Berbicara soal Ben, Jody dan film pertama mereka, Filosofi Kopi, membawa ingatan saya ke tahun 2015. Di tahun tersebut film yang diangkat dari novel karya Dee Lestari berjudul Filosofi Kopi ini muncul dan sukses. Imbasnya? Profesi barista menjadi begitu populer dan banyak anak muda yang kemudian merintis usaha kopi mereka. Sehingga, industri kedai kopi meningkat drastis sampai hari ini.
Dua tahun setelahnya, Filosofi Kopi 2: Ben & Jody rilis dan mengangkat tema yang lebih sensitif lagi. Yakni, soal petani kopi yang sering dipandang rendah dengan menjual hasil kebun yang begitu murah. Persahabatan Ben (Chicco Jerikho) dan Jody (Rio Dewanto) bahkan nyaris diujung tanduk, hingga membuat penonton turut merasakan ketegangannya.
Mengawali paruh pertama tahun 2022, Ben dan Jody kembali hadir menyapa penggemarnya lewat sekuel terbaru mereka, Ben & Jody. Masih berkisah tentang persahabatan Ben dan Jody, di film ini, tak ada lagi kedai kopi berlokasi di tengah Jakarta Selatan yang menjadi lokasi hits kaum urban. Tak ada lagi pula visualisasi meracik kopi yang membuat kita ikut merasa haus saat menyaksikannya. Justru yang ada adalah kisah menegangkan penuh aksi laga, yang membawa cerita Filosofi Kopi ke level selanjutnya.
Ben & Jody dibuka dengan kisah Ben (Chicco Jerikho) yang memutuskan pulang ke kampung halamannya. Di sana, ia ikut turun langsung ke jalan menolak pengambilalihan lahan oleh sebuah perusahaan yang berniat merelokasi warga setempat dan mengubah lahan mereka menjadi perkebunan sawit.
Sebagai seorang yang sangat vokal dan membela kepentingan warga di kampung halamannya. Keberadaan Ben dianggap sebagai ancaman. Ia pun diculik dan ditempatkan di kamp penculikan bersama tetua adat lainnya yang juga menolak pengambilalihan lahan ini.
Di sisi lain, Jody (Rio Dewanto) berhasil mengembangkan bisnis Filosofi Kopi yang kini tak sekadar menjual kopi. Di hari pembukaannya, Jody yang sangat menunggu kedatangan Ben, menjadi begitu kecewa karena Ben tak datang. Jody yang khawatir akhirnya memutuskan menyusul Ben di kampung halamannya. Nasib malang juga menimpa Jody, ia diculik oleh anak buah Aa Tubir (Yayan Ruhian) yang membuatnya harus melakukan kerja paksa.
Meski akhirnya Jody berhasil menemukan Ben, nyawa mereka menjadi taruhannya. Banyak hal harus mereka lalui bersama. Mulai dari mempertahankan tanah dari perusahaan yang hendak mengambil alihnya, menyelamatkan para tetua adat yang disandera, hingga persahabatan mereka yang kembali di ujung tanduk.
Perubahan drastis kisah Ben dan Jody dari dua film sebelumnya, menurut saya, tergolong berani. Angga Dwimas Sasongko, sang sutradara, bersama Chicco Jerikho dan Rio Dewanto yang juga menjadi produser dalam film ini, berhasil membangun karakter dan kisah Ben-Jody menjadi lebih politis terhadap isu yang sebenarnya umum terjadi di kehidupan petani kopi. Lebih dari itu, mereka berhasil memberikan dampak dan menggaungkan isu konflik agraria yang masih sering diabaikan oleh orang Indonesia sendiri.
Cerita dalam Ben & Jody terbilang cukup jauh dari lintasan kisah dua film sebelumnya. Genre yang diusung pun berubah drastis. Mengubah kisah dari genre drama ke action, tentu hal yang tak mudah. Salah-salah, film tersebut bisa kehilangan identitasnya. Namun, Angga, Chicco dan Rio berhasil mempertahankan karakter Ben-Jody seperti pada awal filmnya. Kita pun akan melihat bagaimana karakter keduanya bertumbuh menjadi lebih dewasa dengan masalah yang tak hanya berkutat pada kehidupan pribadi mereka sendiri.
Semakin menarik, film ini diramaikan dengan deretan karakter baru yang semakin memperkuat cerita. Ben dan Jody yang berada di hutan dengan nyawa mereka menjadi taruhannya, harus bertahan hidup dengan kemampuan bela diri, sebagai bentuk pertahanan diri mereka.
Yayan Ruhian sebagai fighting choreographer untuk film ini berhasil menciptakan gerakan-gerakan aksi yang cukup kompleks, namun tetap terlihat natural. Misalnya, untuk Ben dan Jody yang bukan ‘petarung’, bisa melakukan gerakan-gerakan bela diri ‘seadanya’, tapi efektif untuk mempertahankan diri dari serangan orang-orang jahat yang mengancam nyawanya. Tentu aneh bukan, jika Ben dan Jody si anak kota yang awalnya tidak begitu bisa bela diri, tiba-tiba menjadi jago berkelahi dengan gerakan-gerakan rumit?
Ada pula pasangan kakak-beradik, Rinjani (Hana Malasan) dan Tambora (Aghniny Haque) yang memukau penonton dengan aksi laga mereka melawan Aa Tubir. Rinjani dan Tambora menjadi penyegar sekaligus pembuktian dalam film, bahwa perempuan juga bisa memiliki kemampuan bertarung yang tak main-main. Terlebih, jika itu menyangkut dengan tanah kelahiran dan keluarga mereka.
Saya pun salut dengan kemampuan akting Hana dan Aghniny yang berhasil membawakan fighting choreography dengan begitu luwes dan nyata. Bahkan, bagi Hana, ini adalah kali pertamanya ia bermain dalam film aksi. Melihat bagaimana penampilannya ini, Hana berhasil meninggalkan kesan yang tak akan terlupakan bagi penonton.
Terlepas bagaimana penerimaan penonton terhadap film ini nantinya, Angga, Chicco dan Rio mengaku sangat puas berhasil membuat film Ben & Jody di level yang berbeda. Film ini mereka persembahkan untuk mendiang Glenn Fredly yang menjadi tonggak awal munculnya ide Ben & Jody.
Dalam konferensi pers yang diselenggarakan pada 18 Januari 2022, Angga mengatakan bahwa sebelum meninggal dunia, Glenn mengajaknya untuk membuat film yang lebih berdampak lagi pada sekitarnya. Maka dari itu, Angga memilih isu agraria sebagai benang merah dari film ini, karena belum banyak yang mengangkat masalah ini ke publik.
"Kami tidak begitu memedulikan apakah film ini akan box office atau tidak nantinya. Yang jelas, kami puas bisa menggaungkan isu ini ke lebih banyak orang lagi supaya semakin banyak yang peduli dengan masalah ini," tambah Chicco.
Ben & Jody mulai tayang di bioskop pada 27 Januari 2022 ini. Catat jadwalnya dan jangan sampai ketinggalan, ya!