Pemerintah memutuskan untuk memblokir media sosial Telegram sejak 14 Juli 2017 di Indonesia, karena diperkirakan banyak digunakan oleh kelompok terorisme. Menurut Presiden Jokowi, ternyata pemerintah sudah lama memperhatikan aktivitas media Telegram yang juga merupakan saingan aplikasi WhatsApp tersebut, hingga akhirnya memutuskan untuk memblokirnya.
"Pemerintah kan sudah mengamati lama, mengamati lama, dan kita kan ini mementingkan keamanan, keamanan negara, keamanan masyarakat, oleh sebab itu keputusan itu dilakukan," ujar Presiden Jokowi saat ditemui wartawan usai meresmikan Akademi Bela Negara (ABN) di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, Minggu 16 Juli 2017.
Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rusdiantara, mengatakan telah menerima permintaan maaf dari CEO Telegram, Pavel Durov, pada Minggu pagi ini.
Permintaan maaf itu terkait pengoperasian layanan chat Telegram di Tanah Air yang tidak sesuai dengan undang-undangan karena memuat isi yang berbau radikalisme dan terorisme. Menurut beliau, Pavel Durov tidak menyadari bahwa Kominfo sudah berusaha menghubungi Telegram sejak tahun 2016 silam.
"Saya mengapresiasi respons dari Pavel Durov dan Kominfo akan menindaklanjuti secepatnya dari sisi teknis lebih detil agar SOP bisa segera diimplementasikan," kata Rusdiantara pada Tim KompasTekno, Minggu (16/7/2017), lewat pesan singkat. Permintaan maaf Durov ini sekaligus membantah klaim pendiri Telegram ini yang mengaku belum pernah dihubungi pemerintah Indonesia.
Meski permintaan maaf Telegram sudah terucap dan diterima pemerintah, belum disebutkan kapan pemblokiran Telegram akan dicabut. Langkah-langkah teknis yang tengah disiapkan Kominfo pun belum diumbar.