"Bayi yang lahir pada hari Rebo Wekasan itu harus diruwat. Supaya menghilangkan sial yang mengikutinya."
Penggalan kalimat di atas muncul dalam teaser film Inang produksi IDN Pictures. Dalam teaser tersebut, Pritt Timothy menjelaskan soal Rebo Wekasan dengan nada yang cukup misterius.
Sebetulnya, apa itu Rebo Wekasan? Mitos apa yang menyelubunginya, serta bagaimana pandangan Jawa dan Islam dalam menanggapi hari tersebut? Simak selengkapnya berikut ini.
Pengertian Rebo Wekasan
Rebo Wekasan atau yang sering juga disebut dengan Rebo Pungkasan, adalah hari Rabu terakhir di bulan Safar pada kalender Jawa. Biasanya, di hari ini, diadakan banyak ritual adat yang bertujuan untuk menolak bala dan memohon kelimpahan hasil bumi, agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat selama satu tahun ke depan.
Ritual yang diadakan pada hari Rebo Wekasan berbeda di setiap daerah. Ada yang membagikan gunungan hasil bumi. Atau ada pula yang melarungkan hasil bumi ke laut sebagai persembahan mereka kepada bumi.
Sejarah Rebo Wekasan
Merangkum dari berbagai sumber, Rebo Wekasan merupakan upacara tradisional yang dilakukan di tempuran atau tempat bertemunya dua sungai, yakni, Sungai Gajah Wong dan Sungai Opak. Awalnya, upacara ini dilakukan saat Sultan Agung mengadakan pertemuan dengan penguasa Pantai Selatan, Kanjeng Ratu Kidul.
Lama kelamaan, upacara tersebut dirasakan memiliki efek negatif. Akhirnya, acara ini diubah menjadi acara mengarak gunungan hasil bumi yang dimaksudkan untuk menolak bala dan kesialan lainnya.
Mitos Rebo Wekasan
Karena sejarahnya itulah, banyak mitos yang mengiringi hari Rebo Wekasan. Salah satunya, banyak yang percaya bahwa Rebo Wekasan merupakan hari munculnya 320.000 bala (bencana) dan penyakit. Maka dari itu, banyak masyarakat yang mengurangi aktivitas di hari ini jika tidak ingin acara tersebut gagal atau sial.
Masyarakat Jawa, khususnya, percaya bahwa akan sangat sial jika kita menikah di hari Rebo Wekasan. Pernikahan bisa berujung pada perceraian, bertengkar terus, dan hal-hal sial lainnya. Oleh karena itu, banyak masyarakat yang menghindari hari Rebo Wekasan sebagai hari pernikahan mereka.
Bukan hanya menikah, masyarakat juga percaya bahwa jika kita keluar rumah di hari Rebo Wekasan, maka banyak kesialan dan bencana menghampiri. Mereka memilih untuk berdiam di rumah dan melanjutkan perjalanan keesokan harinya, daripada harus keluar rumah pada hari Rebo Wekasan.
Bahkan, mitosnya, jika ada bayi yang lahir pada Rebo Wekasan. Bayi tersebut harus diruwat atau dibersihkan. Alasannya, agar bayi tersebut terhindar dari nasib sial dan malapetaka seumur hidupnya.
Amalan-amalan di hari Rebo Wekasan
Bukan hanya upacara adat saja yang dilakukan untuk menolak bala, tapi ada pula ritual keagamaan yang dilakukan di hari Rebo Wekasan ini. Beberapa amalan yang sering dilakukan untuk dikerjakan di hari Rebo Wekasan adalah sebagai berikut.
1. Selametan
Selametan di sini berbeda-beda di setiap daerah. Ada yang melarungkan hasil bumi ke laut dan ada juga yang membagikan gunungan hasil bumi ke masyarakat setempat. Meski berbeda, inti dari selametan ini adalah berdoa bersama memanjatkan permohonan agar dijauhkan dari marabahaya dan kesialan.
2. Salat sunnah
Selanjutnya, amalan yang biasa dilakukan saat Rebo Wekasan adalah salat sunnah. Tata cara salat sunnah Rebo Wekasan hampir sama dengan salat sunnah pada umumnya. Perbedaannya yakni pada jumlah rakaat dan surat pendek yang dibaca di tiap rakaatnya.
Salat sunnah Rebo Wekasan atau yang juga dikenal dengan salat tolak bala ini, dianjurkan membaca Surat Al-Kautsar 17 kali (rakaat pertama), Surat Al-Ikhlas 50 (rakaat kedua), serta di rakaat ketiga dan keempat membaca Al-Mu’awwidzatain (Surat Al-Falaq dan surat An-Nas) masing-masing satu kali.
3. Puasa sunnah
Selain salat, amalan lainnya di Rebo Wekasan adalah dengan menjalankan puasa sunnah. Dengan berpuasa, maka diharapkan dapat menolak bala atau kesialan di hari tersebut.
Pandangan Islam soal Rebo Wekasan
Rebo Wekasan atau hari Rabu terakhir di bulan Safar ternyata tidak hanya dianggap sial oleh orang Indonesia. Jauh sebelum itu, masyarakat Arab Jahiliyah kuno juga menganggap bulan Safar adalah bulan pembawa sial.
Menanggapi hal ini, melansir dari Islam.NU.or.id, Rasulullah SAW telah bersabda yang artinya sebagai berikut,
"Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan Shafar. Menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa." (HR Imam al-Bukhari dan Muslim).
Itu artinya, dalam pandangan Islam, tidak ada bulan sial. Sebab, hal ini sama saja mendahului ketetapan Allah SWT. Sakit, sehat, bencana, dan marabahaya lainnya, datang karena berasal dari Allah SWT. Bukannya datang dengan sendirinya tanpa alasan.
Terkait amalan yang dikerjakan pada Rebo Wekasan, tidak masalah dikerjakan asalkan niatnya murni karena ingin mendapat syafaat dari Allah SWT, bukan karena niat lainnya.
Itulah tadi mitos dan penjelasan soal Rebo Wekasan dalam pandangan Islam dan Jawa. Jika ada yang kamu ketahui lebih lanjut, tulis di kolom komentar, ya!