Ada begitu banyak wadah seni di berbagai kota di Indonesia, dan kini, Labyrinth menjadi salah satunya. Berlokasi di Nuanu, Tabanan, Bali, Labyrinth sebenarnya berdiri sejak tahun 2021. Namun, pada Kamis (21/11/2024) lalu, The Dome dan Art Centre diperkenalkan kepada publik sebagai bagian dari pusat hiburan imersif pertama di Bali yang menggabungkan seni, budaya, dan teknologi dalam suasana yang berkelanjutan dan inovatif.
Labyrinth Art Centre
Labyrinth Art Centre berdiri di atas lahan seluas 3.000 m² yang akan menjadi tempat bagi
Contemporary Art Gallery and the Museum of Light. Galeri ini dibuka dengan menyajikan pameran perdana bertajuk “The Paths of Silence” yang merayakan kekayaan warisan seni Indonesia sambil merangkul ekspresi kreatif modern dari sudut pandang seniman Indonesia dan Eropa.
Museum of Light sendiri akan dibuka pada pertengahan 2025, yang siap menyuguhkan eksplorasi dalam seni digital dan visual.
The Dome yang imersif
Pada sore harinya sekitar pukul 17.00 WITA, Labyrinth meresmikan The Dome, sebuah karya arsitektur yang terinspirasi dari bunga teratai—simbol kesucian dan kebangkitan spiritual. Di dalamnya, terdapat layar kubah 360 derajat seluas 600 m² yang disertai teknologi suara mutakhir.
The Dome dirancang sebagai ruang transformatif untuk berbagai acara imersif, mulai
dari pertunjukan budaya, konser, hingga konferensi. Tempat ini dapat menampung hingga 500 tamu yang siap menjadi tempat utama untuk hiburan publik dan pertemuan korporat.
Kehadiran Yang Mulia Shyalpa Tenzin Rinpoche
Jauh-jauh datang dari Amerika, Yang Mulia Shyalpa Tenzin Rinpoche juga ikut hadir dalam pembukaan The Dome dan Art Centre. Ia adalah seorang vajra master Buddha Tibet yang terkemuka dan dilatih untuk menjadi seorang Lama. Selain memberikan berkat untuk banyak orang, kehadirannya di sini juga untuk mengisi dua sesi spiritual eksklusif di The
Dome pada hari Jumat (22/11/2024).
Rinpoche memimpin peserta dalam praktik gerakan kuno dan memberikan ajaran tentang jalan pembebasan Mantrayana, yang menggarisbawahi pentingnya kedamaian batin sebagai kunci harmoni dunia. Ajaran ini juga sangat sejalan dengan semangat Labyrinth untuk mendorong perdamaian dan kreativitas.
Pendapat Jay Subyakto mengenai Labyrinth
Berbicara mengenai teknologi yang digunakan di dalam The Dome, menurut Jay Subyakto, sejauh ini teknologi tertinggi adalah milik Sphere di Las Vegas yang menggunakan LED, sedangkan di The Dome milik Labyrinth menggunakan proyektor. Jadi memang hal ini bukan sesuatu yang baru namun tetap menjadi yang pertama di Bali dan merupakan langkah yang baik bagi seni modern di Bali. Namun Jay menambahkan:
"Hati-hati sekali jika kita mau menggabungkan teknologi dengan tradisi," kata Jay. "Kombinasi kontemporerisasi itu paling susah memang, tapi mustinya itu kesenian Bali jangan dibilang tradisi, karena memang itu kesenian Bali yang sampai kapanpun tidak akan lekang waktu dan terlihat kuno. Jadi hati-hati kalau mau ada penambahan (modernisasi)," lanjutnya menanggapi tarian Bali Mystic yang menjadi bagian dari sajian acara pembukaan.
Sedangkan untuk kurasi seni yang terdapat di Art Centre, ia berharap ke depannya bisa memiliki kurator yang lebih baik lagi—seperti contohnya Heri Pemad—agar tidak kalah dari wadah seni lainnya yang ada di Indonesia.
Labyrinth Collective
Adalah Labyrinth Collective yang berada di balik berdirinya Labyrinth dengan tujuan sebagai ruang di mana seni, spiritualitas, dan komunitas bersatu untuk menginspirasi dan
membawa perubahan.
"Kami percaya pada pentingnya menciptakan lingkungan kolektif yang tidak hanya merayakan kreativitas dan inovasi, tetapi juga memberikan kontribusi bermakna bagi lingkungan dan komunitas lokal," kata mereka. "Visi kami adalah membangun ekosistem di mana pengalaman imersif dan praktik berkelanjutan tumbuh bersama, memperkaya kehidupan dan melestarikan warisan budaya Bali,” lanjutnya.
Sempat diwawancarai oleh awak media, Pierre Alain Menu, selaku co-Founder of Labyrinth, Rafael Jimenez sebagai Strategic Communications Director, dan Baptiste Sejourne, selaku co-Founder of Labyrinth sekaligus Creative Director of the Bali Mystic show, mengatakan ke depannya ingin melakukan banyak kolaborasi dengan seniman dari Indonesia maupun mancanegara, guna menciptakan sinergi untuk membuat pertunjukkan baru.
"Kami ingin menciptakan komunitas seni, jadi bukan sekadar tempat untuk orang datang dan melihat seni juga, tapi juga tempat untuk orang membuat karya seni," ucap Pierre. "Makanya selain galeri, kami juga punya studio musik, MakerSpace seluas 350 m² untuk mempelajari CNC routers, laser cutters, hingga 3D printers. Saat ini kami juga sudah punya 22 murid yang sedang mempelajari digital art untuk immersive dome," tambahnya lagi.
Menariknya, Labyrinth Collective memiliki komitmen untuk menyisihkan 5% dari pendapatan bruto untuk proyek lingkungan dan masyarakat hingga mencapai ROI. Setelah itu, 50% dari keuntungan akan dialokasikan untuk mendukung inisiatif-inisiatif lokal. Komitmen ini mencerminkan visi Labyrinth untuk mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan dan memperkaya ekosistem budaya Bali.
Program Reguler di Labyrinth
Bagi kamu yang ingin datang ke sini, Labyrinth memiliki program unggulan, antara lain:
- Bali Mystic, mulai 24 November, Selasa hingga Minggu pukul 19.00 WITA: yang menyajikan pertunjukan imersif hasil kolaborasi dengan Labyrinth Studios, dengan melibatkan lima bentuk seni tradisional Bali—Kecak, Gambuh, Wayang Kulit, Topeng Telek, dan Barong Landung—setiap babak memadukan musik, tarian, dan teknologi dalam kemasan baru untuk audiens global.
- 432Hz Sound Healing, mulai 27 November, setiap Rabu dan Sabtu pukul 11.00 WITA: Sesi penyembuhan suara ini dilengkapi dengan visual imersif pada layar 360 derajat The Dome. Dengan frekuensi 432Hz, sesi ini dirancang untuk menyelaraskan pikiran, tubuh, dan jiwa demi penyegaran holistik.
Ready to get immersed?