Tidak diragukan lagi, jika penggemar Nolan memiliki ekspektasi tinggi terhadap Oppenheimer. Mulai dari perhatiannya terhadap detail; misalnya suara derap sepatu dan laju kereta, seperti menandakan isi otak Oppenheimer yang membuncah atau tak sabar untuk segera merealisasikan teori-teorinya. Atau bagaimana ketika penonton mengetahui passion seorang ilmuwan bisa menjadi pisau bermata dua ketika kepentingan politik beradu dengan menyelamatkan banyak negara dari perang dunia—namun dengan pengorbanan yang sangat besar.
Inilah yang menantang moral penonton untuk memihak atau bersikap netral.
Tentu Nolan menjawabnya dengan alur yang kembali membuat penonton berpikir keras. Salah satunya; apa teori di balik perbedaan adegan hitam putih dengan adegan berwarna?
Well, setidaknya kita punya pembahasan baru setelah teori totem Inception, bukan?