Banyak hal yang dapat kita syukuri dari hidup di zaman modern ini. Salah satunya adalah peradaban manusia yang sudah semakin maju dan perikemanusiaan yang lebih toleran. Contoh konkritnya adalah tidak adanya lagi penyembahan berhala yang memerlukan nyawa manusia.
Bayangkan saja, pada zaman dulu, terdapat keyakinan bahwa darah manusia adalah salah satu persembahan paling sempurna untuk para dewa.
Alhasil, beberapa suku zaman dulu mengorbankan nyawa manusia, entah itu nyawa orang yang tidak bersalah atau yang menjadi tahanan perang. Hal tersebut dilakukan agar sang dewa senang dan memberikan "berkat".
Merinding mendengarnya? Kalau begitu, siapkan hatimu, inilah enam kebudayaan zaman dulu yang mempersembahkan nyawa manusia sebagai persembahan untuk dewa sesembahan mereka.
Disclaimer: Artikel ini mengandung konten yang dapat membuat mual dan trauma. Jangan baca ini sambil makan! Kebijaksanaan pembaca amat disarankan.
1. Dinasti Shang
Kebudayaan pertama yang mengambil nyawa manusia adalah Dinasti Shang (1600 - 1400 SM) dari Tiongkok. Hal ini terbukti dari tulisan pada tulang sapi atau cangkang penyu yang sering dipakai oleh para peramal pada zaman itu sebelum mengambil keputusan. Tentu saja, tulang-tulang ini hanya bisa dibaca oleh para peramal dan sang penguasa.
Pada 1899, para arkeolog Tiongkok melakukan penggalian di daerah Yinxu, dekat Anyang, Provinsi Henan, dan menemukan tulang ramalan dari sapi dan cangkang penyu. Lebih mengejutkan lagi, mereka juga menemukan kuburan massal berisi 10 hingga 50 tulang belulang manusia yang ternyata dijadikan korban!
Kalau kamu penasaran, boleh langsung menuju ke Museum Yinxu. Yinxu adalah ibukota kuno dari Dinasti Shang.
Lewat tulisannya yang berjudul "Human Sacrifice during Shang Dynasty" pada 2015, Asisten Profesor Departemen Komunikasi, Seni, dan Sains Pennsylvania State University, Keren Wang, mengatakan bahwa Dinasti Shang menyaksikan dua jenis pengorbanan manusia yang dilakukan secara berkala, yaitu Xunzang (殉葬) dan Renji (人ç¥).
Xunzang (yang berarti "kesyahidan") adalah ritual pengorbanan yang dilakukan saat seorang penguasa Dinasti Shang meninggal. Para pelayan pribadi dari mendiang penguasa tersebut diharuskan bunuh diri untuk menemani sang penguasa di alam baka. Korban bisa berjenis kelamin laki-laki atau perempuan tergantung dari pelayan pribadinya.
Sementara keadaaan korban lebih terhormat pada upacara Xunzang, tulang belulang yang ditemukan hasil upacara Renji jauh lebih mengenaskan.
Jika terjadi kelaparan, maka akan dilangsungkan upacara Renji (yang secara harafiah berarti "korban manusia"). Yang biasa dikorbankan adalah kaum laki-laki dan tahanan perang dari luar Dinasti Shang. Jarang rakyat dari Dinasti Shang yang dikorbankan, kecuali para penjahat. Mereka lalu disembelih dan dikubur di sebuah lubang besar atau dibakar.
Wang mengatakan bahwa pengorbanan manusia Renji terbesar pada waktu itu dilakukan oleh Wuding (memerintah pada 1250 – 1192 SM). Ia mengorbankan 9.000 nyawa manusia demi memuaskan Dewa Shang-Di!
2. Kartago
Kartago "dulunya" adalah kota modern yang sekarang sudah menjadi Tunis, ibukota Tunisia, Afrika Utara. Masyarakat Kartago diketahui melakukan sejumlah ritual pengorbanan.
Percayakah kamu, kalau mereka tega mengorbankan anak mereka sendiri? Hal ini sampai sekarang masih menjadi bahan perdebatan. Di Tunis, terdapat satu situs peninggalan Kartago terbesar tempat hal mengerikan itu terjadi, yaitu Tophet Salammbó.
"Tophet" berasal dari bahasa Ibrani untuk menggambarkan tempat di mana bangsa Israel berdosa kepada Tuhan dengan mengikuti ritual bangsa lain dan mengorbankan anak mereka.
Bukti arkeologis dan catatan sejarah menunjukkan bahwa ada beberapa upacara ritual brutal di mana masyarakat kelas atas akan mengorbankan anak-anak mereka yang masih bayi. Dikarenakan memakan biaya mahal, seringnya, masyarakat kelas atas di Kartago yang mengorbankan anak sulung mereka agar mendapat berkah para dewa.
