Dibalik perjuangan dalam kemerdekaan Indonesia, tidak hanya diperjuangkan oleh pahlawan laki-laki saja. Para pahlawan perempuan Indonesia juga turut andil dan berjuang mempertahankan kemerdekaan.
Peran mereka menjadi bukti nyata dedikasi yang akan terkenang sepanjang masa. Di tengah kondisi sosial dan politik yang membatasi peran perempuan, para pahlawan ini tetap menunjukkan tekad yang luar biasa dalam memperjuangkan keadilan dan kebebasan.
Lantas, siapa saja pahlawan perempuan Indonesia yang memiliki peran besar selama perjuangan kemerdekaan? Simak melalui artikel ini ya, Bela.
1. Martha Christina Tiahahu
Martha Christina Tiahahu adalah seorang pahlawan pemberani yang berasal dari Desa Abubu, Pulau Nusalaut. Sang ayah, Kapitan Paulus Tiahahu, adalah seorang pemimpin perlawanan yang sangat dihormati di wilayah Maluku. Atas izin Thomas Matulessy, Martha ikut berjuang bersama ayahnya melawan Belanda di tahun 1800-an. Di situ pula Martha memegang tombak dan parang sebagai senjatanya.
Melansir dari Vredeburg.id, dalam pertempuran di Ulat dan Ouw, ia ikut turun ke medan perang. Bahkan ketika senjata api kehabisan mesiu, ia menggunakan batu untuk menggempur musuh. Andaikata pada waktu itu tidak dikendalikan oleh ayahnya, mungkin Martha telah menemui ajalnya dalam pertempuran sengit tersebut.
Ketika pemimpin pasukan rakyat ditangkap Belanda, Paulus Tiahahahu dijatuhi hukuman mati, dan oleh Belanda seluruh rakyat Nusalaut dikerahkan ke lapangan yang terletak di benteng Beverwijk untuk menyaksikan eksekusi tersebut agar rakyat tidak akan berani lagi untuk menentang Belanda.
Setelah membebaskan Martha Christina karena dianggap terlalu muda, Belanda menyadari bahwa Martha Christina sebagai keturunan Kapitan yang besar pengaruhnya terhadap penduduk, sehingga berpotensi membahayakan kedudukan Belanda. Kemudian Belanda kembali menangkap Martha dan membuangnya untuk kerja paksa di kebun kopi bersama dengan tawanan lainnya. Dalam perjalan menuju Jawa, Martha Christina mogok makan hingga jatuh sakit dan meninggal dunia pada tanggal 2 Januari 1918.
2. Laksamana Malahayati
Keumalahayati merupakan pahlawan dari Kesultanan Aceh yang lahir di Aceh Besar pada tahun 1550. Dikenal dengan sosok yang tangguh, ia merupakan pendiri Inong Balee, pasukan perang pertama yang seluruh anggotanya adalah perempuan dan ditakuti oleh musuh di perairan pesisir Aceh Besar serta Selat Malaka.
Melansir dari indonesia.go.id, tertulis di dalam buku Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah, karya Ismail Sofyan, disebutkan bahwa ayah Malahayati yakni Laksamana Mahmud Syah adalah Panglima Angkatan Laut Kesultanan Aceh. Malahayati adalah cicit dari Sultan Salahuddin Syah, raja kedua di Kesultanan Aceh yang memerintah pada tahun 1530 hingga 1539.
Ia melawan kolonialisme Portugis lewat sebuah pertempuran di perairan Teluk Haru dekat Selat Malaka di tahun 1586. Laksamana Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief yang juga Kepala Pengawal Sultan dan suami Malahayati, memimpin pertempuran tersebut dan mampu memukul mundur Portugis. Sayangnya, suami Malahayati gugur dalam pertempuran.
Malahayati meneruskan perjuangan sang suami dan menggantikan posisinya. Oleh Sultan Riayat Syah, ia pun diberi pangkat laksamana dan menjadi perempuan pertama di dunia yang menyandangnya di kala itu. Pertempuran yang membuat namanya menjadi pahlawan adalah ketika bersama 2000 tentara Inong Balee yang ia pimpin, berhasil menaklukan dua kapal Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Bahkan, dalam sebuah duel satu lawan satu di atas kapal musuh pada 11 September 1599, Laksamana Malahayati berhadapan dengan Cornelis. Nyawa Cornelis pun melayang di ujung rencong Malahayati.
3. Cut Nyak Meutia
Aceh telah melahirkan banyak perempuan yang tangguh. Cut Nyak Meutia seorang pejuang yang mengawali perjuangan dalam melawan Belanda bersama sang suami, Teuku Syamsarif.
