Banyak yang percaya kalau dunia supranatural dan dunia manusia hidup berdampingan di muka Bumi ini. Makhluk yang ada di masing-masing dunia itu pun menjalani kehidupan tersendiri dengan damai tanpa saling mengganggu. Namun, dua dunia itu juga bisa saling berselisih jika salah satu dari mereka melewati garis pembatas yang ditetapkan. Perselisihan baru akan berhenti apabila dendam yang mereka rasakan telah terbayar dengan tuntas.
Di samping mereka yang percaya, ada pula yang sama sekali tidak mempercayai keberadaan ‘mereka’. Salah satunya Hercule Poirot (Kenneth Branagh). Detektif itu selalu berpikir jika semua hal di dunia ini bisa dijelaskan secara rasional. Termasuk saat ia diajak untuk berkunjung ke sebuah palazzo terkutuk yang di dalamnya sering terjadi hal-hal yang tak bisa diterima akal sehat.
Pemikiran Poirot membuat saya ikut merasa sangsi, apakah sebenarnya hantu itu betulan ada? Atau itu hanya khayalan seseorang semata?
Sinopsis: kembalinya Sang Detektif pasca Perang Dunia II
Pasca Perang Dunia II, Poirot memutuskan untuk tinggal di Venesia. Perang yang berkepanjangan membuatnya kehilangan kepercayaan terhadap umat manusia dan berhenti membantu orang lain untuk mengungkap kasus-kasus rumit. Ia pun memulai kehidupan baru yang terbilang cukup monoton. Yakni, berkebun, menunggu pengiriman kue yang datang dua kali sehari, dan sesekali pergi ke kota untuk berbelanja.
Suatu hari, tepat di malam Halloween, Poirot kedatangan teman lamanya, Ariadne Oliver (Tina Fey), sang novelis terkenal. Dalam kunjungannya kali ini, Ariadne mengajak Poirot untuk menyaksikan ritual pemanggilan arwah, sekaligus membantunya membuktikan jika ritual tersebut tidaklah nyata dan hanya bualan dukun yang ingin mencari keuntungan semata.
Meski enggan, Poirot akhirnya mengakui jika ia tertarik untuk ikut dan menelisik kejadian apa yang sebenarnya terjadi di palazzo milik mantan penyanyi opera terkenal Rowena Drake (Kelly Reilly). Nahas, pada malam Halloween itu, seorang tamu terbunuh dan semua orang di palazzo itu dianggap tersangka karena sekali lagi, pembunuhan itu terjadi di ruang tertutup.
Jadi, siapa pembunuh tamu Rowena Drake di malam Halloween itu? Apakah benar arwah yang marah adalah pembunuhnya?
Penggabungan misteri dan horor yang menghasilkan tontonan menegangkan sepanjang film
Film dengan genre horor saja sudah bisa memacu adrenalin yang bikin kamu tak bisa tidur. Apalagi jika genre ini kemudian digabung dengan genre misteri? Tentu ketegangannya bisa bertambah hingga dua kali lipat.
A Haunting in Venice merupakan hasil terbaik dari dua genre yang diramu menjadi satu. Sebab, untuk kamu yang menyukai genre horor dengan segala adegan-adegan di luar nalarnya, dalam film ini kamu dipaksa untuk berpikir rasional. Untuk penonton penakut seperti saya, kehadiran Poirot memberikan kekuatan untuk nggak menutup mata di setiap scene yang kira-kira akan memunculkan jump scare.
Alasannya, Poirot yang tak percaya adanya hantu (bahkan ia tak percaya Tuhan juga) selalu memberikan penjelasan masuk akal bahwa semua hal yang terjadi di rumah itu adalah perbuatan manusia yang memendam perasaan dendam. Tapi, penjelasan Poirot ini kemudian dipatahkan lagi dengan hadirnya adegan-adegan di luar nalar yang semakin membuat penonton bingung.
Tenang saja, semua akan terjawab di akhir film. Jadi, perhatikan filmnya sedetail mungkin, ya, Bela.
Novel Agatha Christie terlaris dengan durasi film paling pendek
Kisah A Haunting in Venice diangkat dari serial misteri karya Agatha Christie yang berjudul Hallowe’en Party dan rilis di tahun 1969. Kisah ini begitu laris pada masanya, terjual lebih dari satu miliar eksemplar, dan telah diterjemahkan ke lebih dari 100 bahasa asing.
Dalam proses produksinya, Michael Green sang penulis naskah mengatakan jika naskah film ini tidak benar-benar hanya adaptasi dari Hallowe’en Party. Ia juga memasukkan unsur-unsur gaib yang diambil dari karya Agatha Christie lainnya. Salah satunya The Last Séance.
Meski memasukkan unsur dari kisah lain, Michael Green mengatakan bahwa kamu nggak akan kehilangan esensi dari novelnya. Justru dengan ditambahkannya unsur horor dari cerita pendek milik Agatha Christie lainnya, kisah ini menjadi semakin kaya dan membuatmu ikut bergidik ngeri selama menontonnya.
Fakta unik lainnya yang perlu kamu tahu dari film ini adalah durasinya yang terpendek dibandingkan dengan film adaptasi Agatha Christie lainnya. Murder on the Orient Express (2017) berdurasi 114 menit, sementara Death on The Nile (2022) memiliki durasi 127 menit. Untuk film ini, Kenneth Branagh sang sutradara membuatnya berdurasi 109 menit.
POPBELA yakin, kamu juga nggak akan menyangka filmnya akan secepat itu selesai meski jalan ceritanya cukup padat.
Formula yang sama dengan ending yang tak akan bisa kamu tebak
Jika menelisik film-film adaptasi dari karya Agatha Christie, kamu akan menemukan formula yang mirip. Yakni, pembunuhan di ruang tertutup, semua orang di dalamnya terduga sebagai tersangka, dilanjutkan dengan jatuhnya korban berikutnya supaya penonton terkecoh, dan akhirnya tersangka yang tak akan kamu duga terungkap. Selalu begitu bukan?
Walaupun kamu bisa mengetahui formula kisahnya, tetap saja film-film Agatha Christie nggak akan pernah bisa kamu tebak dengan mudah. Setiap jalan ceritanya, pasti akan membuat kamu menaruh curiga pada satu tokoh. Tapi ternyata, pelakunya adalah orang lain yang sama sekali tak pernah kamu curigai sedikit pun.
Begitu pula dengan film ini. Jalan cerita yang rapi, padat, namun tak terburu-buru, membuat penonton puas. Puas di sini dalam artian bagaimana Poirot bisa mengenali trik yang digunakan pelaku, menjelaskannya tanpa ada yang terlewat sedikit pun hingga membuat sang tersangka tak berkutik selain mengakui perbuatannya.
So, untuk kamu yang ingin menyaksikan film yang agak sedikit ‘berat’ dan bertanya apakah hantu benar ada atau hanya khayalan, tonton A Haunting in Venice yang rilis mulai 13 September 2023 bisa jadi pilihan yang tepat.