Sejak semakin mudahnya akses internet dan perangkat yang semakin canggih, YouTube dan aplikasi video on demand, Netflix, menjadi pilihan warganet untuk mendapatkan hiburan. Video dan film yang ditayangkan di dua aplikasi tersebut langsung digandrungi oleh warganet karena mereka dapat dengan mudah memilih tayangan seperti apa yang ingin mereka nikmati tanpa adanya sensor.
Namun kemarin (8/8), muncul wacana jika Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ingin mengawasi konten-konten di dua platform tersebut. Itu artinya, film dan video yang sekiranya dinilai telah melanggar aturan KPI akan dilarang tayang dan bahkan bisa di-banned sehingga kita tidak dapat melihat tayangan tersebut lagi.
Dalam wacana tersebut beredar kabar KPI sedang melakukan upaya hukum untuk mengawasi serta mengatur tayangan-tayangan yang muncul di media sosial dan platform video on demand lainnya.
"Kami malah ingin segera bisa mengawasi itu, karena di media baru atau media digital saat ini kontennya sudah termasuk ranah penyiaran," jelas Ketua KPI Pusat, Agung Suprio ketika pengukuhan komisioner periode 2019-2022 di kantor Kemenkominfo seperti dikutip dari kantor berita Antara, Kamis (8/8).
Meski baru terbilang wacana dan entah kapan mulai terealisasikan, namun penolakan sudah terjadi di media sosial. Bahkan, petisi menolak KPI awasi konten YouTube dan Netflix sudah tayang serta telah ditandatangani oleh lebih dari 30 ribu orang.
Merangkum dari Change.org, berikut ini beberapa alasan mengapa warganet menolak KPI awasi konten YouTube dan Netflix.
1. KPI tidak punya wewenang untuk mengatur sosial media dan konten digital
Sesuai dengan Undang-Undang nomor 32 Tahun 2002, tujuan KPI berdiri adalah untuk mengawasi siaran televisi dan radio yang menggunakan frekuensi publik. Sementara konten digital tidak menggunakan frekuensi publik.
“Bukan tugas dan kewenangan kami melakukan sensor karena kami dibentuk untuk mengawasi televisi dan radio yang bersiaran di frekuensi publik. Pengawasan kami pun baru dapat berjalan setelah tayang. Jadi sebelum tayangan tersebut disiarkan di lembaga penyiaran adalah tugas lembaga sensor film dan internal lembaga penyiaran tersebut yang memiliki kewenangan sensor,” jelas Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono, seperti dikutip dari situs resmi KPI.go.id.
2. KPI bukan lembaga sensor
Alasan kedua mengapa warganet menolak KPI mengawasi konten digital adalah karena KPI bukanlah lembaga sensor. Pada tayangan televisi dan radio yang menjadi ranah KPI pun, KPI hanya bertugas mengawas dan bukanlah menyensor konten yang sedang tayang tersebut.
3. Konten digital menjadi alternatif masyarakat untuk mendapatkan hiburan
Konten digital yang bisa kita nikmati di YouTube, Netflix atau paltform digital lainnya merupakan alternatif masyarakat untuk mendapatkan hiburan lain sesuai dengan keinginan kita. Sebab, seperti kita tahu, tayangan di televisi Indonesia rata-rata hanya menyajikan sinetron dengan adegan berkualitas buruk, cerita yang kurang mendidik, serta penuh dengan sensasional.
4. Pengguna membayar untuk menikmati platform on demand
Platform on demand seperti Netflix, iflix, Hooq, dan semacamnya bisa kita nikmati jika kita membayar sejumlah uang untuk berlangganan terlebih dulu. Karena berbayar ini pula, menonton melalui media platform on demand menjadi hak masing-masing pengguna. Menurut warganet, jika KPI sudah mulai mengawasi dan bahkan menyensor konten di platform on demand itu artinya KPI sudah mulai mencampuri pilihan pengguna dan itu sudah melanggar hak pengguna.
Menurut kamu sendiri, apakah kamu setuju dengan hukum KPI yang akan mengawasi konten di YouTube dan Netflix? Jika tidak, tulis alasanmu di kolom komentar ya!