Melansir dari repositori.kemendikbud.go.id, bahwa Teuku terikat oleh perjanjian pendek dengan Belanda untuk mendapatkan jabatan dan kemewahan hidup. Hal tersebut sangat bertentangan dengan Cut Meutia yang menyebabkan keretakan dalam rumah tangga mereka.
Setelah bercerai, Cut Meutia merasa terbebas dari tekanan batin yang ia hadapi. Dalam hatinya pun timbul hasrat untuk berjuang ke daerah pegunungan bersama sang ayah dan saudaranya. Namun, keinginan tersebut dapat terwujud setelah ia menikah kedua kalinya dengan Teuku Cut Muhammad. Kedua pasangan ini memiliki kemampuan yang mahir dalam penyusunan strategi perang melawan Belanda.
Cut Meutia dikenal sebagai ahli strategi perempuan dan pemimpin yang berani. Ia mampu menginspirasi para pasukannya untuk terus melawan Belanda meski kondisi semakin sulit. Pada akhirnya, ia mengumpulkan orang-orang kepercayaannya untuk menjadi mata-mata. Para mata-mata ini akan mengawasi gerak-gerik pasukan penjajah dan dengan bebas memasuki kawasan Belanda.
Di sisi lain, pada tahun 1901-1903, Teuku Muhammad berhasil menghancurkan pertahanan Belanda di Aceh Utara bagian timur. Kegigihan dalam perjuangannya menyebabkan pasukan sultan Aceh tidak harus selalu berjuang di daerah Pasei. Namun, pada 1905 ia ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh pasukan Belanda.
Setelah kematian Teuku Muhammad, ia menikah ketiga kalinya dengan Pang Nanggroe dan tetap melanjutkan perlawanan Belanda. Pada suatu pertempuran Korps Marechausée, Cut Meutia bersama pasukan perempuan lainnya melarikan diri dan tetap melakukan perlawanan dengan sisa-sisa anggotanya. Sementara, Pang Nanggroe pun melakukan perlawanan pada Belanda hingga gugur pada 26 September 1910.
4. Raden Adjeng Kartini
Raden Adjeng Kartini atau R.A Kartini adalah seorang tokoh perempuan terkemuka yang lahir di Jepara pada tahun 1879. Ia dikenal karena perjuangannya dalam memberdayakan perempuan di Indonesia.
Ia berasal dari keluarga bangsawan dan sang ayah bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat yang merupakan Bupati Jepara. Pada tahun 1885, Kartini menempuh pendidikan dasar di Europesche Lagere School (ELS).
Ia dapat menjalani sekolah bersama anak-anak Eropa dan Belanda-Indonesia yang merupakan anak dari pejabat tinggi pemerintah. Kartini memiliki peran besar dalam emansipasi dan perubahan yang menghambat perkembangan perempuan.
Melansir dari fahum.umsu.ac.id, Kartini meyakini bahwa pendidikan adalah kunci utama bagi kemajuan perempuan. Ia khawatir setelah mengetahui keterbatasan akses pendidikan yang dialami perempuan pada zaman dahulu.
Melalui surat-suratnya, Kartini membagikan ide dan menyuarakan pentingnya pendidikan bagi perempuan, agar menjadi seseorang yang mandiri, cerdas, dan mampu berkontribusi dalam kemerdekaan bangsa.
Hingga saat ini, tulisan Kartini pada buku "Habis Gelap Terbitlah Terang", sangat menginspirasi para perempuan Indonesia. Tanggal lahirnya 21 April pun, diperingati sebagai Hari Kartini dalam mengenang perjuangannya untuk hak-hak perempuan.
5. Cut Nyak Dien
Cut Nyak Dien adalah seorang pahlawan nasional yang berasal dari Lampadang, Kerajaan Aceh. Ia lahir pada tahun 1848 dan memiliki keturunan bangsawan Aceh dari keluarga Teuku Nanta Seutia, seorang panglima perang. Sebagai seorang perempuan yang tangguh dan berani, Cut Nyak Dien memiliki peran dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda.
Melansir dari gramedia.com, saat Cut Nyak Dien berusia 12 tahun, ia dijodohkan dengan Teuku Ibrahim Lamnga, putra dari Teuku Po Amat, Uleebalang Lam Nga XIII. Suaminya merupakan seorang pemuda yang memiliki wawasan luas dan taat agama.
