Pandemi membawa saya pada sebuah gaya hidup baru. Tanpa saya sadari, gaya hidup itu bernama slow living. Sebuah gaya hidup yang berupaya menikmati momen saat itu, tanpa sibuk ‘mengejarnya’ demi label kesuksesan yang dinilai dari tingginya jumlah penghasilan atau jabatan.
Slow living membuat saya lebih memerhatikan tubuh saya dan kebutuhannya. Suatu hari saya begitu getol berolah raga, namun di hari lain ada kalanya saya hanya ingin menikmati sinar matahari dan angin yang berhembus. Hidup dengan kecepatan yang lebih lambat berarti memasang batas-batas yang belum pernah ada sebelumnya. Oke, mari mulai dari awal untuk memahami apa itu slow living.
Asal mula slow living
Konsep slow living sebenarnya tumbuh dari slow food movement yang bermula pada tahun 1980-an di Roma. Seiring waktu, gerakan tersebut telah berkembang dan akronim SLOW telah dibuat untuk mewakili pesan-pesan berbeda yang ingin diatasi oleh gerakan slow food:
S: Sustainable
L: Local
O: Organic
W: Whole
Melansir dari theglitterguide.com, Samantha Welker menjelaskan bahwa meskipun akronim ini awalnya dimaksudkan untuk membantu menjelaskan prinsip-prinsip gerakan makanan lambat, akronim ini juga berkembang seiring waktu dan mulai mencakup seluruh gerakan gaya hidup lambat atau slow living juga. Sama seperti makanan yang kita makan, slow living melibatkan menjalani hidup dengan lebih lambat, sehingga kamu dapat menyerap dan sepenuhnya berinvestasi dengan hal-hal yang sesungguhnya membuat kamu bahagia.
Lalu bagaimana mengubah konseptualisasi waktu dalam kehidupan sehari-hari, apalagi bagi kamu yang tinggal di perkotaan dengan tekanan hustle culture?
Memahami apa itu slow living
Carl Honore, penulis In Praise of Slowness, yang dianggap banyak orang sebagai manifesto dari gerakan lambat, menjelaskannya: “Ini adalah revolusi budaya melawan gagasan bahwa lebih cepat selalu lebih baik. Filosofi lambat bukanlah tentang melakukan segala sesuatu dengan kecepatan siput. Ini tentang berusaha melakukan segalanya dengan kecepatan yang tepat. Menikmati jam dan menit daripada hanya menghitungnya. Melakukan segalanya dengan sebaik mungkin, bukannya secepat mungkin. Ini tentang kualitas daripada kuantitas dalam segala hal, mulai dari pekerjaan hingga makanan hingga bagaimana menjalani parenting."
Dalam buku Wendy Parkins yang berjudul Out of Time: Fast Subjects and Slow Living, Wendy menerangkan bahwa slow living melibatkan negosiasi sadar, dari berbagai hal duniawi yang membentuk kehidupan kita sehari-hari. Hal ini berasal dari komitmen untuk mengisi waktu dengan lebih penuh perhatian.
Dengan mengadopsi gaya hidup slow living, subjek berusaha menghasilkan praktik alternatif kerja dan waktu luang, keluarga hingga bersosialisasi.
Slow living menolak keyakinan bahwa lebih cepat lebih baik. Hidup lambat juga realistis, karena kita semua tahu ada kalanya kita harus bertindak cepat. Efisiensi ada pada tempatnya, tetapi terlalu sering melibatkan efisiensi dan kesibukan, malah bisa merampas tujuan dan kegembiraan hidup kita.
Dengan kehidupan yang lambat, kamu memiliki kesempatan untuk mengevaluasi apa yang penting, membuat keputusan secara sadar dan lebih matang alih-alih karena kebiasaan, serta benar-benar mengalami dan menikmati saat kita berada.
Realisasi slow living
“This kind of life has always been my childhood dream,” tulis Winne Yudo, seorang pegawai asuransi di Chicago, Illinois. Teman saya satu ini adalah perempuan yang juga menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga dengan dua anak.
“Aku tumbuh di lingkungan yang destruktif menurutku. Semuanya serba cepat. Energi negatif dari orang-orang sekitar saat itu cukup membuat aku lelah. Ketika aku mulai mencoba untuk jalani gaya hidup ini, semuanya terasa lebih tenang. Bersosialisasi seperlunya, sehingga waktuku bisa seimbang untuk keluarga dan pekerjaan yang bisa mobile. Memang adaptasinya tidak mudah karena sampai ada yang bilang aku kuper, loner, pembokat lah. Tapi karena aku bukan seorang people pleaser membuat aku nggak punya unnecessary clash energy. Lebih damai lah, hidupnya,” ungkapnya seperti penuh kepuasan.
Mempraktekkan slow living untuk pemula:
Bukan perkara mudah untuk mulai mempraktekkan gaya hidup slow living. Namun, kamu bisa memulainya dnegan menyadari beberapa hal yang sebenarnya sudah menjadi kebiasaan kamu, lalu meneruskannya dengan menambahkan beberapa unsur. Misalnya:
- Kurangi menggunakan gadget sesering mungkin
- Bangun di pagi hari dan menyisihkan waktu untuk menikmati alam, seperti berjemur di bawah sinar matahari pagi, olah raga singkat, hingga menikmati sarapan di luar jam kerja
- Mempraktekkan mindfulness
- Buat rutinitas harian menjadi sebuah ritual
- Gunakan waktu kosong untuk membuat sesuatu ketimbang hanya menonton televisi atau bermain media sosial
- Memasak makanan sendiri hingga membeli bahan makanan dari UMKM atau petani lokal
- Menyisihkan waktu untuk keluarga maupun diri sendiri setiap harinya
- Eksplorasi hal baru dengan waktu yang kamu tentukan sendiri
Saat ini pun saya masih terus berusaha memahami gaya hidup ini, yang perlahan membuat saya bisa lebih beradaptasi dengan situasi pandemi yang serba terbatas. Apakah kamu mau mencobanya juga, Bela?