Bisa dibilang film Challengers yang baru saja tayang pada akhir April 2024 menjadi film paling sensual yang berhasil masuk di bioskop Indonesia. Bagaimana tidak, film berdurasi 131 menit tersebut menampilkan begitu banyak adegan yang cukup sensual meski telah mendapat sensor yang cukup banyak dari Lembaga Sensor Film.
Di luar dari sensualitas yang disajikan, Challengers menjadi tontonan yang cukup seru dengan beragam intrik antar-atlet, cinta segitiga, hingga ambisi. Berniat menontonnya dalam waktu dekat? Simak review POPBELA berikut ini.
Sinopsis: saat ambisi mengalahkan segalanya
Kisah ini dimulai dengan dua petenis muda yang bersahabat dekat, yakni Patrick Zweig (Josh O'Connor) dan Art Donaldson (Mike Faist). Dalam sebuah turnamen, keduanya berhasil menyabet gelar juara bersama dalam nomor ganda putra. Hal ini membuatnya semakin dekat dan tak terpisahkan.
Pada suatu turnamen, Patrick dan Art sama-sama terpesona dengan penampilan Tashi Duncan (Zendaya) karena kepiawaiannya bermain tenis dan juga tubuhnya yang atletis. Keduanya pun berusaha mendekati Tashi.
Tashi yang tahu jika Patrick dan Art sama-sama mendekati dirinya, akhirnya membuat sayembara. Pada pertandingan akhir mereka, siapa pun yang menang, maka dialah yang akan mendapat nomor ponsel Tashi. Patrick berhasil mengalahkan Art, ia mendapatkan nomor Tashi dan menjadi pacarnya.
Tak lama dari itu, Tashi yang baru memulai dunia kuliahnya terpaksa LDR dengan Patrick yang juga baru memulai kariernya sebagai pemain tenis profesional. Di sinilah semua masalah berasal. Rasa curiga, ambisi, cemburu, hingga ego semua menjadi satu. Lantas, bagaimana Tashi mengatasi semua itu? Apakah Patrick benar-benar mencintai Tashi? Dan apakah Art bisa mengesampingkan perasaannya pada Tashi?
Satu lagi karya terbaik dari Luca Guadagnino
Satu hal yang membuat saya terkesan dari film ini adalah bagaimana Luca Guadagnino berhasil membawa naskah yang ditulis oleh Justin Kuritzkes ke dalam bentuk audio visual yang begitu memesona. Secara garis waktu, film yang diproduksi oleh Amazon MGM Studios dan Warner Bros. Pictures ini hanyalah pada satu pertandingan final tenis saja. Namun, kisah di balik pertandingan tersebut yang dikisahkan dalam alur maju-mundur membuat kita sama sekali nggak merasa bosan dengan apa yang disajikan di layar.
Bukan cuma tak bosan, cerita yang ditulis juga turut membuat kita gemas dan ikut deg-degan karena tahu bagaimana kisah sebelum pertandingan final itu berlangsung. Ini bukan sekadar film tentang tenis biasa, melainkan soal kisah cinta, pengkhianatan, dan ambisi yang jadi satu.
Sinematografi dan scorring-nya juara
Selain naskah dan penceritaannya yang bagus, hal lainnya yang membuat film ini juara adalah sinematografi dan scorring-nya. Pertama kita bahas dari sisi sinematografinya terlebih dulu. Sayombhu Mukdeeprom, sebagai pengarah sinematografi, bisa dibilang cukup jenius. Pengambilan angle kamera yang tak hanya dari sudut sang aktor, tapi juga dari sudut bola tenis, membuat adrenalin penonton ikut terpacu.
Bisa dibilang, Sayombhu berhasil menerjemahkan keinginan Luca melalui tangan dinginnya. FYI, ini bukan kali pertama Sayombhu bekerja sama dengan Luca. Sebelumnya, mereka berdua pernah menggarap Call Me By Your Name (2017) yang berhasil meraih beragam penghargaan.
Kedua, dari sisi scorring. Trent Reznor dan Atticus Ross berhasil memilih lagu serta sound effect yang begitu tepat. Entah mengapa, rasanya volume suara pada film ini terasa lebih menggelegar dibanding film pada umumnya yang tayang di bioskop. Scorring yang menggelegar inilah membuat pengalaman menonton menjadi begitu tak terlupakan. Makanya, menurut POPBELA, jika ada kesempatan, akan lebih baik jika kamu menyaksikan film ini langsung di bioskop, ya!
Tiga tokoh utama yang patut diacungi jempol
Tentu saja pujian tak lupa saya alamatkan kepada tiga aktor utama dalam film ini, Zendaya, Josh O'Connor dan Mike Faist. Ketiganya berusaha keras untuk dapat bermain tenis, sehingga penonton pun yakin jika mereka bertiga benar-benar adalah sosok atlet tenis.
Bagi saya, dalam film ini, Zendaya berhasil tampil dengan begitu berani. Mulai dari pakaiannya yang cukup terbuka, hingga adegan-adegan yang dilakukannya bersama Josh O'Connor dan Mike Faist. Ini adalah another stage dari Zendaya dalam kariernya sebagai seorang aktor.
Selain pujian, beberapa suara kecewa datang dari warganet Indonesia yang sudah menonton film ini. Adanya adegan 'bertiga' antara Zendaya, Josh O'Connor dan Mike Faist yang di-cut banyak padahal menjadi salah satu alasan penting dan jawaban untuk ending film cukup membuat bingung penonton. Sebab, ada cerita yang terasa melompat. Terlepas dari itu semua, film ini sangat layak disaksikan di bioskop karena pengalaman yang ditawarkannya.
Apakah kamu ada rencana menonton film ini, Bela?