Selama memperjuangkan kemerdekaan, ia ikut serta dalam melakukan perlawanan pada pasukan Belanda. Pada 26 Maret 1873, Belanda melakukan perang dengan Aceh dan menggunakan kapal Citadel van Antwerpen, dengan melepaskan meriam ke daratan Aceh. Kejadian tersebut, mengakibatkan seluruh penduduk harus mengungsi dan mencari tempat tinggal lain.
Sementara itu, Teuku Ibrahim memiliki tekad dalam merebut kembali daerah VI Mukim. Ia melakukan pertempuran di Gle Tarum hingga menewaskan dirinya pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dien marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.
Selepas kematian suaminya, Cut Nyak Dien menikah kedua kalinya dengan Teuku Umar, seorang tokoh pejuang Aceh. Mereka berdua memiliki tujuan yang sama untuk melawan Belanda. Meskipun pada akhirnya, Teuku Umar gugur dalam perang di Meulaboh, Cut Nyak Dien tidak menyerah dan tetap melakukan perlawanan selama 6 tahun.
Ia berjuang bersama rakyat lainnya dan menghadapi berbagai kondisi yang rumit. Pang Laot, seorang pengawal Cut Nyak Dien melakukan pengkhianatan dan melaporkan markas mereka ke Belanda. Setelah tertangkap oleh pasukan Belanda, Cut Nyak Dien diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat pada tanggal 6 November 1907. Setahun setelah pengasingannya, Cut Nyak Dien memiliki kondisi tubuh yang sudah merenta dan menghembuskan napas terakhirnya.
6. Raden Dewi Sartika
Raden Dewi Sartika, seorang tokoh perempuan yang peduli dengan pendidikan para perempuan. Ia lahir di Cilengka, Jawa Barat pada 4 Desember 1884 dan merupakan putri dari Raden Somanagara dan Raden Ayu Rajapermas. Sejak ia kecil, Dewi Sartika menunjukkan kecerdasan dan minatnya terhadap pendidikan. Meskipun adat istiadat di masa dahulu melarang perempuan bersekolah, kedua orang tuanya tetap bersikeras menyekolahkannya.
Melansir dari budaya.jogjaprov.go.id, Dewi Sartika mendapat dorongan dari sang kakek R.A.A. Martanegara, yang pada saat itu menjabat sebagai Bupati Bandung untuk mendirikan sekolah bagi anak-anak gadis.
Dalam tujuannya ini, Dewi Sartika juga mendapat dukungan lain dari Den Hamer, Inspektur Kantor Pengajaran. Berkat bantuan kedua sosok tersebut, ia berhasil mendirikan sekolah perempuan pertama di Indonesia bernama Sakola Istri. Dalam membangun sekolahnya, ia dibantu oleh Purno dan Uwit serta memberikan mata pelajaran yang mendasar yakni, berhitung, menulis, membaca, dan pelajaran agama.
Dewi Sartika memiliki pendapat bahwa pendidikan sangat penting untuk mendapatkan kekuatan dan kesehatan secara jasmani dan rohani. Di usia 22 tahun, ia menikah dengan Raden Kanduran Agah Suriawinata, seorang guru dari sekolah Karangpamulangan. Kedua pasangan ini mengembangkan sekolah yang telah didirikan dan memajukan pendidikan bagi para perempuan.
Dengan perjuangannya dalam memberdayakan pendidikan, Dewi Sartika mendapat gelar Orde van Oranje-Nassau. Ia juga ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 1 Desember 1966.
7. Nyi Ageng Serang
Nyi Ageng Serang, pemilik nama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi, merupakan seorang perempuan keturunan Sunan Kalijaga. Lahir pada tahun 1752, ia adalah putri dari Pangeran Natpraja yang turut andil dalam melawan para penjajah. Nyi Ageng Serang dikenal sebagai ahli strategi militer dan memiliki taktik perang yang terkenal, yaitu strategi lembu.
Saat mengijak usia dewasa, ia sudah mendapatkan pendidikan dan keterampilan dalam bidang militer di Keraton Yogyakarta. Melansir dari budaya.jogjaprov.go.id, Nyi Ageng Serang yang telah berusia 73 tahun tetap memimpin pasukannya dalam Perang Diponegoro di tahun 1825. Tidak hanya mengikuti perang, ia juga menjadi penasihat perang. Nyi Ageng Serang melakukan perlawanan di sejumlah daerah seperti, Purwodadi, Demak, Semarang, Juwana, Kudus, dan Rembang.
Ia juga memimpin perang di desa Beku, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta yang memiliki markas di Prambanan. Dalam pertempuran tersebut, ia berhubungan langsung dengan Kraton dan memberikan nasihat kepada Sultan Sepuh (Hamengku Buwono II).
