Istilah 'nggak ada makan siang yang gratis' mungkin menjadi salah satu ungkapan yang akan saya pegang teguh setelah menonton Blink Twice. Sebab, setelah hidup dapat berubah hanya dalam waktu satu malam tanpa harus bersusah payah untuk mendapatkannya, tetap saja, pasti ada sesuatu yang menanti dibayar sebagai tebusannya.
Musim panas yang cerah di sebuah pulau eksotik, tampaknya akan mengecohkanmu saat mulai masuk ke dunia Blink Twice. Kisah traumatis di akhir film, menunggumu dan siap membuatmu tak berhenti untuk kedip dua kali.
Sinopsis: hidup berubah bahagia yang patut diwaspadai
Bagi Frida (Naomi Ackie), hidupnya saat ini benar-benar sebuah malapetaka. Ia hidup di sebuah flat sempit bersama sahabatnya, Jess (Alia Shawkat), dan menunggak. Sehingga, hidupnya tak tenang karena sang tuan tanah terus menerornya agar segera membayar sewa flat mereka. Nasib Frida seolah tampak lebih buruk karena untuk bertahan hidup ia terpaksa bekerja di sebuah hotel dengan gaji yang sangat pas-pasan.
Hingga suatu hari, Frida nekat untuk menyusup ke acara seorang miliarder sukses bernama Slater King (Channing Tatum) yang digelar di hotel tempat Frida bekerja. Tanpa disangka, Slater King pun berkenalan dengan Frida dan mereka jadi begitu akrab hanya dalam waktu satu malam.
Slater yang sangat menyukai pesta pun akhirnya mengajak Frida dan Jess untuk ikut serta bergabung di liburan musim panasnya, di sebuah pulau pribadi miliknya. Tanpa berpikir panjang, Frida dan Jess menyetujui ajakan Slater karena bagi mereka ini adalah jalan untuk keluar dari jeratan utang-utang mereka.
Frida merasa bahagia saat sampai di pulau milik Slater. Sampai pada suatu ketika, ia merasakan keganjilan. Entah apa, tapi Frida merasa ada yang aneh dengan Slater, dengan orang-orang yang pergi bersamanya, hingga dengan pulau tempat mereka menginap. Sebetulnya ada apa di sana dan apa yang disembunyikan Slater?
Slow burn film yang mempermainkan pikiran
Sejak film diputar hingga pertengahan film, kamu akan merasakan bagaimana film ini begitu berjalan lambat. Setiap kisah yang dihadirkan seolah tak ada yang salah dan everything looks so happy. Meski ada konflik kecil di antara para tokohnya, itu bisa diabaikan karena dalam pikiran kita, ada hal lebih besar yang menunggu daripada kita harus capek-capek fokus ke masalah tersebut.
Film ini benar-benar slow burn. Saat kamu mulai mempertanyakan 'dimana konfliknya?', maka sang sutradara Zoë Kravitz mulai memberikan kisi-kisi masalahnya. Walaupun kisi-kisi tersebut terserak dalam bentuk detil kecil-kecil, saya yakin, kamu akan segera menyadarinya saat puncak film mulai terkuak.
Jika kamu pernah membaca review film ini dengan tulisan 'mempermainkan psikologis kita', maka saya akan katakan hal tersebut benar adanya. Musim panas yang hangat, pulau eksotis dengan makanan dan anggur yang melimpah, serta pelayanan bak hotel bintang lima ditampilkan seolah ini adalah kepingan surga yang dapat dinikmati sebelum mati. Sayangnya, itu hanyalah ilusi. Di balik indahnya surgawi, tersimpan neraka yang membuat kita tak henti berkedip dua kali (atau bahkan lebih).
Pandangan Zoë Kravitz soal kekuatan dan kekuasaan
Satu hal yang membuat saya kagum akan film ini adalah mengetahui bahwa Blink Twice menjadi debut Zoë Kravitz sebagai sutradara. Meski menjadi film pertama, Zoë Kravitz berhasil menghadirkan film yang tak asal jadi. Tapi juga, jalan cerita yang kaya, kritis, sekaligus menyenangkan untuk diikuti.
Dalam sebuah wawancara, Zoë Kravitz menggambarkan perjalanan hidupnya yang tumbuh di antara orang-orang berpengaruh. Ketika kecil, dia melihat dunia dengan pandangan yang jujur, namun seiring bertambahnya usia, realitas menjadi lebih kompleks dan terdistorsi. Sebagai perempuan dewasa, dia semakin menyadari permainan kekuasaan yang terjadi, terutama dalam ruang-ruang yang diisi oleh perempuan. Dalam pikirannya, muncul pertanyaan tentang apa yang akan terjadi jika perempuan berhenti mengikuti aturan yang ada dan mulai menyadari realitas yang sebenarnya—bahwa "Taman Eden" hanyalah ilusi yang membatasi mereka.
Zoë memutuskan untuk mengeksplorasi tema ini melalui sebuah cerita yang berfokus pada isolasi karakter, mengubah "taman" menjadi pulau, mirip dengan konsep dalam Lord of the Flies. Dia mulai menulis cerita ini pada tahun 2017, terinspirasi oleh pengungkapan skandal Harvey Weinstein dan Jeffrey Epstein. Meskipun cerita ini tidak didasarkan pada satu orang tertentu, Zoë ingin menyoroti bagaimana perempuan sering kali ditekan untuk "tersenyum" dan mengabaikan momen-momen ketidaknyamanan serta penyalahgunaan dalam hidup mereka.
Dalam filmnya, Zoë ingin menciptakan sebuah narasi yang jujur sekaligus menghibur, mengajak penonton untuk melihat lebih dalam pada kompleksitas dan brutalitas manusia. Film ini bukan tentang pemberdayaan, melainkan tentang kekuasaan itu sendiri—bagaimana kita mengejarnya dan apa yang kita lakukan untuk mendapatkannya.
Hati-hati, banyak adegan yang bikin kamu merasa tak nyaman
Meski mendapat banyak pujian dari para kritikus film karena dinilai mampu menghadirkan kisah yang berbeda dari film kebanyakan saat ini, kamu harus tetap hati-hati saat menontonnya, Bela. Usahakan jangan menontonnya sendirian karena banyak adegan yang bisa jadi membuatmu merasa tak nyaman, hingga memicu trauma menyakitkan di masa lalu.
Adegan-adegan saat para tokoh perempuan mendapat perlakuan tak pantas dan harga diri mereka diinjak-injak seolah membuat darah kita ikut menontonnya. Saking tak nyamannya, saya pun sempat menutup mata untuk mengalihkan sejenak pandangan dari layar agar tidak ke-trigger.
Ending yang bikin puas
Tenang saja, Bela, setelah kisah yang akan bikin kamu naik darah selama durasi 102 menit, kamu akan dipuaskan dengan ending filmnya. Kamu akan ikut berteriak bahagia saat menyaksikan bagaimana Frida dan teman perempuannya melawan kekuasaan yang mengkerdilkan perempuan, hingga mereka mampu membebaskan diri dari ilusi kebahagiaan yang sesaat.
Film ini benar-benar mengajarkan penonton bahwa perempuan ternyata memiliki kekuatan yang tak akan pernah mereka sangka sebelumnya. Walau banyak pihak merendahkannya, jika perempuan tersebut bersatu dan menyatukan semangatnya, apapun bisa dihadapi.