Tahun 2020 seolah tak berhenti memberikan kabar duka. Minggu, 19 Juli 2020 lalu, sastrawan Indonesia Sapardi Djoko Damono mengembuskan napas terakhirnya. Ia meninggal dunia di Rumah Sakit Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan lantaran mengalami penurunan fungsi organ.
Sapardi atau yang akrab disapa SDD ini memulai kariernya sebagai seorang sastrawan pada tahun 1969. Pada tahun tersebut, SDD merilis karya pertamanya yang berjudul Duka-Mu Abadi. Sejak saat itu, SDD selalu produktif berkarya hingga akhir hayatnya. Karyanya yang terakhir adalah novel yang berjudul Yang Fana adalah Waktu rilis pada tahun 2018.
Sebagai seorang pujangga, banyak karya puisi SDD yang melegenda. Bahkan, penggalan puisinya kerap kali digunakan sebagai caption foto Instagram.
Berikut, Popbela telah merangkum tujuh puisi Sapardi yang bisa kamu gunakan sebagai caption Instagram. Apa saja?
Hatiku Selembar Daun
Hatiku Selembar Daun
Hatiku selembar daun
melayang jatuh di rumput;
Nanti dulu,
biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang,
yang selama ini senantiasa luput;
Sesaat adalah abadi
sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.
Kepada Istriku
Kepada Istriku
Pandanglah yang masih sempat ada
pandanglah aku: sebelum susut dari Suasana
sebelum pohon-pohon di luar tinggal suara
terpantul di dinding-dinding gua
Pandang dengan cinta. Meski segala pun sepi tandanya
waktu kau bertanya-tanya, bertahan setia
langit mengekalkan warna birunya
bumi menggenggam seberkas bunga, padamu semata
Yang Fana Adalah Waktu
Yang Fana Adalah Waktu
Yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik,
merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.
Kita abadi.
Hanya
Hanya
Hanya suara burung yang kau dengar
Dan tak pernah kaulihat burung itu
Tapi tahu burung itu ada di sana
Hanya desir angin yang kaurasa
Dan tak pernah kaulihat angin itu
Tapi percaya angin itu di sekitarmu
Hanya doaku yang bergetar malam ini
Dan tak pernah kaulihat siapa aku
Tapi yakin aku ada dalam dirimu
Pada Suatu Hari Nanti
Pada Suatu Hari Nanti
Pada suatu hari nanti,
Jasadku tak akan ada lagi,
Tapi dalam bait-bait sajak ini,
Kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
Suaraku tak terdengar lagi,
Tapi di antara larik-larik sajak ini.
Kau akan tetap kusiasati,
Pada suatu hari nanti,
Impianku pun tak dikenal lagi,
Namun di sela-sela huruf sajak ini,
Kau tak akan letih-letihnya kucari.
Hujan Bulan Juni
Hujan Bulan Juni
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Aku Ingin
Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Selamat jalan Maestro. Terima kasih untuk semua sajak-sajak indah yang berhasil kau rangkai. Karyamu abadi...