Bahkan, kehebatannya diakui oleh Pangeran Diponegoro dalam menyusun setiap strategi perang. Namun, sebelum perang tersebut berakhir, Nyi Ageng Serang wafat di usia 76 tahun akibat terkena penyakit wabah malaria.
8. Hajjah Rangkayo Rasuna Said
Hajjah Rangkayo Rasuna Said, atau yang kerap dikenal Rasuna Said, lahir di Maninjau, Sumatera Barat pada 14 September 1910. Ia merupakan seorang pendidik, tokoh politik, dan pejuang emansipasi pada zaman penjahahan Belanda.
Pada tahun 1926, Rasuna masuk sebagai penulis dan pengurus dalam perkumpulan Sarikat Rakyat (SR). Lalu, komunitas tersebut berubah menjadi Partai Serikat Islam Indonesia (PSSI).
Melansir dari uici.ac.id, Rasuna juga tergabung dengan Persatuan Muslim Indonesia (PERMI) di tahun 1930. Gerakan ini mengkritisi pada kolonialsime Belanda dan isu terhadap perempuan. Selama menjadi anggota, kemampuannya patut diapresiasi dan memberikan kursus serta usaha pendidikan. Setahun setelahnya, Rasuna membuka divisi perempuan di PERMI untuk mendirikan sekolah sastra khusus perempuan di Sumatera Barat.
Di sisi lain, ia percaya bahwa pemberdayaan perempuan tidak dapat dicapai hanya mendirikan sekolah, melainkan juga diperlukan keterlibatan politik yang aktif. Setelah kemerdekaan Indonesia, Rasuna Said menjadi anggota aktif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Sumatera, mewakili daerah Sumatera Barat.
Ia juga terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), dan pada akhirnya menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung.
9. Fatmawati Soekarno
Fatmawati merupakan seorang pahlawan perempuan nasional Indonesia. Ia lahir di Bengkulu, 5 Februari 1923 dan merupakan putri tunggal dari Hassan Din dan Siti Chadijah. Ia merupakan istri dari Presiden Soekarno yang menikah pada 1 Juni 1943. Fatmawati adalah Ibu Negara Indonesia pertama dari tahun 1945 sampai tahun 1967.
Pernikahan mereka dikaruniai lima anak yakni Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra. Fatmawati dikenal sebagai penjahit bendera Merah Putih yang pertama kali dikibarkan pada upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Melansir dari brainacademy.id, Fatmawati mendapatkan kain merah dan putih dari Hitoshi Shimizu melalui perantara Chairul Basri. Ia menjahit bendera tersebut saat kondisinya sedang mengandung dan di kediamannya yang berlokasi di Pegangsaan, Jakarta.
10. Nyai Ahmad Dahlan
Nyai Ahmad Dahlan, adalah sosok pahlawan yang berperan dalam gerakan emansipasi perempuan. Ia lahir di Kauman, Yogyakarta pada 3 Januari 1872 dan merupakan putri dari Kyai Haji Muhammad Fadli, seorang ulama dan anggota Kesultanan Yogyakarta.
Ia tumbuh di lingkungan keluarga yang religius dan mempelajari Islam di rumah yakni bahasa Arab, Alquran, dan naskah Jawi. Ia dikenal sebagai tokoh emansipasi yang memperjuangkan hak-hak perempuan melalui organisasi Sopo Tresno. Dalam komunitas ini, Nyai Ahmad Dahlan memberikan pengetahuan tentang agama Islam dan mengajarkan pentingnya pendidikan bagi masyarakat.
Melansir dari opop.jatimprov.go.id, Nyai Ahmad Dahlan dan sang suami, Kyai Haji Ahmad Dahlan memimpin Sopo Treno dalam membaca Al-Quran dan mendiskusikan maknanya serta membahas ayat-ayat mengenai isu terhadap perempuan.
Sopo Tresno memiliki fokus pada tiga bidang utama yakni dakwah, pendidikan, dan sosial. Selain itu, ia mendirikan asrama putri yang dibangun di kediamannya, tempat ia memberikan pendidikan tentang keimanan, praktik ibadah, dan keterampilan berpidato di depan umum serta dakwah.
Itulah 10 nama pahlawan perempuan Indonesia dan perannya dalam memperjuangkan kemerdekaan. Dengan semangat dan keteguhan, para pahlawan perempuan Indonesia telah membuktikan bahwa perjuangan mereka memiliki dampak yang besar dan kita rasakan hingga saat ini.