Tidak sampai di situ, terkadang mereka terlalu sayang dengan anak mereka. Berharap bisa menipu para dewa, mereka kemudian mengambil anak pelayan mereka atau membeli anak agar dapat dibesarkan lalu dikorbankan ke para dewa! Jahat!
Ritualnya pun kejam. Sang bayi hidup-hidup dibakar di hadapan patung Dewa Ba'al Hammon. Bayi yang malang diletakkan di tangan patung Ba'al Hammon yang mengarah ke bawah, ke arah jurang dengan api yang menyala, dan bayi itu pun jatuhlah!
Sejarawan dari Diodorus Siculus hingga Plutarch pun tahu akan ritual ini. Mereka mengatakan bahwa ritual ini dilakukan biasanya didasarkan pada keuntungan bisnis. Selain anak, hewan pun juga dikorbankan. Abu mereka kemudian ditempatkan di sebuah guci.
Diriwayatkan oleh Tertulianus, saat Kekaisaran Romawi mengetahui hal ini, para rahib yang melakukan pengorbanan anak kemudian disalibkan. Akan tetapi, ternyata, ritual tersebut tetap berjalan secara rahasia.
Ritual ini akhirnya berhenti saat Kartago menerima peringatan dari Kekaisaran Akhemeniyah untuk segera menghentikan berbagai kegiatan yang "menajiskan" termasuk pengorbanan anak.
3. Tanzania dan Malawi
Untuk yang ini, dicurigai masih berjalan hingga masa kini. Dilansir oleh The Guardian pada 2015, Kepolisian Tanzania, Afrika Utara, menangkap 32 dukun yang diketahui terlibat pada satu praktik pengorbanan manusia! Baru lima tahun yang lalu.
Dukun-dukun ini tidak menyerang sembarangan orang. Mereka hanya menyerang kaum pengidap albinisme, seseorang yang menderita kekurangan pigmen, sehingga kulit mereka putih. Bagi mereka, kaum albino adalah hasil perselingkuhan orang Afrika dengan orang kulit putih, sehingga pantas untuk dikorbankan.
Tidak main-main, praktik yang berjalan sejak tahun 2000 ini sudah melahap nyawa 75 orang albino! Organ kaum albino yang dikorbankan kemudian diambil dan digunakan sebagai jimat berharga dari jutaan hingga miliaran rupiah!
Pada 2009, saat Tanzania akan mengadakan pemilihan umum, terjadi kenaikan pada kasus perburuan kaum albino, sampai-sampai mereka harus ditempatkan di rumah perlindungan khusus!
Untungnya, mereka divonis hukuman mati oleh Presiden Tanzania saat itu, Jakaya Kikwete, atas dakwaan pembunuhan. Pada 2015, akhirnya Tanzania melarang adanya praktik perdukunan dan perburuan kaum albino.
Pada 2019, The Telegraph melaporkan bahwa praktik tersebut masih berlangsung hanya berganti wilayah, ke Malawi, Afrika Tenggara. Orang Malawi memburu kaum albino untuk dijadikan jimat agar bisa menang di ranah politik! Saat pemilihan umum di Malawi mendekat, mereka melihat semakin banyak orang albino yang diburu.
4. Romawi Kuno
Jika pada bagian Kartago, Kekaisaran Romawi menyalibkan para rahib yang mengadakan praktik pengorbanan anak, bagaimana saat Hannibal menang melawan Romawi pada Pertempuran Cannae (216 SM)?
Peradaban Kartago sempat menginvasi sebagian besar masyarakat Romawi setelah menang besar di Cannae. Hasilnya, rakyat Romawi pun ikut tertular dengan praktik pengorbanan manusia! Berbeda dengan Romawi Modern yang menentang pengorbanan manusia, Romawi Kuno dapat melakukannya semena-mena.
Dionysios dari Halikarnassos meriwayatkan bahwa sebelumnya, terdapat praktik Argei, yaitu pengorbanan kaum manusia lanjut usia (manula) dengan cara menghanyutkan mereka ke sungai. Akhirnya, praktik Argei digantikan dengan orang-orangan sawah agar lebih manusiawi.
Diriwayatkan oleh Titus Livius, saat Kekaisaran Romawi takluk pada Kartago, dua orang Yunani dan dua orang Galia dikubur hidup-hidup di Forum Boarium. Mereka menganggap pengorbanan tersebut sebagai tawaran untuk para dewa agar melepaskan mereka dari genggaman Hannibal.
Warga Romawi Kuno pun juga tidak segan-segan mengorbankan Perawan Vesta, rahib perempuan untuk Dewi Vesta, jika mereka terbukti "ternoda". Mereka akan dikurung di sebuah kamar batu hingga mati kelaparan atau dihanyutkan ke sungai demi pengampunan dari Dewi Vesta.
