Kalau kebanyakan penulis cenderung mengikuti permintaan pasar dan nilai yang berlaku dalam masyarakat, novelis Ayu Utami justru mendobrak dunia sastra Indonesia dengan coretan penanya yang mengejutkan masyarakat luas. Wanita kelahiran Bogor tahun 1968 ini adalah seorang novelis, penulis esai dan kolom, serta aktivis yang vokal dalam menyuarakan isu-isu perempuan dan keagamaan.
Pada saat novel pertamanya, Saman, dirilis pada tahun 1998, pemberontakan dan pembaruan merupakan subjek yang populer bagi masyarakat Indonesia. Lulusan Sastra Rusia Universitas Indonesia ini pun melancarkan revolusinya dengan novel yang kental dengan tema seksualitas dan hak perempuan. Karena kontroversi yang diangkat Ayu Utami, Saman mendapat sorotan dari kritikus dan sastrawan Indonesia. Novel ini dianggap mendorong para wanita untuk menyadari hak-haknya dan memberontak dari posisi mereka yang inferior dalam budaya yang dianut masyarakat Indonesia. Salah satu topik yang berhasil diangkat Ayu Utami dalam Saman adalah pemahaman yang salah bahwa pernikahan merupakan kewajiban bagi setiap wanita. Selain itu, Ayu lewat novelnya juga menyampaikan bahwa setiap wanita memiliki hak yang penuh atas tubuh mereka sendiri.
Keberanian Ayu dalam mengangkat tema yang sensitif ini tak sia-sia, Bela. Saman menandakan era dan genre baru dalam dunia sastra dan budaya Indonesia, yaitu sastra wangi. Sastra wangi adalah sebutan yang diberikan pada karya sastra yang menggunakan pandangan feminis dalam tulisannya. Topik-topik yang diangkat adalah isu yang dianggap tabu atau tak layak dibicarakan seperti hak perempuan dan seksualitas, kritik pada pemerintah, agama, dan budaya. Sastra wangi berusaha mendobrak cara pandang patriarki yang sering menyudutkan kaum perempuan. Maka, tokoh utama dari karya sastra wangi biasanya adalah wanita.
Prestasi yang berhasil diukir Ayu Utami dalam dunia sastra Indonesia tak berhenti sampai di situ, lho. Ayu tetap produktif menulis novel-novel bertema serupa. Lanjutan dari Saman, yaitu Larung terbit pada tahun 2001. Buah pikiran Ayu yang lain adalah Si Parasit Lajang (2003), Bilangan Fu (2008), Manjali dan Cakrabirawa (2010), Maya (2013), dan lain-lain.
Saman telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, Jepang, Inggris, Prancis, Italia, Cheko, Jerman, dan Korea. Setiap tahun, masterpiece Ayu ini selalu habis dan dicetak ulang. Ia pun berhasil membawa pulang titel Penulisan Roman Terbaik yang dianugerahkan oleh Dewan Kesenian Jakarta dan Prince Claus Award dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag, Belanda berkat novel pertamanya ini. Sementara itu, Bilangan Fu sukses menyabet Khatulistiwa Literary Award.
Luar biasa sekali ya, Bela, keberanian dan tekad Ayu Utami dalam menulis dan menginspirasi wanita Indonesia. Yuk, kita juga contek semangatnya dalam berkarya. Jangan takut dengan orang-orang yang akan menganggapmu pemberontak hanya karena kamu tak mengikuti jalan yang biasa ditempuh orang lain.