Tutup
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
unfortunately

Kritik Menarik di 'Matahari Papua', Persembahan Spesial Teater Koma

Kuliti habis kejadian di dalam negeri

Niken Ari Prayitno

Teater Koma didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation menghadirkan produksi terbarunya yang bertajuk 'Matahari Papua'. Lakon yang menjadi produksi ke-230 dari Teater Koma ini merupakan naskah terakhir yang ditulis oleh  Norbertus Riantiarno, atau biasa dipanggil Nano Riantiarno atau N. Riantiarno (Alm). Pertunjukan ini diselenggarakan mulai Jumat, 7 Juni - Minggu, 9 Juni 2024 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki.

Bukan hanya menampilkan pertunjukan panggung yang segar, 'Matahari Papua' juga penuh kritik terhadap apa yang tengah terjadi di negeri ini. Beruntung, POPBELA sempat menyaksikan pertunjukan pertama mereka di tanggal 7 Juni 2024 lalu. Berikut ini review dan pandangan POPBELA soal pertunjukan lakon ini.

Sinopsis 'Matahari Papua', saat Papua yang damai diserang naga jahat nan serakah

Dok. Teater Koma

Berlatarkan tempat di wilayah Kamoro, Papua, 'Matahari Papua' mengisahkan seorang pemuda bernama Biwar (Lutfi Ardiansyah) tumbuh dewasa, di bawah asuhan sang Mama, Yakomina (Netta Kusumah Dewi), dan didikan Dukun Koreri (Joind Bayuwinanda). Di suatu hari, saat mencari ikan, Biwar menolong Nadiva (Tuti Hartati) dari serangan Tiga Biawak, anak buah Naga (Bayu Dharmawan Saleh), yang meneror Tanah Papua.

Biwar bercerita kepada Mamanya, sang Mama justru mengisahkan memori pahit. Papa dan tiga paman Biwar ternyata mati dibunuh Naga. Mama, yang sedang mengandung, lolos lalu melahirkan Biwar. Biwar bertekad balas dendam, membunuh Sang Naga. Apakah Biwar mampu membunuh Naga?

Tata panggung dan artistik yang imersif

Dok. Teater Koma

Pertama, selain tentu kisahnya yang menarik, hal pertama yang membuat POPBELA terkagum adalah tata panggung, cahaya, dan artistik yang begitu imersif. Pertunjukan panggung menjadi terlihat begitu modern dengan penataan dan teknologi yang membuat penonton ikut larut ke dalam kisahnya. 

Memanfaatkan layar backdrop yang bisa berganti sesuai dengan latar tempat yang dibutuhkan, membuat setiap adegan begitu menarik. Selain itu, adegan di dalam yang berkabut juga terasa begitu nyata dengan adanya kain putih tipis yang menyelubungi seluruh panggung dan membuatnya terlihat menarik. 

Penuh kritik terhadap situasi Indonesia saat ini

Dok. Teater Koma

Sudah sepatutnya bukan, jika pertunjukan panggung yang disaksikan oleh banyak orang tidak hanya menampilkan hiburan semata? Lebih dari itu, karena banyak orang yang menontonnya, ada baiknya jika pertunjukan tersebut memberikan sedikit kritik terhadap situasi yang sedang terjadi di Indonesia. 

Tak terkecuali pada pertunjukan panggung ini, Bela. 'Matahari Papua' memberikan kritik yang cukup pedas terhadap apa yang sedang terjadi di Tanah Papua. Soal eksploitasi sumber daya alam, hingga penggundulan lahan, semua dikritik habis dengan gaya khas Teater Koma yang masih sangat menarik untuk ditonton, tapi tidak menghilangkan esensi dan konteks soal apa yang dikritik. 

Bahkan, saat menyaksikan pertunjukan ini secara keseluruhan, penonton dapat merasakan bahwa naskah ini memang ditulis berdasarkan keresahan penulis soal masalah yang kini tengah terjadi di Indonesia, khususnya di Papua. Semoga saja dengan adanya kritik melalui teater ini, pihak yang bersangkutan dapat mendengar keresahan tersebut dan mengatasi permasalahan yang ada.

Naskah terakhir dari N. Rintiarno

Dok. Teater Koma

Pertunjukan 'Matahari Papua' juga menjadi salah satu pertunjukan yang amat berkesan bagi Teater Koma, karena selain menjadi salah satu pertunjukan dari naskah terakhir N. Riantiarno, pertunjukan ini juga diselenggarakan berdekatan dengan hari lahir N. Riantiarno, pada 6 Juni. Pertunjukan ini juga menjadi pertunjukan pertama Teater Koma kembali di Graha Bhakti Budaya, setelah beberapa tahun terakhir ini harus berpindah tempat karena renovasi dan situasi pandemi.

"Kembalinya kami tampil di Graha Bhakti Budaya tentunya menjadi sebuah kesan tersendiri karena tempat ini memiliki sejarah dan menjadi saksi bagi beragam pertunjukan dari Teater Koma. Kini kami kembali meski tanpa kehadiran Mas Nano. Tapi sosok sang guru, bapak, saudara, sahabat itu akan selalu menyertai di hati kami. Wejangan dan ajarannya senantiasa hadir di tiap gerak kami. Karena kami tidak akan pernah berhenti bergerak, tidak pernah titik, selalu Koma," ujar Ratna Riantiarno yang juga berperan sebagai produser.

Bagaimana, Bela? Apakah kemarin kamu juga sempat menonton pertunjukan ini?

IDN Channels

Latest from Inspiration