Selain Perawan Vesta, warga Romawi juga mengorbankan anak-anak hermafrodit karena dianggap sebagai kutukan.
Saat menangkap kaum Kelt di Galia, masyarakat Romawi kuno membuntungkan tangan dan kaki mereka dan membiarkan mereka kehabisan darah. Alasannya, mereka menuduh kaum Kelt yang melakukan pengorbanan manusia, sehingga pantas dibunuh.
5. Jepang
Siapa sangka, kebudayaan cantik dari Negeri Sakura ternyata pernah memiliki catatan kelam pengorbanan nyawa manusia? Ya, bahkan Jepang Kuno pun tidak lolos dari para dewa yang menginginkan darah manusia.
Pada sejarah Jepang yang diriwayatkan dalam Nihon Shoki (日本書紀), terdapat beberapa catatan mengenai praktik hitobashira (人柱) yang artinya "pilar manusia", pengorbanan manusia dengan "menanamkannya" pada pondasi bangunan seperti istana, waduk, atau jembatan.
Adanya hitobashira adalah sebagai korban agar para dewa melindungi bangunan-bangunan tersebut dari bencana.
Salah satu kisah hitobashira paling terkenal adalah pembangunan Kastil Maruoka di Prefektur Fukui, pada 1576. Kisah tersebut dinamai "O-Shizu, Hitobashira", tentang seorang wanita bernama O-Shizu yang setuju menjadi hitobashira asalkan putranya dijadikan samurai.
6. Maya
Sudah nonton film Apocalypto yang rilis di tahun 2006? Jika pernah, maka kamu tahu bahwa Suku Maya adalah suku yang gemar mengorbankan nyawa manusia untuk Dewa Hujan, Chaac. Meskipun tidak akurat secara sejarah, Apocalypto setidaknya menggambarkan secara spesifik bagaimana praktik pengorbanan manusia di Suku Maya pernah terjadi.
Saksi buta dari praktik pengorbanan manusia yang kelam tersebut adalah Piramida Kukulcan El Castillo di Chichen Itza, komplek peninggalan suku Maya di Yucatan, Meksiko.
Pada praktik tersebut, para korban pertama diberi warna biru di sekujur tubuhnya sebagai tanda penghormatan untuk Dewa Chaac. Dari seluruh metode, biasanya ekstraksi jantung adalah yang paling sering, terutama pada zaman Pascaklasik (900-1524). Jantung - apalagi yang masih berdegup - dianggap sebagai "makanan kesukaan" para dewa.
Kaum Maya juga mengenal sepak bola (kalau nonton Doraemon: Nobita dan Legenda Raja Matahari pasti tahu). Sepak bola Maya lebih brutal daripada sepak bola modern! Kenapa? Biasanya yang kalah akan dijadikan tumbal untuk Dewa Chaac.
Hanya sebagai penggambaran, inilah simulasi rumitnya prosesi ekstraksi jantung kaum Maya yang dilakukan oleh ahli medis. Bayangkan sakitnya!
Sang korban dibaringkan di atas altar batu dan dipegangi oleh empat orang yang juga diwarnai biru, melambangkan empat Dewa Chaac dari empat arah mata angin.
Kemudian, sang algojo (nacom) menyayat dada kiri korban untuk mengeluarkan jantungnya yang masih berdegup! Proses tersebut diharuskan selesai dalam waktu 20 detik agar tetap fresh. Korban tidak dibius sama sekali!
Nacom kemudian menyerahkan jantung itu kepada sang rahib (chilan) agar darahnya dapat ditorehkan pada gambar Dewa Chaac.
Para korban biasa entah dibuang ke sumur atau dilemparkan ke bawah, agar dapat dikuliti oleh rahib pembantu. Kulit korban kemudian dipakai oleh sang chilan sebagai pakaian tari yang melambangkan "kehidupan".
Siap mendengar yang satu ini? Jika yang dikorbankan adalah ksatria terhormat, maka tubuh sang ksatria akan disembelih dan dimakan oleh masyarakat dan rekan ksatria. Kanibalisme! Jika yang dikorbankan adalah tahanan perang, maka tulang tangan dan kaki korban akan dipakai oleh chilan sebagai tanda penghargaan.
Itulah berbagai ritual-ritual zaman lampau (hingga zaman sekarang) yang mengorbankan nyawa manusia demi hal-hal mistis yang tak masuk akal, dari menurunkan hujan hingga jimat.
Seperti yang kamu baca, hal-hal ini tidak mencerminkan nilai kemanusiaan sama sekali dan sudah sepatutnya praktik semacam ini musnah dari muka Bumi. All lives matter!
Disclaimer: artikel ini sudah pernah tayang di laman IDNTimes.com dengan judul "Mengerikan! 6 Ritual Zaman Dulu yang Memakan Jiwa Manusia" ditulis oleh Alfonso Adi Putra