Drama Korea adalah produk budaya yang diminati hingga skala global. Dalam waktu 48 jam setelah sebuah episode dari sebuah drama ditayangkan, episode dengan teks bahasa Inggris sudah disiarkan secara daring. Dalam tiga hingga empat hari, konten yang sama tersedia dalam sekitar 20 bahasa.
Melansir dari reelrundwon.com, bahkan Pemerintah Korea Selatan menginvestasikan total 380 miliar won, sebagai uang awal untuk industri animasi dan karakter karya lokal. Uang tersebut juga diinvestasikan dengan cerdas, karena selain memberikan dukungan kepada studio baru, juga digunakan untuk memberikan subsidi kepada studio yang sudah mapan, berdasarkan kinerja proyek mereka sebelumnya.
Pemerintah Korea Selatan tahu, industri hiburan mereka tidak hanya berhasil menjadi produk budaya dan sumber pendapatan, tetapi juga berhasil mendongkrak aspek ekonomi domestik lainnya. Sebut saja travel, makanan, atau souvenir. Cerdas, bukan?
Namun, gemilangnya industri hiburan Korea tidak mengusik saya sampai mau menonton serial Korea. Kala itu, saya masih merasa serial Korea terlalu mendayu-dayu dengan cerita a la sinetron yang tak berkesudahan. Ini berbicara mengenai serial, ya. Bukan sajian film yang sudah beberapa judul saya tonton.
Tapi pesona hallyu (Korean wave) memang tak dapat dibendung. Justru unggahan teman-teman sendiri yang sedang menonton serial Korea, yang membuat saya tergerak untuk meminta rekomendasi tontonan serial, hingga menekan tombol play dan mulai menonton serial Korea pertama saya, Kingdom.
Artinya? Berkat kekuatan word of mouth, Kingdom membuka mata saya akan kemungkinan serial menarik tanpa romantisasi sebuah hubungan percintaan yang menye-menye.
Menyusuri keragaman drama Korea rilisan lama dan terbaru
Dari serial zombie tersebut, saya mulai menggali serial lain selagi menunggu Kingdom musim ketiga. Dari mulai genre action, thriller, fantasi sampai drama kehidupan, saya cicipi. Serial Sweet Home, Vagabond, Vincenzo, Mouse, Taxi Driver, Stranger, The Uncanny Counter, The Devil Judge hingga membuka diri terhadap romansa Lovestruck in the City, Move to Heaven yang penuh linangan air mata, hingga paling baru, D.P., saya lahap dalam waktu dua bulan masa PPKM.
5 hal yang membuat KDrama bisa menjadi adiksi
Harus saya akui, seminggu tanpa menonton drama Korea, rasanya ada yang kurang dalam aktivitas harian saya. Kenapa tiba-tiba ada adiksi ini? Saya mencoba menelaahnya.
1. Eye Candy!
Jujur saja, bintang drama tidak hanya menarik secara visual, tetapi totalitas akting tidak dinomorduakan. Ketika ada rasa pesimis yang menganggap sebuah serial hanya mengandalkan visual sang aktor, ternyata dengan bergulirnya tiap episode, para aktor yang terlibat tidak main-main dengan lakon yang diberikan.
Contohnya saja Lee Je-hoon dalam Taxi Driver dan Move to Heaven yang bisa menjadi sosok sangat berbeda. Belum lagi peran Lee Seung‑gi di serial Mouse yang betul-betul menggila dengan plot twist pada karakter Jung Ba-reum, atau dinginnya karakter Hwang Si-mok yang dengan sempurna diperankan oleh Cho Seung-woo dalam serial crime, Stranger.
2. Food galore!
Sulit untuk menonton KDrama dan tidak mengidam ramen! Hampir setiap drama menampilkan hidangan yang tampak lezat seperti telur gulung, sup hangat, mi, hingga steak panggang. Tahu nggak, gara-gara menonton KDrama, saya jadi beli sumpit baru dan kini rutin makan menggunakan sumpit, meskipun makanannya adalah nasi!
3. Format episode dan musim yang pendek
Rata-rata panjang episode drama Korea adalah 16 episode saja. Meskipun buat saya masih terlalu panjang, namun di beberapa serial, format ini pas dalam merangkum, menyimpulkan dan memberi penutup cerita. Sehingga, saya sebagai penonton merasa berinvestasi cukup secara emosi dan waktu.
4. Daya tarik budaya
Melihat budaya baru di luar Hollywood, menarik perhatian saya. Contohnya; bahasa, cara pengucapan, bagaimana sopan santun saat makan dan minum, hingga norma-norma sosial di Korea Selatan. Tentu saja tidak ketinggalan, lokasi yang membuat saya penasaran ingin berkunjung ke sana, hingga legenda makhluk mitologi Korea.
5. Asian rules!
Sebagai orang Asia, sedikit banyak ada kultur yang serupa, sehingga saya merasa apa yang diceritakan dan ditampilkan dalam drama Korea, cukup relate dengan budaya Asia pada umumnya. Misalnya; sama-sama makan nasi, tidak memakai sepatu di dalam rumah, sampai cara-cara hormat kepada orang yang lebih tua.
Hiburan di masa pandemi
Selain kelima poin di atas, sebagian besar drama Korea yang saya tonton memiliki plot dan alur cerita yang dieksekusi dengan baik dan sangat menghibur—meskipun terkadang ide cerita tak se”liar” film atau drama Jepang. Sehingga, membuat saya tergerak untuk mencari lagi drama Korea menarik lainnya di daftar tontonan streaming berbayar.
Lalu apakah adiksi ini sehat buat saya? Jawabannya, mengetahui batasan diri. Saya termasuk orang yang lemah terhadap kisah cinta dan kisah kehilangan sosok yang disayang.
Tanpa bermaksud membawa-bawa zodiak, nih, namun predikat gampang baper dan sensitif, konon melekat begitu pekat dengan kepribadian Pisces. Jadi, sebisa mungkin saya menghindari drama yang berkutat pada alur romantis.
Kalau gara-gara drama Korea bisa baper berkepanjangan, malah berabe buat kesehatan mental, bukan? Kalau kamu, baperan sama drama Korea, nggak, nih?